Citizen Analisis
Hal-ihwal Perwakilan Politik
Menjelang pemilihan umum 2024, parpol mulai disibukkan dengan pertarungan internal untuk mengisi daftar calon legislatif.
Oleh:
Hasbullah
Penggiat Demokrasi dan Peneliti Jari Mata Kita
TRIBUN-TIMUR.COM - “Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup.”
Pernyataan itu dituturkan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dalam sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/12). Tanpa menunggu lama, pernyataan itu langsung memicu polemik di kalangan pegiat demokrasi terkait sistem daftar tertutup vs daftar terbuka.
Sebagai catatan akhir tahun sekaligus pemantik diskusi kritis di awal tahun 2023, saya kira, pernyataan Hasyim itu perlu disambut baik secara proporsional.
Inti dari perdebatan ihwal itu adalah tata hubungan antara rakyat dan para wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif.
Saya rasa sangat kita sadari, meski telah berulang kali kita menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung, perkembangan demokrasi di negeri kita ini masih menyisakan banyak persoalan.
Salah satu persoalan yang harus dibenahi adalah buruknya hubungan aspiratif antara rakyat dengan tindakan politik para wakilnya.
Kritik yang berkembang kemudian adalah soal kepercayaan. Para wakil, termasuk partai politik, dianggap korup dan hanya mengutamakan kepentingannya sendiri dan tidak peduli dengan nasib rakyat.
Dari kondisi inilah rakyat lantas memandang politik sebagai sesuatu yang kotor, transaksional, dan dipenuhi segelintir orang yang tidak peduli dengan nasib bangsa dan republik.
Rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap para wakilnya dan partai politik menyebabkan munculnya berbagai kegiatan ekstra parlementer.
Kenyataan ini tentu bertentangan dengan konsepsi perwakilan politik yang kita idealkan, di mana para wakil wajib berbicara dan bertindak sesuai dengan aspirasi politik rakyat.
Rekonsepsi atas posisi
Hakikat demokrasi perwakilan terletak pada pola hubungan antara rakyat dengan wakilnya. Pola hubungan rakyat dengan wakilnya tentu saja tidak selalu baik, tetapi bisa juga renggang.
Ketegangan muncul ketika para wakil dalam tindakannya memiliki konsepsi yang berbeda tentang dirinya sebagai wakil dengan konsepsi perwakilan yang dipikirkan oleh rakyat sebagai terwakil.
Gilbert Abcarian (1970) berpendapat bahwa ada empat jenis hubungan antara para wakil dan orang-orang yang diwakilinya.