Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Rambu Solo Ne Linggi

Momen Jenazah Ne' Linggi Diarak Jalan Kaki 300 Meter ke Pemakaman

Mereka membawa jenazah Ne' Linggi dengan menggunakan tandu tradisional yang dihiasi dengan ukiran ciri khas Toraja. 

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM/ERLAN SAPUTRA
Potret Jenazah Ne' Linggi diarak menuju pemakaman di Makam (Patane) Tua, Kelurahan Pangli, Kecamatan Sesean, Toraja Utara, Jumat (19/4/2024) sore. Dalam tradisi pemakaman Toraja, prosesi pemindahan jenazah ke tempat pemakaman, yang disebut Meawa. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ratusan warga Kelurahan Pangli, Kecamatan Sesean, Toraja Utara, Sulawesi Selatan berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Yuli Maria Tangkeallo, yang lebih dikenal sebagai Ne' Linggi. 

Ne' Linggi, anak ketiga dari lima bersaudara adalah putri dari Pong Massangka dan Lai' Paniki. 

Pada tanggal 21 Agustus 2021, ia berpulang di usia 88 tahun.

Adapun prosesi pemakaman jenazah Ne' Linggi dibawa menuju peristirahatan terakhir di Makam Tua alias Patane. 

Lokasi pemakaman ini berdekatan tempat upacara pemakaman adat Rambu Solo Ne' Linggi, yang sebelumnya telah dilaksanakan. 

Pantauan Tribun-Timur.com, ratusan warga turut serta dalam prosesi ini, membawa jenazah sejauh 300 meter menuju tempat pemakaman. 

Baca juga: Prosesi Pemakaman Ne Linggi: Penghormatan Terakhir Setelah Lima Hari Upacara Rambu Solo Toraja

Mereka membawa jenazah dengan menggunakan tandu tradisional yang dihiasi dengan ukiran ciri khas Toraja. 

Jenazahnya diletakkan dalam peti jenazah yang juga dirancang dengan sentuhan seni dan keindahan khas Toraja. 

Yang menarik dari prosesi pemakaman ini adalah cara unik di mana jenazah Ne' Linggi diarak menuju pemakaman. 

Berbeda dengan prosesi pemakaman biasa di mana jenazah diangkut dengan kendaraan roda empat.

Ne' Linggi diarak dengan berjalan kaki oleh penduduk setempat. 

Dalam tradisi pemakaman Toraja, prosesi pemindahan jenazah ke tempat pemakaman, yang disebut Meawa.

Hal ini menjadi bagian yang sangat penting dalam rangkaian upacara Rambu Solo. 

Meawa, yang merupakan prosesi arak-arakan jenazah, dianggap sebagai momen sakral yang menghormati orang yang telah berpulang ke peristirahatan terakhirnya.

Kegiatan Meawa dalam arak-arakan jenazah dapat mencakup:

1. Persiapan: Persiapan dilakukan untuk mempersiapkan tandu tradisional, peti jenazah, dan segala perlengkapan yang diperlukan untuk prosesi pemakaman.

2. Penghormatan: Penduduk berkumpul di sekitar jenazah untuk memberikan penghormatan terakhir, mendoakan yang meninggal, dan mengucapkan belasungkawa kepada keluarga.

3. Pengiringan: Jenazah diangkat ke tandu tradisional dan diiringi oleh penduduk setempat, sering kali dengan nyanyian-nyanyian penghormatan atau doa-doa.

4. Perjalanan: Tandu yang membawa jenazah kemudian diarak menuju tempat pemakaman dengan diiringi oleh kerumunan yang turut serta dalam arak-arakan tersebut.

5. Pemakaman: Setibanya di tempat peristirahatan terakhir, jenazah Ne' Linggi diletakkan dengan penghormatan di makamnya.

Hari Terakhir Upacara Rambu Solo Ne' Linggi 

Hari terakhir dari upacara pemakaman adat Rambu Solo untuk Yuli Maria Tangkeallo alias Ne' Linggi, Jumat (19/4/2024).

Upacara pemakaman dari putri pejuang terkemuka Toraja, Pong Massangka, diselenggarakan dengan penuh penghormatan di Rantepangli, Kelurahan Pangli, Kecamatan Sesean, Kabupaten Toraja Utara (Torut).

Suasana khidmat dan penuh makna saat keluarga, kerabat, dan masyarakat setempat berkumpul untuk menghormati dan mengantar Ne' Linggi ke peristirahatan terakhirnya.

Putra Sulung Ne' Linggi, Daniel Pongmasangka mengungkapkan, jenazah sang ibunda akan dimakamkan di Kompleks Patane Tua Keluarga Tangkeallo.

Kompleks Patane Tua Keluarga Tangkeallo ini berada di Pangli, Kecamatan Sesean, Kabupaten Toraja Utara, Sulsel.

"Setelah rangkaian upacara Rambu Solo secara keseluruhan, hari ini adalah hari terakhir persembahan penghormatan bagi ibu kami (Ne' Linggi)," kata Daniel Pongmasangka.

Sebelum diantarkan ke pemakaman, keluarga dan kerabat terdekat berkumpul untuk melakukan doa bersama sesuai dengan ajaran agama Kristen dan tradisi adat Toraja.

Baca juga: Potret Peti Jenazah Ne Linggi Disimpan Sementara di Rumah Tongkonan Toraja Utara

Doa bersama ini menguatkan ikatan keluarga dan menghadirkan suasana spiritual yang sakral di tengah-tengah mereka.

Setelah doa bersama, jenazah Ne' Linggi diantarkan dengan penuh penghormatan ke peristirahatan terakhirnya. 

"Setelah kita ibadah, kita akan antarkan ke peristirahatan terakhir," tandasnya.

Prosesi ritual ini disebut 'Meawa'.

Meawa adalah bagian dari tradisi Rambu Solo di budaya Toraja. 

Ini adalah ritual pemakaman yang sangat penting di Toraja, di mana jenazah disiapkan untuk perjalanan ke dunia setelah kematian. 

Meawa melibatkan serangkaian upacara dan ritual yang kompleks, termasuk prosesi pemakaman, penguburan, dan persembahan bagi roh yang meninggal. 

Ini adalah momen sakral di mana masyarakat Toraja menghormati leluhur mereka dan mempersiapkan arwah yang meninggal untuk perjalanan mereka ke alam setelah kematian.

Perjuangan Pong Massangka Membunuh Pimpinan Belanda di Toraja

Perjuangan Pong Massangka di Toraja tak kalah seru dengan Pong Tiku. 

Pong Massangka adalah ayah kandung Ne Linggi atau Yuli Maria Tangkeallo.

Keturunan Pong Massangka dalam empat bulan terakhir, sejak 20 Januari 2024, menggelar rangkaian Upacara Pemakaman Adat Rambu Solo Ne' Linggi'.

Pong Massangka bersahabat dengan Pong Tiku. Keduanya sama-sama menentang kesombongan penjajah Belanda di Bumi Lakipadada.

Sejak kedatangan Belanda di Toraja, Pong Massangka tidak pernah menunjukkan sikap tunduk kepada Belanda apa lagi menyerahkan senjatanya.

Pong Massangka lalu terpanggil mengkonkretkan semangat perjuangan bawah tanah para pejuang dalam suatu wadah dengan nama sandi " Untendanni Salu Sadan “.

Untuk memudahkan operasionalnya maka mulailah diintensifkan komunikasi rahasia para pejuang lewat Poros Perlawanan Balusu-Pangli/Bori'-Pangala' di Utara terus ke Pantilang di Timur, Sangalla' dan Mengkendek di Selatan serta Rembon dan Buakayu di Barat.

Sesuai kesepakan para pejuang ditetapkanlah target utama waktu itu yakni membunuh Controleur sebagai penguasa tertinggi pemerintah kolonial Belanda di Toraja.

Pada 15 Juli 1917, Pong Massangka memimpin beberapa pengikut ke Rantepao pada hari pasar untuk menunggu kesempatan terbaik menyerang dan membunuh kontrolir Belanda yang bernama Brower yang biasanya hadir di setiap hari di sore hari.

Saat itu Pong Massangka dan para pengikutnya siaga di sekitar pasar. Mereka sudah sudah sangat dekat dari pemimpin Belanda yang ada di Toraja itu.

Saat senjata akan diterbangkan ke Kontroler Brower,Pong Massangka menghentikan serangannya. 

Dia mengurungkan niat menyerang dan menghabisi pemimpin Belanda di Toraja saat itu karena iba melihat anak si Belanda yang terjatuh dan menangis.

Brower dan istrinya pun memutuskan untuk segera pulang, meninggalkan pasar, dan menggagalkan pembunuhan yang direncanakan Pong Massangka dan pengikutnya.

Tapi tekad Pong Massangka menghabisi pemimpin tertinggi Belanda di Toraja hanya tertahan sementara.

Segera dia menyusun rencana ulang untuk meneruskan tekad.

Semangat yang terpendam selama masa beberapa kali panen padi itu pada malam itu dan malam berikutnya Pong Massangka dan para pengikutnya dengan dukungan aktif diam-diam dari banyak orang menyerbu Pasar To'Karau dalam satu jam dan membakar kios kios pasar yang baru saja dibangun.

Mereka kemudian kembali ke Pangli dimana mereka membakar tiga jembatan yang menghubungkan desa itu dengan jalan ke Rantepao sebuah jalan yang dibenci oleh massangka karena pemerintah Belanda telah menyita sebagian sawahnya untuk membangun jalan itu tanpa berunding dengan Pong Massangka.

Para penduduk pangli dengan segera berada dalam hiruk-pikuk anti Belanda mereka membangun berbagai barikade di sekitar pintu-pintu masuk desa dan mempersiapkan diri melawan pasukan Belanda yang mereka tahu akan segera datang.

Berbagai laporan kepada asisten residen mengindikasikan bahwa Belanda memperkirakan terjadinya sebuah pertempuran sengit di Pangli contolir Brower dan pasukannya setengah Brigade polisi bersenjata bergerak dari Bori ke balusu dengan meminta kubu dipanggil barikade salah dua Brigade Infanteri dari Palopo dan 2 dari Enrekang tengah dalam perjalanan untuk menghadapi setiap perlawanan berat 

Brower pergi ke Balusu karena ia curiga bahwa Ne'matandung bagaimanapun juga terlibat dalam pembunuhan sang misionaris yakni van de loosdrecht.

Sebuah kecurigaan yang kian kuat saat Sang Penguasa alamat tak hanya menolak untuk bertemu dengannya tapi juga mengirim seekor babi kurus ia menggelikan dan sepasang ayam sakit yang sudah tua sebagai bentuk tindakan yang menggambarkan harga dirinya pada pejabat Belanda terkemuka di rantepao itu.

Menjelang malam semua kampung di sekitar menyulut api sebagai bentuk dukungan atas kegarangan Ne'matandung dan Sejak pagi berikutnya 500 pendukung bersenjata menunggu di dekat perbukitan yang mengelilingi pemerintah yang tak disukai itu.

Setelah setengah hari pengejaran terus-menerus seorang Toraja meninggal ditembak saat ia menuju ke seorang pembawa pesan yang membawa surat perintah ke Ne'matandung. 

Jalan buntu berakhir ketika asisten presiden tiba-tiba dengan pasukannya dari Palopo dan setengah Brigade polisi lainnya dari Makale.

Di hadapan majunya Belanda prajurit Ne'matandung tercerai-berai di sepanjang daerah yang berbukit-bukit, secara tidak efektif melakukan perlawanan dengan tombak dan parang melawan senjata api Belanda.

Beberapa lagi orang Toraja terbunuh atau tertangkap dan perlawanan itu pun akhirnya dihancurkan.

Pong Masangka pun sempat diasingkan sebelum dipulangkan kembali di tanah kelahirannya.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved