Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Catatan Bola: Paradoks, Kompetisi Tanpa Kompetisi

Di bawah pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong (Sty), kita berharap banyak tim nasional bisa memberikan kado tahun baru bagi tanah air ini..

DOK PRIBADI
M Dahlan Abubakar 

Catatan Bola: Paradoks, Kompetisi Tanpa Kompetisi

Oleh: M Dahlan Abubakar
Wartawan Senior/Penulis Buku Ramang Macan Bola

TRIBUN-TIMUR.COM - Tidak berapa lama setelah tim nasional Indonesia ‘keok’ 0-2 atas Vietnam dalam pertandingan leg 2 di Stadion My Dinh Vietnam, 9 Januari 2023, akhir-akhir ini muncul tiga isu sepak bola nasional yang membuat kita miris.

Selain, kekalahan tim nasional itu, kompetisi liga 1 pun digelar tanpa penonton dan tidak mengenal degradasi, serta kompetisi liga 2 dan liga 3 dihentikan (Tribun Timur 13 Januari 2023).

Informasi ini muncul justru pada saat publik sepak bola nasional secara psikologis dan mental belum pulih akibat kekalahan tim nasional yang menyesakkan.

Di bawah pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong (Sty), kita berharap banyak tim nasional bisa memberikan kado tahun baru bagi tanah air ini.

Pertama, tim nasional. Sejak PSSI mengontrak STy, 28 Desember 2019 menggantikan Simon McMenemy asal Skotlandia, kehadiran pelatih Korea kelahiran 11 Mei 1970 tersebut memberi asa yang cukup optimis bagi publik sepak bola Indonesia.

Debut awal STy mampu mengantar timnas Indonesia ke putaran final Piala Asia Juni 2022, setelah mengalahkan tim Kuwait 4-1 dan Nepal 7-0.

Kehadiran timnas Indonesia U-23 tahun 2022 tersebut mengobati rasa rindu publik sepak bola Indonesia setelah 15 tahun puasa melangkah ke babak terhormat Piala Asia. Dengan nilai 6 dan mencetak 9 gol dan kebobolan 2 gol, Indonesia termasuk satu dari enam runner up terbaik.

Sayang, langkah Indonesia terhenti karena dominasi tim-tim Asia Barat sulit dibendung.

Arab Saudi tampil sebagai kampiun Piala Asia U-23 tahun 2022 setelah mengalahkan Uzbekistan 2-0 di final.

Harapan Indonesi kembali kepada Piala AFF.

Indonesia berhasil masuk semifinal setelah mengalahkan Kamboja (2-1), Filipina (2-1), Brunei Darussalam (7-0) dan bermain imbang 1-1 dengan Thailand di Gelora Bung Karno.

Hasil ini menempatkan Indonesia masuk semifinal berhadapan dengan Vietnam,sementara di grup lain, Thailand ‘bentrok’ dengan Malaysia yang berakhir dengan keunggulan agregat Thailand (0-1 pada pertandingan 7 Januari 2023 dan 3-0 pada leg 2 10 Januari). Vietnam dan Thailand bertemu di final.

Pada leg 1 di Vietnam, kedua tim bermain imbang 2-2. Hasil 0-0 di Stadion Gelora Bung Karno (6/1/2023) memberi pesimisme kepada publik sepak bola Indonesia, meskipun STy sendiri masih menyimpan optimisme.

Soalnya, susah mengalahkan Vietnam di kandangnya. Indonesia sebenarnya harus memenangkan pertandingan di kandangnya jika ingin optimis ke final Piala AFF.

Dalam sejarah lima pertemuan kedua tim di Vietnam, Indonesia hanya pernah menang satu kali 2-1 pada legi 1 Piala AFF tahun 2016.

Selain itu Indonesia dan Vietnam tiga kali bermain imbang dalam, yakni dalam dua laga persahabatan 0-0 (16 Oktober 2012), 2-2 (20 November 2012) dan leg 1 Piala AFF 8 November 2016 Vietnam menang dengan skor 3-2 pertandingan kandangnya.

Indonesia kemudian memenangkan leg 1 Piala AFF 2-1 di Gelora Bung Karno, (3 Desember 2016), kemudian seri 2-2 (7 Desember 2016 di Vietnam).

Kedua, Liga 1 Indonesia. Kompetisi liga 1 BRI tetap dilaksanakan, meskipun tanpa penonton.

Langkah ini menjadi paradoks karena Indonesia sendiri baru saja menggelar pertandingan semifinal leg 1 antara Indonesia vs Vietnam di Gelora Bung Karno yang disaksikan puluhan ribu penonton.

