Opini
Dark Academia: Temaram di Menara Gading
Sebuah praktik hitam perguruan tinggi, dengan segera mengingatkan saya pada Peter Fleming, penulis buku Dark Academia: How Universities Die.
Oleh: Bahrul Amsal
Dosen Sosiologi FIS-H UNM
TRIBUN-TIMUR.COM - Harian Kompas bertarikh 9 Februari lalu menurunkan headline bukan main-main: Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah.
Sebuah laporan investigatif.
Sebuah praktik hitam perguruan tinggi, dengan segera mengingatkan saya pada Peter Fleming, penulis buku Dark Academia: How Universities Die.
Ia membuka bab pertama bukunya dengan dua kata kontradiktif: Dark Academia, setelah dibaca berisi narasi tidak mengenakan terjadi di banyak perguruan tinggi dunia.
Dark academia adalah termin tentang sisi gelap perguruan tinggi.
Cukup provokatif, tapi ini relatif mendekati kenyataan masa kini.
Kampus menjadi bukit tempat matahari pencerahan terbenam. Pasca itu, kegelapan.
Perguruan tinggi, kiwari, disebutkan Fleming menjadi tempat bekerja yang menyedihkan.
Tanpa ampun menempatkan semua unsur pekerja di dalamnya dengan sistem menyerupai pabrik.
Dalam kasus yang ia alami sendiri di Inggris, Fleming menyebut prinsip kepemimpinan kolegial berbasis akademik di perguruan tinggi, lebih banyak paham tentang sisi melik civitas akademika, telah berubah diisi menjadi “para bos dalam setelan jas warna gelap”, yang mengubah iklim profesi akademik menjadi perusahaan.
Dalam kasus di London, ketika para dosen melakukan aksi protes 2018, 6000 akademisi Britania Raya menunjukkan 90 persen dari mereka sangat tidak puas dengan manajemen perguruan tinggi di sana.
Alasannya kampus tidak menjadi tempat bekerja yang terbuka, lebih banyak menyebabkan stress, suara kritis dibungkam, kepercayaan yang rendah, dan minimnya penghargaan.
Yang paling menyedihkan dari semua masalah itu adalah tidak ketemunya organisasi manajerial kampus dengan orientasi pengabdian kelompok akademisi.
Di bawah gaya kepemimpinan bercorak perusahaan, perguruan tinggi dibangun menggunakan prinsip edu-factori: pendidikan menjadi industri bisnis.
Tidak jauh berbeda dengan sistem bisnis pada umumnya, cuman ini beroperasi menggunakan buku-buku, gelar, ijazah, sertifikat, dan tentu saja jurnal berskala internasional.
Nyaris menjadi tatanan global, perguruan tinggi di seluruh dunia mengalami apa yang Fleming katakan menjadi sebagai pabrik pengetahuan.
Coba Anda bayangkan betapa menyedihkannya istilah ini, tapi ini merupakan dampak lanjutan dari restrukturisasi perguruan tinggi di seluruh dunia saat ini.
Salah satunya ketika kepakaran akademisi dikendalikan secara ketat melalui metrik kinerja berbasis indikator kinerja utama.
Indikasi lain dari transformasi ini sudah tentu gampang terlihat: tekanan kepada program studi untuk menyerap sebanyak-banyaknya mahasiswa.
Dan, seperti yang sudah terjadi di Indonesia, kampus-kampus cukup bangga jika sudah sampai ke taraf kampus mandiri (BLU).
“Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.”
Ini merupakan definisi pasal 1 PP No 23 Tahun 2005, tentang satuan kerja BLU, yang mengubah kampus menjadi bak perusahaan, sekaligus di waktu bersamaan masih mengagendakan tugas-tugas kemanusiaannya di bawah panji-panji tiga darma perguruan tinggi.
Jadi, sudah cukup jelas kemana arah perguruan tinggi mengarahkan biduk layarnya di bawah frasa “jasa yang dijual”, dengan mengutamakan prinsip “efisiensi” dan “produktivitas”.
Nampak familiar sebagai sebuah istilah dalam ilmu ekonomi.
Fleming menyebut, semua proses perguruan tinggi untuk menjadi independen dilakukan dalam rangka merelevankan dirinya dengan dunia bisnis.
Dari kasus Fleming sendiri, “relevansi bisnis” berarti perguruan tinggi harus menunjukkan dampak sosial yang lebih besar dan mencari pembenaran bahwa kegiatan-kegiatan di dalamnya dilakukan demi kontribusinya pada semangat inovasi dan peningkatan ekonomi.
Itu artinya, untuk sampai di sana, perguruan tinggi biasanya melakukan kerja sama industri dengan perusahaan-perusahaan agar tetap bersenyawa dengan dunia kerja.
Contoh kecil yang menandai keselarasan dunia ilmu pengetahuan dengan dunia bisnis ditunjukkan Fleming berupa patenisasi pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang diarahkan menjadi properti (komodifikasi pengetahuan).
Di kampus negeri di Indonesia, bahkan para dosen muda sudah dapat membuat hak paten atas nama kekayaan intelektual meski karya yang dihasilkannya diciptakan dalam rangka untuk memenuhi poin kinerjanya.
Bisnis bukan sesuatu yang buruk.
Secara intrinsik ia bernilai, tapi sesungguhnya nilainya akan ditentukan dengan pertanyaan “untuk apa bisnis itu dilakukan?”
Pertanyaan ini sama pentingnya dengan bunyi pertanyaan akan kemana arah perguran tinggi sekarang?
Kisi-kisi untuk menjawab pertanyaan itu dapat ditelusuri jauh ke belakang, ketika neoliberalisasi berhasil menundukkan perguran tinggi menjadi unit-unit bisnis berskala nasional, bahkan global.
Bukan saja sektor pendidikan, sektor publik lainnya sejak itu mulai mengalami tiga prinsip penting dalam pengelolaannya: privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi.
Banyak kritikus pendidikan dan juga perguruan tinggi menyatakan, bahaya paham ekonomi neoliberal terhadap pendidikan.
Salah satu kritikus yang mengambil jarak terhadap, terkhusus kapitalisme adalah Pierre Bourdieu. Ia mengkritik relasi paham kapitalisme kepada pendidikan melalui kekerasan simbolik dalam tradisi pembelajaran yang lebih mewakili kelas dominan.
Sama halnya Bourdieu, kritikus lainnya seperti Ivan Illich dan Neil Postman. Mereka melihat pengaruh cara pandang pengelolaan institusi pendidikan dengan cara ekonomistik membuat sekolah mengalami kegagalan sejak mereka menetapkan tujuan mulianya.
Semua kritik dari nama-nama di atas memperingatkan, tidak terkecuali perguruan tinggi, dunia pendidikan pada umumnya sedang berjalan mendekati ajalnya.
Sebabnya dapat dilihat dari dua logika yang berjalan bersamaan secara ambivalen di bawah atap-atap institusi pendidikan. Yaitu logika penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi profit di satu sisi, dan kegiatan-kegiatan akademik yang memiliki tanggung jawab pengabdian kepada masyarakat sebagai lembaga publik.
Dua motivasi yang berbeda ini akan menjadi sangat fatal jika masing-masing saling mengisi satu sama lain. Seperti misalnya tujuan suci misi pengabdian yang bercampur dengan niat licik beorientasi keuntungan.
Bourdieu dengan nada sinistik menganilisis kecenderungan menggerogoti motivasi akademisi yang tidak lagi berhasrat dalam mencari imu pengetahuan. Tapi lebih ngeh dengan kedudukan akademik dalam hirarki perguruan tinggi sebagai homo academicus: sesuatu yang banyak terjadi di perguruan tinggi di Indonesia.
Dampak dari marketisasi perguruan tinggi ini di sisi lain juga ikut mengeksploitasi relasi dosen dengan mahasiswa.
Sebagai konsumen, mahasiswa tidak dipandang lagi sebagai subjek kebudayaan yang membutuhkan bimbingan dan arah untuk menentukan masa depan kemanusiaannya.
Melainkan diposisikan sebagai makhluk ekonomi yang dipersiapkan agar dapat selaras dengan dunia kerja pasca ia menginvestasikan modalnya di dalam perguruan tinggi.
Dalam proses itu perguruan tinggi tidak sedang berdedikasi untuk meningkatkan pengetahuan manusia dan peradaban, melainkan menjadi kontraktor yang kelelahan akibat mengejar kesejahteraan finansial institusi. Sebuah pedagogi hitam!
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.