Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Pegawai KPK Korupsi, Harus Disidik Polri

Seluruh pimpinan KPK harus tahu diri, bahwa lembaganya saat ini sedang lagi mengalami defisit kepercayaan publik

Editor: Ilham Arsyam
dok pribadi
Prof Amir Ilyas dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas). 

Oleh: Amir Ilyas

Guru Besar Ilmu Hukum Unhas

Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Albertina Ho mengungkapkan, ada 93 orang pegawai di Rutan KPK terlibat dalam skandal pungli. Dengan secara keseluruhan fulus hasil pungli tersebut jumlahnya cukup fantastis, yaitu sekitar Rp.6,148 miliar. Nilai terendah yang diterima oleh oknum pegawai dikisaran Rp. 1 juta, sedangkan nilai tertingginya yaitu sebesar Rp.500.000.000. Diduga setelah beberapa tahanan memberikan fulus rupiah kepada pegawai Rutan. Para tahanan diberikan keistimewaan sendiri. Seperti bisa menggunakan telepon seluler, mendapatkan dan memesan fasilitas makanan mewah, hingga dibebaskan dari kewajiban membersihkan toilet tahanan.

Hal yang janggal dari pengungkapan kasus ini, mengapa Dewas KPK seolah baru dihinggapi keseriusan untuk memproses puluhan pegawai Rutan KPK ke sidang etik? Padahal isunya sudah dari tujuh bulan yang lalu menyeruak, seorang pegawai Rutan KPK inisial “M”, selain terseret dalam kasus pelecehan seksual istri tahanan, juga terendus menerima suap dari seorang keluarga tahanan KPK. Para aktivis anti korupsi saat itu, bahkan sudah kencang berseloroh, “M” tidak hanya seorang diri pastinya, sebagai aktor pungli di Rutan anti rasuah.

Boleh jadi ada benarnya kecurigaan publik, barulah sekarang seluruh anggota Dewas KPK memiliki keberanian untuk menyeret puluhan pegawai Rutan KPK (termasuk kepala Rutannya) pasca Firli Bahuri tidak lagi sedang berkuasa di KPK. Jika kecurigaan itu memang benar, sungguh dan betapa besar ternyata pengaruh Firli Bahuri dalam menutup praktik lancung di internal KPK. Selain Firli bisa mengatur perkara dari calon-calon tersangka korupsi, ternyata dapat pula mengamankan borok dan buruknya pegawai di KPK.

Kendatipun kasus ini, sekarang sudah dalam ranah penyelidikan KPK. KPK sendiri yang kelak akan menetapkan puluhan pegawai rutan KPK yang telah terlibat dalam penerimaan pungli dari para tahanan dan keluarga tahanan. Saya termasuk pihak yang lebih sepakat, jika kasus dan praktik pungli tersebut lebih baik ditangani oleh kepolisian.

Seluruh pimpinan KPK harus tahu diri, bahwa lembaganya saat ini sedang lagi mengalami defisit kepercayaan publik. Sehingga lebih patut, jika para terduga pegawai Rutan KPK menjadi domain pemeriksaan Polri. Terlebih sekarang, salah satu eks pimpinannya (Firli Bahuri) juga sudah dalam proses pemeriksaan hukum Polda Metro Jaya. Lagi pula, apa yang salah jika Polda Metro Jaya juga diberikan kepercayaan untuk memeriksa para pegawai Rutan KPK tersebut.

Alasan lainnya lagi sehingga lebih patut kalau para terduga penerima pungli itu diperiksa oleh Penyidik Polda Metro Jaya. Adalah soal penghindaran atas konflik kepentingan sesama kolega dan berpotensinya penyalahgunaan perlindungan korps KPK. KPK yang sudah demikian hilang basis kepercayaannya, digadang-gadang dia lagi yang akan memeriksa pegawainya sendiri, sama saja menambah beban dan masalah untuk KPK. Boleh jadi KPK akan dianggap bermain mata untuk bawahannya. Tidak transparan dan cenderung menutup aktor-aktor lainnya. Kasarnya, KPK saat ini harus menghindarkan tuduhan, jeruk makan jeruk.

Penegakan hukum atas pejabat dalam institusi hukum tidaklah elok jika diselesaikan di dalam rumah sendiri. Jika dahulunya, KPK selalu diberikan sokongan dan dukungan saat berani memeriksa kasus korupsi yang terjadi di institusi kepolisian (misalnya kasus simulator SIM). Sekarang, keadaan itu tentunya harus diperlakukan sama, sudah saatnya kepolisian yang diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan, kalau ada pegawai dan komisioner KPK yang disinyalir melakukan perbuatan atau tindak pidana korupsi.

Hanya UU KPK yang seolah memberikan kewenangan full, untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan jika di institusi hukum lainnya sedang terjadi dugaan tindak pidana korupsi. Namun hal itu tidak berlaku sama, baik dalam UU Kejaksaan maupun dalam KUHAP, kepolisian dan kejaksaan tidak diberikan kewenangan khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan jika di institusi KPK terdapat pejabatnya yang terduga melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 11 ayat 1 huruf a UU No. 19/2019 tentang KPK ditegaskan “KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.”

Di tengah isu pembenahan dan pengembalian maruah KPK sekarang. Berikut munculnya kembali desakan agar UU KPK direvisi untuk mengembalikan independensinya, jangan diletakkan lagi di bawah rumpun eksekutif. Ketentuan mengenai siapa yang seharusnya berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, jika terdapat pejabat di lingkup KPK yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi, harus ditambahkan dalam revisi UU KPK ke depannya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan itu harus menjadi ranah Polri. Pertanyaan lain kemudian muncul, apakah Kejaksaan dapat juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kalau ada pejabat di lingkup KPK yang terduga melakukan tindak pidana korupsi? Saya kira sudah cukup kepolisian saja yang diberikan kewenangan itu. Biarkan Kejaksaan dalam perkara yang seperti itu menjalankan fungsi penuntutannya saja. Demi menghindari ego sektoral masing-masing institusi hukum.

Sudah saatnya sekarang KPK melakukan bersih-bersih dari seluruh oknum yang mendegradasi fungsi pencegahan dan penindakan korupsi. KPK sekarang adalah sapu kotor yang tidak mungkin dapat membersihkan lantai yang kotor. Oleh karena itu, mari kita bersama mengawal dan mendesak, agar kasus pungli ini jangan hanya berakhir di tangan dewas KPK. Dijatuhkan sanksi berat dengan pemberhentian tidak dengan hormat. Namun perlu ditindaklanjuti dengan penerapan ancaman tindak pidana korupsi, Pasal 11, Pasal 12 a, Pasal 12 b, Pasal 12 c, atau Pasal 12 e UU Tipikor. (*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Merdekakah Kita? 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved