Kolom Economic Perspective
Kolom Economic Perspective: Tantangan G20: Inflasi dan Suku Bunga Tinggi
Indonesia sebagai ketua G20 tahun 2022 diharapkan dapat mensinkronisasi kebijakan sisi permintaan dan penawaran. Kebijakannya mampu menahan inflasi
Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX
TRIBUN-TIMUR.COM - Perekonomian global masih diliputi ketidakpastian. Hal ini berkaitan dengan dua indikator ekonomi global, khususnya Amerika Serikat (AS), yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua indikator tersebut bergerak ke arah yang lebih baik tetapi masih tetap mengkhawatirkan. Potensi terjadinya resesi global masih besar.
Pertumbuham ekonomi AS kwartal ketiga 2022 positif 2,6 persen adalah good news bagi perekonomian global. Lantaran pertumbuhan ekonomi AS pada kwartal kedua terkontraksi 0,6 persen. Demikian juga inflasi AS mengalami penurunan dari 8,3 persen kwartal kedua 2022 menjadi 8,22 persen kwartal ketiga 2022.
Zona Euro masih mengalami pelambatan pertumbuhan dari 0,80 persen pada kwartal kedua menjadi 0,20 persen pada kwartal ketiga 2022. Perekonomian China mengalami rebound dari minus 2,7 persen secara kwartalan pada kwartal kedua menjadi 3,9 persen pada kwartal ketiga 2022.
Publikasi Bureau of Economic Analysis (BEA), inflasi negara utama dunia juga masih tinggi. Inflasi AS menurun dari 8,3 persen kawartal kedua menjadi 8,2 persen kwartal ketiga 2022. Sebaliknya, inflasi China mengalami kenaikan dari 2,5 persen kwartal kedua menjadi 2,8 persen kawartal ketiga 2022.
Inflasi tertinggi dialami oleh zona Euro dengan trend meningkat. Inflasi zona Euro pada kwartal kedua sebesar 9,9 persen meningkat menjadi 10,7 persen kwartal ketiga 2022. Trend inflasi zona Euro diperkirakan akan terus meningkat hingga kwartal pertama tahun 2023.
Inflasi dan Suku Bunga Tinggi
Setelah prekonomian global mengalami resesi pada Februari sampai April 2020, resesi tercepat dalam sejarah sejak tahun 1970-an. Resesi didefenisikan sebagai pertumbuhan negatif real Gross Domestic Product (GDP ril) dua kwartal secara berturut-turut. Perekonomian global tumbuh sangat tinggi sekitar 5,71 persen tahun 2021.
Namun, pada tahun 2021 dan awal 2022, perekonomian global kembali menghadapi masalah inflasi tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah kebijakan stimulus fikal dan moeneter untuk menggerakkan ekonomi pada periode Covid-19. Kebijakan stimulus fiskal dan moneter ekstra longgar dilakukan serempak di semua negara.
Trend inflasi tinggi melahirkan perdebatan para ekonom. Kelompok ekonom yang diomoroti oleh Jerome Powell dan Janet Yellen menganggap bahwa trend inflasi tinggi bersifat transitory (transitory inflation). Inflasi tinggi karena tekanan permintaan tidak diimbangi perbaikan sisi penawaran bersifat sesaat. Dikenal dengan kelompok transitory.
Kelompok ekonom kedua, Larry Summers dan Oliver Blanchard, menganggap bahwa inflasi bersifat persisten. Inflasi tidak hanya disebabkan oleh stimulus fiskal dan moneter pada sisi permintaan. Inflasi tinggi terjadi karena gangguan pada sisi penawaran. Trend inflasi tinggi hingga saat ini menunjukkan bahwa kelompok persisten lebih akurat.
Persistensi inflasi disebabkan oleh masalah sisi penawaran dan permintaan sekaligus. Gangguan sisi penawaran berkaitan terhambatnya rantai pasok akibat Covid-19 (lock down di China), tekanan pasar tenaga kerja, dan perang Ukraina yang membuat harga komoditas pangan serta energi mengalami peningkatan signifikan di semua negara.
Gangguan sisi permintaan berkaitan dengan pergeseran konsumsi masyarakat pada saat Covid-19 dari konsumsi jasa ke barang. Hal ini menambah tekanan di pasar barang. Diperberat oleh stimulus fiskal dan moneter yang sangat besar dan dilakukan serempak di semua negara. Akibatnya, permintaan sangat tinggi tidak diimbangi sisi penawaran,
Inflasi AS yang bersifat persisten membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali ke angka dua persen sesuai target The Fed. Hal ini memberikan signal bahwa suku bunga acuan The Fed akan terus mengalami peningkatan. Terbaru The Fed menaikkan suku bunga 75 basis points atau 0,75 persen.
Inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga menjadi tantangan bagi negara G20. Jika negara-negara G20, khususnya AS, secara agresif melakukan pengetatan moneter dan fiskal sekaligus, maka akan berpotensi membawa perekonomian global lebih cepat ke periode resesi. Resesi bisa sangat dalam karena tekanan pada sisi penawaran disertai oleh permintaan.
Akhirnya, Indonesia sebagai ketua G20 tahun 2022 diharapkan dapat mensinkronisasi kebijakan sisi permintaan dan penawaran. Kebijakannya mampu menahan laju inflasi yang tinggi dengan kebijakan suku bunga acuan (policy rate) yang tidak terlampau agresif dan membebani pemerintah dan pelaku usaha Eemerging Market Economies (EMEs).(*)