Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ulik Kekayaan Legislator Sulsel

Caleg DPRD Sulsel: Ada Tawaran Rp 500 Ribu Per Suara

Menurut pengamat politik dari Unhas Adi Suryadi Culla, wajar jika para miliuner berlatar belakang pengusaha menjadi legislator, terlepas dari apa pun

|
Penulis: Edi Sumardi | Editor: Edi Sumardi
TRIBUN TIMUR/SALDY IRAWAN
Baliho caleg DPRD Sulsel dan DPRD Makassar terpampang di kawasan Nipa Nipa, Kecamatan Manggala, Makassar, Sulsel. 

Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya Alasan Pengusaha Jadi Legislator Walau Kekayaan Puluhan Miliar

 

Laporan jurnalis Tribun-Timur.com, Edi Sumardi

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Menjadi legislator butuh modal kapital besar.

Menurut pengamat politik dari Unhas Adi Suryadi Culla, wajar jika para miliuner berlatar belakang pengusaha menjadi legislator, terlepas dari apa pun motifnya.

Menjadi legislator pada saat ini tidak hanya cukup dengan modal sosial.

“Modal kapital harus kuat. Inilah efek dari sistem proporsional terbuka. Siapa paling banyak uangnya, dia berpotensi terpilih,” kata Adi.

Modal kapital inilah dimiliki pengusaha.

Menurut Adi, pertarungan modal kapital inilah merusak tatanan demokrasi di Tanah Air.

Terlebih pemilih juga kian pragmatis.

“Sekarang sudah serangan pagar, bukan lagi serangan fajar. Transaksi beli suara sudah dilakukan di depan pagar rumah pemilih,” ujar Adi.

Modal kapital dibutuhkan untuk duduk di DPRD provinsi mulai Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.

Angka itu disebutkan Direktur Prajna Research Indonesia Sofyan Herbowo berdasarkan hasil surveinya sebagaimana diberitakan Kompas.com pada 1 Agustus 2018.

Namun, angka sebesar itu dikeluarkan sebelum Pemilu 2019.

Tentu sekarang di tengah kenaikan harga barang dan jasa, biaya kampanye juga naik.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Perindo Sulsel, Askar menyebut, biaya kampanye caleg DPRD provinsi rata-rata Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar jika ingin terpilih.

Askar adalah caleg DPRD Sulsel dari dapil Makassar A.

Namun, mengeluarkan biaya kampanye miliaran rupiah juga bukan jaminan terpilih.

Askar menjelaskan kalkulasi biaya kampanye harus dikeluarkan caleg DPRD Sulsel agar terpilih.

“Kalau mau dapat suara 10 ribu atau 20 ribu, harus keluarkan miliaran. Satu suara biayanya minimal Rp 100 ribu dikali dengan jumlah suara yang duduk (terpilih). Kalau pakai konsutan, lebih mahal lagi. Ada konsultan tawarkan Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per suara,” kata Askar dalam wawancara di daerah pemilihannya, Senin (1/1/2024).

Ketua Bappilu Partai Perindo Sulsel dan caleg DPRD Sulsel, Askar. 
Ketua Bappilu Partai Perindo Sulsel dan caleg DPRD Sulsel, Askar.  (TRIBUN TIMUR/EDI SUMARDI)

Biaya Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu per suara adalah biaya konsumsi, transportasi, dan alat peraga kampanye.

Agar calon pemilih tak beralih dukungan, maka basis massa harus dirawat dengan cara rutin menggelar pertemuan sosialisasi.

Satu titik kampanye minimal 1 kali pertemuan.

“Saat pertemuan, sudah dikasih makan, pas mau pulang minta uang transpor. Mereka bilang, ‘Kok diundang tapi tidak ada uang transportnya. Belum lagi kita dihadapkan dengan caleg punya modal besar,” tutur Askar.

Rachmatika sekaligus Ketua DPD Partai Nasdem juga mengakui jika jadi caleg memang membutuhkan biaya besar.

Namun, angka biaya kampanye dihabiskan relatif.

“Tapi berbagi pengalaman bahwa memang pemilu membutuhkan biaya karena ada cost politik timbul dalam agenda kampanye, mulai dari atribut, kegiatan kampanye, konsolidasi tim. Tentu itu membutuhkan biaya,” kata Rachmatika menyebutkan.

Rachmatika sudah 2 periode duduk sebagai legislator DPRD Sulsel dan 1 periode di DPRD Makassar mewakili Partai Golkar.

Dia punya pengalaman 3 kali bertarung di Pemilu dan tahun ini merupakan tahun keempat.

Askar juga mencontohkan model calon pemilih meminta uang kepada caleg dengan menyodorkan proposal kegiatan.

Pada malam Tahun Baru, dirinya disodori 4 proposal permohonan bantuan dana pesta malam Tahun Baru dari calon pemilih di Kecamatan Makassar, Kecamatan Rappocini, Kecamatan Tamalate, dan Kecamatan Tallo.

Cara calon pemilih meminta uang tak bisa dihindari, sebab, dikatakan Askar, mereka berprinsip, kalau bukan sekarang mendapatkan uangnya, kapan lagi.

“Prinsipnya pemilih ada 3. Ini (kampanye) 1 kali dalam 5 tahun, siang malam kita kerja bantu mereka (caleg). Belum tentu datang lagi kalau sudah terpilih,” kata dia menyebutkan.

Askar mengenang punya pengalaman pahit ketika menjadi caleg DPRD Makassar dari Partai Perindo dapil 2 pada Pemilu 2019.

“Saya sudah kasih uang Rp 18 juta, dijanji 112 suara, tapi malah hanya dapat 17 suara,” katanya.

Ketua Bappilu DPD Partai Demokrat Sulsel, Andi Januar Jaury Dharwis juga mengaku pemilih kian pragmatis.

Kondisi itu didukung dengan adanya caleg berkantong tebal dan hanya mengandalkan kekuatan uang agar terpilih.

“Sekarang ada model ambil KTP, KK, lalu tukar dengan uang. Sekarang  ada istilah panjar, mereka mau ukur komitmen caleg. Panjar 1, panjar 2,” kata anggota DPRD Sulsel dari Partai Demokrat dapil Makassar A tersebut, Sabtu (6/1/2024).

Model politik uang seperti itu dilakukan tim pemenangan dengan mendatangi rumah calon pemilih (door to door).

Saat bertarung di Pemilu 2029, Januar mengaku menghabiskan biaya kampanye Rp 350 juta.

Rachmatika mengakui, politik uang tak bisa dianggap tak ada.

“Praktik money politic tidak bisa dianggap tidak ada, tapi itu relatif tiap orang. Tidak semua orang duduk di DPRD karena menghabiskan biaya kampanye miliaran,” ujarnya.

Legislator DPRD Sulsel dari PKS dapil Makassar A, Sri Rahmi mengakui menghabiskan Rp 600 juta pada Pemilu 2019.

Saat diwawancarai pada Jumat (12/1/2024), Rahmi sedang kampanye di Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujungtanah, Makassar, untuk pencalonannya sebagai anggota DPR RI dari dapil Sulsel 1.

Anggota DPRD Sulsel dan Caleg DPR RI, Sri Rahmi saat kampanye di Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujungtanah, Makassar, Sulsel, Jumat (12/1/2024).
Anggota DPRD Sulsel dan Caleg DPR RI, Sri Rahmi saat kampanye di Kelurahan Tabaringan, Kecamatan Ujungtanah, Makassar, Sulsel, Jumat (12/1/2024). (TRIBUN TIMUR/EDI SUMARDI)

Kata dia, kini caleg tak bisa semau-maunya memainkan politik uang karena pemilih semakin cerdas.

Hal ini tentu menguntungkan caleg yang punya modal sosial kuat dan program disukai masyarakat pemilih.

“Pemilih sekarang semakin cerdas. Tidak mau dibodoh-bodohi caleg yang hanya sekali datang, lalu tak datang lagi setelah dikasih uang,” kata Bunda Rahmi, sapaannya.

Amirul Yamin Ramadhansyah, mantan caleg DPRD Sulsel dari Partai Demokrat dapil Makassar B pada Pemilu 2019 mengaku menghabiskan biaya kampanye Rp 350 juta.

“Itu pun saya tidak serius kampanye caleg karena fokus kampanye Cawapres Sandiaga Uno. Saya juga diuntungkan dengan popularitas Bapak (ayahnya, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin),” kata Amirul, Jumat (12/1/2024).

Dia menyebut ada caleg menghabiskan dana kampanye miliaran rupiah karena popularitasnya rendah, namun isi kantongnya tebal.

“Kalau caleg baru, tidak punya nama, bisa habis miliaran rupiah,” katanya.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved