Opini
Dosen adalah Buruh?
Bak berlian, profesi itu tampak berkilau di mata sebagian orang. Tak jarang calon mertua menganggap dosen sebagai calon menantu idaman.
Oleh: Dwi Rezki Hardianto
Dosen Fakultas Sastra UNSA Makassar
Mungkin banyak yang mengira bahwa dosen adalah profesi ideal dengan gaji yang menjamin kesejahteraan.
Ditambah lagi, dosen adalah profesi mulia karena mampu berkontibusi pada kehidupan sosial, kultural, ekonomi, dan sebagainya melalui tugas (mulia) tridarmanya. Namun, apakah keberadaannya demikian?
Bak berlian, profesi itu tampak berkilau di mata sebagian orang. Tak jarang calon mertua menganggap dosen sebagai calon menantu idaman.
Akan tetapi, idealisasi itu akan runtuh ketika ia melihat kebenarannya.
Buktinya, beberapa pekan lalu seruan #JanganJadiDosen viral di threads dan itu disuarakan oleh para dosen.
Mengapa #JanganJadiDosen?
Bagi saya, seruan tagar tersebut tidak diartikan secara denotatif.
Tetapi ia perlu dilihat sebagai ironi dengan makna tertentu.
Tagar itu juga menjadi seruan agar masyarakat dapat menunda justifikasinya bahwa dosen adalah profesi yang ideal.
Gaji minim, beban kerja di luar tridarma, termasuk pula beban administrasi yang berlebihan adalah beberapa fakta yang meruntuhkan idealisasi itu.
Sebuah riset swadaya berjudul “Gaji Minimum, Beban Kerja Maksimum: Perbaiki Kondisi Kesejahteraan Dosen & Pekerja Kampus demi Mimpi Indonesia Emas 2045” (2023) oleh Fajri Siregar, Kanti Pertiwi, dan Rizky Merdietio Boedi, mengemukakan beberapa fakta di atas.
Salah satu data yang dipaparkan adalah tentang gaji dosen.
Mayoritas dosen di indonesia memiliki gaji di bawah 3 juta rupiah. Akibatnya, tak jarang mereka perlu pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Riset tersebut tidak hanya menjelaskan kondisi dosen pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tetapi juga pada PTN. Meski demikian, ketidaksejahteraan justru lebih besar terjadi pada PTS.
Berhubungan dengan itu, gaji yang diterima juga tidak sebanding dengan beban kerja yang dimilikinya.
Setiap semester setiap dosen hanya perlu melaporkan Beban Kerja Dosen (BKD) terhadap tridarmanya.
Namun, tidak dipandang sebagai nilai ekonomi (exchange value) dosen atau sebagai upah yang sepadan.
Akibatnya, ia seolah-olah teralienasi dengan nilai guna yang diproduksinya sendiri.
Tugas penelitian, misalnya. Untuk melaporkannya, sebagian dosen perlu mencari jurnal-jurnal fast track dengan Article Processor Charge (APC) ratusan ribu hingga jutaan rupiah, kecuali jika dosen tersebut beruntung mendapatkan jurnal APC free—meski perlu menunggu lama.
Atau sekadar menulis opini di koran populer dengan nilai kredit rendah.
Sangat bersyukur, jika dosen mendapatkan dana dari kampus atau pemerintah. Namun, jika tidak, ia perlu menggigit jari sekeras-kerasnya dan menahan rasa sakitnya.
Biasanya untuk mendapatkan biaya tersebut, dosen perlu untuk mencari pekerjaan sampingan.
Pekerjaan ini, tentu akan mengganggu konsentrasi tugas tridarma—seperti penelitian—dosen.
Akibatnya kualitas dan kuantitas produk intelektualitas, menjadi tak terpenuhi.
Mahasiswa, tentu saja menjadi salah satu korbannya.
Tidak mengajar dan hanya memberikan tugas, merampas tugas akhir mahasiswa untuk dijadikan artikel, hingga memanfaatkan Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk dijadikan tugas pengabdian adalah beberapa di antaranya.
Bahkan ada pula yang melakukan pungutan liar (pungli), baik untuk kebutuhan hidupnya atau menyelesaikan tugas tridarmanya.
Selain itu, ternyata tak jarang kita menemukan dosen yang mendapatkan beban lebih di luar dari itu.
Untuk kasus ini, hampir semua dosen merasakannya, kecuali ia kemungkinan adalah konco pejabat.
Menjadi “sales” kampus, misalnya, dosen dituntut untuk mencari calon mahasiswa di masyarakat.
Hal ini tentu menjadi keniscayaan, apalagi jika itu kampus swasta, yang sering mengalami kekurangan pendaftar mahasiswa bagu.
Ditambah lagi jika kampus tersebut berada di dekat PTN yang berBeha (PTNBH) dengan fleksibiltas dalam menetapkan kuota mahasiswa baru—meski porsinya sangat bombastis.
Dalam tulisan Didi Achjari “PTN-BH dan Fenomena Kapal Keruk” (2023) menarasikan bahwa hal itu mempengaruhi porsi pendaftar mahasiswa baru di kampus swasta, karena diokupasi oleh PTNBH itu sendiri.
Narasi “kekurangan” di atas biasanya menjadi panglima bagi pejabat kampus untuk meredam kemarahan para dosen.
“Sebab dengan banyaknya mahasiswa, maka dosen dapat mendapatkan upah yang sepadan,” katanya. Akan tetapi, narasi ini tidak dapat digeneralisasi begitu saja.
Dalam Pendidikan dan Pelatihan Serikat Pekerja Kampus (SPK) yang dihelat pada Sabtu 27 April 2024, salah satu dosen swasta di Malang, justru memiliki jumlah mahasiswa yang bombastis.
Satu kelas terdapat 50 hingga 60 mahasiswa. Namun, upahnya justru masih jauh di bawah UMR cum kelayakan.
Artinya, narasi itu kemungkinan dapat menjadi ladang eksploitasi terhadap dosen.
Belum lagi pekerjaan-pekerjaan lain, yang secara administratif dan juga menjadi setumpuk beban bagi dosen.
Pada akhirnya, dosen sebagai kaum intelektual, justru teralienasi dengan intelektualitas itu sendiri dan produk pengetahuan yang dihasilkannya.
Lebih jauh lagi, juga teralienasi dengan keluarga dan kerabatnya. Bukankan jika seperti ini, dosen adalah buruh?
Tegas, Dosen adalah Buruh!
Dalam KBBI, kata “buruh” dan “pekerja” adalah sinonim, yaitu orang yang bekerja dan mendapatkan upah. Namun, kita perlu hati-hati dalam mengidentifikasi keduanya, karena tidak semua pekerja adalah buruh, tetapi buruh sudah pasti pekerja.
Marx kemudian menerangkan istilah Labour (buruh) dan Worker (pekerja) dalam buku A Contribution to the Critique of Political Economy (1859).
Menurutnya, eksistensi manusia adalah bekerja sebagai worker.
Mereka pada dasarnya bekerja untuk memproduksi nilai guna kehidupannya dan saling berinteraksi melalui nilai itu.
Akan tetapi, ketika nilai guna dikomodifikasi sebagai nilai tukar maka “labour in which individual characteristics of workers are obliterated”.
Di sinilah persoalannya, mereka yang memproduksi nilai guna tersebut, terlebih dahulu berinteraksi melalui nilai tukar itu untuk menikmati nilai guna produk.
Apabila pekerja tidak diupah berdasarkan produksi nilai tukar tersebut, maka mereka akan mengalami keterasingan dengan nilai guna yang diproduksinya sendiri.
Marx berpandangan, buruh selama ini memproduksi nilai tukar—yang tersubordinasi dengan pemodalnya—dan teralienasi dengan hasil kerjanya.
Memang dosen dapat memberikan pemasukan pada kampus—pada pejabatnya, tetapi pada dasarnya mereka tidak mampu hidup dari hasi kerja yang dilakukannya. Hal ini mempertegas, bahwa posisi dosen adalah buruh.
Kondisi tersebut sama dengan apa yang dikatakan Pablo Neruda dalam puisinya “The Light Wraps You”, berbunyi “the light wraps you in its mortal flame / abstracted pale mourner, standing that way”.
Namun, sedikit ada harapan menurutnya, sebagaimana bait terakhirnya “Oh magnificent and fecund and magnetic slave / of the circle that moves in turn through black and gold: / rise, lead and possess a creation”.
Sebab dengan bangkit, berserikat, dan berlawan, kita akan menerangi indonesia emas di tahun 2045. Selamat Hari Buruh, Kamerad!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.