Jadi, apa alasannya?

Jika dilaksanakan tanpa penonton, jelas akan menghilangkan pemasukan setiap klub.

Bagaimana membiayai pelaksanaan kompetisi jika ruang pemasukan dana ditutup.

Pertandingan tanpa penonton akan mematikan peluang masyarakat mencari nafkah.

Begitu banyak usaha informal yang muncul saat pertandingan sepak bola.

Mulai dari usaha makanan, transportasi, hingga jasa penjualan tiket.

Masalah ketiga, masih berkaitan dengan liga 1 ini adalah dihilangkannya sistem degradasi.

Banyak pelatih yang menolak kebijakan ini. Bagaimana dengan tim yang saat ini masih terdegradasi ke liga 2, seperti PSMS. Jika pun ada promosi dari liga 2 ke liga 1, berarti harus ada degradasi ke liga 2.

Tidak adanya degradasi ini akan mengurangi semangat kompetisi klub-klub anggota liga. Ini pun dikomentari Aji Santoso, pelatih Persebaya.

Tanpa degradasi akan mengilangkan semangat kompetisi di antara klub.

Artinya, klub tidak akan berkompetisi mempertahankan peringkat dan prestasinya agar tetap di liga 1.

Begitu pun sebaliknya, klub yang berlaga di liga 2 tentu kurang bersemangat mengejar promosi ke liga yang lebih tinggi.

Keempat, penghentian kompetisi liga 2 dan 3. Langkah menghentikan kompetisi liga 2 dan liga 3 ini sebenarnya sama dengan mematikan proses pembinaan atlet sepak bola Indonesia dari bawah.

Pemain-pemain lapis berikut untuk liga 1 justru banyak kita harapkan lahir dari liga 2. Begitu pun pemain yang akan menghuni kasta liga 2 diharapkan muncul dari pemain liga 3. Lalu bagaimana jika kompetisi liga 2 dan 3 ini dihentikan, apakah kita dapat berharap banyak munculnya pemain-pemain muda dan baru?

Melihat fenomena karut marut pembinaan sepak bola Indonesia ini, tentu sangat miris justru di tengah kita akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023.

Apakah ini bentuk restrukturisasi sepak bola Indonesia pascamusibah Stadion Kanjuruhan Malang 1 Oktober 2022? Ataukah kita tidak perlu membina atlet secara berencana dan cukup melakukan naturalisasi pemain?

Kita tidak pernah habis pikir, di tengah kondisi prestasi sepak bola nasional yang belum menggembirakan, masih ada langkah yang antagonis dan paradoks dilakukan terhadap aktivitas kompetisi sepak bola kita.

Yang lebih lucu, hanya olahraga sepak bola yang lebih banyak melahirkan karut marut.

Sudah tidak berprestasi, ribut pula. Bulu tangkis yang selalu mengibarkan Merah Putih di ajang internasional tidak pernah ribut-ribut.

Para stakeholder bulu tangkis melaksanakan aktivitas mereka dengan sunyi dan senyap tanpa hiruk pikuk tetapi berprestasi.

Saya menduga dan yakin publik akan sependapat, sepak bola yang memiliki massa yang begitu melimpah, secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, ini telah menjadi “bidak pion-pion politik” untuk memasang kuda-kuda.

Hampir semua pimpinan organisasi di republik ini selalu menjadi rebutan. Mulai dari kalangan profesional hingga politisi.

Akibatnya, kehadirannya menjadi lambang belaka, sementara para personel yang dipimpinnya pun kesulitan melakukan improvisasi dan berkreasi melaksanakan program-program organisasi.

Pada cabang sepak bola, Presiden baru menginstruksikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU PR) mengevaluasi stadion setelah terjadi kerusuhan Kanjuruhan Malang.

Sebelum-sebelumnya, tidak pernah terjadi. Yang sibuk membangun stadion hanyalah pemerintah provinsi dan kabupaten dengan berharap belas kasihan tambahan dana dari Menteri Pemuda dan Olahraga.

Stadion yang dibangun di provinsi pun, terjebak mangkrak karena tidak rampung pada masa pemerintahan provinsi yang berkuasa. Lihat saja Stadion Barombong, kini hanya jadi lambang ‘gengsi politik’ rezim pemerintahan yang baru karena tidak ingin melanjutkan sisa pembangunan gubernur sebelumnya.

Begitulah, ‘dendam politik’ itu merasuk ke berbagai sektor kehidupan berpemerintahan di daerah ini, khususnya infrastruktur (olahraga). Sayang! (*).

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved