Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Resesi Global

Risiko Resesi Global dan Kebijakan Kontra Siklus, Tidak Boleh Salah Tapi Tak Perlu Tunda Pemilu 2024

memang kita sedang menghadapi “situasi serba salah” dalam ancaman resesi global, tetapi pengambil kebijakan dan kebijakannya “tidak boleh salah

Editor: AS Kambie
TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR
Muhammad Syarkawi Rauf menjelaskan situasi perekonomian saat bertandang ke Redaksi Tribun Timur didampingi sejumlah staf KPPU, beberapa tahun lalu. Ketika itu, Muhammad Syarkawi Rauf menjabat Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas/Komisaris Utama PTPN IX Jawa Tengah

TRIBUN-TIMUR.COM - Situasi global sekarang sangat mengkhatirkan karena skalanya kerusakannya yang terlalu besar. Dunia dalam ancaman resesi global.

Ekonom senior dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Kenneth Rogoff (2022) menyatakan dalam World Bank Group bahwa “kemungkinan terjadinya resesi di Eropa, USA dan China sangat besar, dimana jika satu kawasan mengalami resesi maka kemungkinan besar kawasan lainnya akan terdampak, risiko resesi global di tiga negara utama meningkat dari hari ke hari.”

Bermula dari pandemi Covid-19 yang menghantam semua negara tanpa kecuali. Akhirnya, semua negara melakukan langkah kebijakan stimulus fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak pandemi terhadap perekonomian. 

Pada tahun 2020, belanja pemerintah di seluruh dunia untuk keluar dari resesi akibat pandemi 2020 mencapai 4 triliun dollar as. Setara 20 persen GDP global. Kebijakan moneter juga sangat ekapansif dimana suku bunga acuan sangat rendah, terendah dalam 5 dekade terakhir, sejak tahun 1970an. 

Kebijakan super ekspansif sukses mengurangi dampak negatif resesi akibat pandemi covid 19, sehingga resesi global 2020 dimulai Februari 2020 dan berakhir April 2020. Resesi paling singkat dalam sejarah sejak 1929 great depression. 

Kebijakan super longgar memang sukses membawa perekonomian global keluar dari ancaman resesi global tetapi juga menyebabkan inflasi tinggi. 

Pemulihan yang terlalu cepat khususnya dari sisi demand tidak diimbangi sisi supply membuat inflasi tinggi. Dan bahkan bisa mengarah ke stagflasi dan bahkan resesi baru tahun depan. 

Kejadian serupa terjadi tahun 1970an, kebijakan ekspansif pada sisi fiskal dan moneter sukses menekan inflasi tetapi juga menyebabkan resesi. 

Dampaknya ke Indonesia seperti apa? 

Resesi mempengaruhi Indonesia melalui beberapa jalur, pasar portofolio, perdagangan, nilai tukar, dan pasar uang.

Meski demikian, pengaruhnya ke Indonesia hanya melalui pasar uang atau sektor keuangan. Hal ini disebabkan oleh demikian kuatnya keterkaitan pasar uang Indonesia dengan USA. 

Sementara, dari sisi jalur perdagangan, Indonesia sangat terpengaruh dengan resesi di China yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. 

Pengaruh zona Euro relatif kecil ke Indonesia. 

Sehingga Indonesia memang tidak perlu khawatir karena pertumbuhan kita masih akan positif tahun depan meskipun melambat.

Tidak perlu menunda pemilu karena alasan resesi.

Resesi dan Booming

Risiko resesi global tahun 2023 menjadi perdebatan di antara para ekonom dan pengambil kebijakan. Namun pada umumnya menyimpulkan bahwa resesi global dipastikan terjadi tahun depan dengan magnitudo yang lebih besar dibandingkan resesi tahun 1970-an.

Resesi dan booming adalah fenomena alami dalam siklus bisnis (real business cycle). 

Pada saat resesi, perekonomian menurun (negative growth) dan pada saat booming, perekonomian mengalami kenaikan (positive growth). Pada saat perekonomian mengalami fase penurunan dibutuhkan kebijakan anti siklus atau kontra siklus (counter cyclical economic policy).

Terdapat perbedaan defenisi resesi diantara para ekonom. Ekonom, Julius Shiskin (1974) mendefisnikan resesi sebagai pertumbuhan negatif suatu perekonomian dalam dua kwartal secara berturut-turut. Defenisi ini snagat popular dan menjadi seperti rule of thumb dalam teori siklus bisnis.

Sementara National Bureau of Economic Research (NBER) mendefenisiklan resesi sebagai “penurunan aktufitas ekonomi yang menjalar ke seluruh perekonomian, berakhir dalam beberapa bulan, dapat diamati dalam penurunan Gross Domestic Product (GDP) riil, pendapatan riil, pengangguran, produksi industri, dan penjualan ritail.”

Selanjutnya, Kose dan Terrones (2015) mendefenisikan secara lebih longgar bahwa resei adalah kontraksi riil GDP dalam satu tahun.

Sejak tahun 1970-an, telah terjadi lima kali resesi, yaitu resesi 1975, 1982, 1991, 2009 dan 2020. Resesi tersebut selalu diawali oleh resesi yang terjadi di tiga negara utama, yaitu USA dengan 25 persen GDP global, China  18 persen GDP global, dan Zona Euro dengan kurang lebih 12 persen GDP global. Ketiganya berkontribusi 55 persen GDP global.

Kebijakan Kontra Siklus

Risiko resesi global 2023 mirip dengan tahun 1970-an. Resesi 1970-an dimulai dari embargo minyak Arab pada Oktober 1973. Hal ini berdampak pada shock to energy price, harga minyak dunia meningkat sangat drastis. Kenaikan tersebut berdampak pada ßinflasi tinggi. Dimana harga BBM merupakan komponen utama pembentuk Consumer Price Index (CPI) inflation.

Negara-negara maju dan Emerging Market and Developing Economies (EMDEs) secara terkoordinasi melakukan counter cyclical economic policy. Kebijakan kontra sikulus, pengetatan moneter dan fiskal untuk membawa inflasi tinggi ke level sebelum resesi. Namun, kebijakan tersebut tidak hanya sukses menekan inflasi tetapi juga menyebabkan resesi.

Kecenderungan yang sama juga berpotensi terjadi tahun 2023, dimana resesi global 2020 akibat pandemi Covid-19 direspon oleh otoritas moneter dan fiskal dengan kebijakan yang sangat ekspansif. Suku bunga acuan (policy rate) berada pada level terendah dalam lima dekade terakhir. Stimulus fiskal secara global mencapai sekitar 4 trilyun Dollar AS. Setara 20 persen GDP global.

Hasilnya memang nyata, resei global 2020 hanya terjadi dalam hitungan bulan, dimulai Februari 2020 dan berakhir April 2020. Resesi global 2020 merupakan resesi tercepat yang terjadi dalam sejarah sejak great depression tahun 1929.

Cerita sukses (good news) tahun 2020 rupanya juga disertai oleh kabar buruk (bad news). