Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Bertemu Pak Gany di Masjid Sultan Singapura

“Kakek nenek saya dari Makassar” ucapnya sambil memanggil saya duduk di sebelahnya, di bangku taman depan tempat tugasnya mengatur turis

|
Editor: Saldy Irawan
DOK PRIBADI
M Ridha dan Gani di Singapura 

Muhammad Ridha

Melaporkan dari Singapura

 

TRIBUN-TIMUR.COM - Namanya Gany. Usianya lebih separuh abad, 64 tahun. Dia adalah keturunan keempat dari buyut asal Makassar. Saat saya sapa, dia bergembira menyambut saya yang mengakui asal saya dari Makassar.

“Kakek nenek saya dari Makassar” ucapnya sambil memanggil saya duduk di sebelahnya, di bangku taman depan tempat tugasnya mengatur turis yang masuk dan keluar ke halaman masjid Sultan Singapura.

“Banyak turis Taiwan, China dan Eropa tak tau sebelah mana perempuan boleh masuk dan sebelah mana laki-laki boleh masuk. Itulah yang saya kerjakan di sini”. Dia menyampaikan sambil meluruskan songkok Melayu beludru hitam yang umum digunakan laki-laki muslim di Malaysia, Indonesia dan beberapa wilayah lain di Asia tenggara.

Saya menemuinya secara tak sengaja sepulang dari sarapan nasi Padang di gang Kandahar, sekitar Arab Street Kampong Glam, Singapura. Saat saya temui dia sedang istirahat sambil memandang-kandang masjid Sultan, tempat tugasnya lebih dari 20 tahun terakhir.

Masjid cantik berarsitektur Melayu yang cantik ini berdiri tahun 1820. Berdiri sudah lebih dari dua abad. 

Tepat di sebelah timurnya, warung nasi Padang -tempat makan yang saya pilih saat berjalan-jalan di sekitar hostel tempat saya menginap semalam- berdiri. Saya menginap di sebuah hostel. Sebuah kapsul seukuran 80cm x 200cm dengan sebuah lampu penerang, colokan listrik serta kasur dan bantal. Cukup untuk turis kelas mepet seperti saya yang sedang transit semalam di Singapura menuju sebuah kota di Punjab, India.

Kemudian, saya berpamit untuk pulang ke hotel saat tugasnya mulai padat mengarahkan para turis di halaman masjid Sultan.

Dia berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya saat melihat dua turis Taiwan kebingungan mau menuju ke tempat wudhu tapi ada sekat yang membatasinya. “Itu saya harus kasih paham. Saya tinggal sebentar yah” katanya sambil berlalu ke dalam kesibukan memberi pengarahan kepada turis yang makin banyak.

Saya pun menuju hostel. Merapikan pakaian di tas yang Kemaren ditumpuk-tumpuk saja ke dalam tas saat akan berangkat; membersihkan diri di kamar mandi dengan shower dan air hangat, sabun dan sampo gratis; berpamitan untuk ceck out kepada dua orang turis Malaysia dari Sabah yang menyambut saya tengah malam tadi.

Hostel ini hanyalah rumah toko tua berlantai empat yang ditata ulang untuk kebutuhan menjadi hostel kapsul dengan kapasitas 60 tempat tidur. Hostelnya tanpa petugas kecuali staff online dari nomor wa yang tertera di pintu masuk yang dilengkapi dengan sensor untuk membukanya.

Saat saya kontak dia mengirimkan kode PIN untuk masuk ke Hostel, kode PIN untuk masuk ke kamar dan kode untuk membuka loker tempat penyimpanan barang bawaan. 

Tak ada petugas yang menyambut. Tak ada resepsionis. Tak ada petugas jaga dan satpam. Semua hanya dihubungkan oleh nomor di aplikasi dan korespondensi dilakukan dari situ. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved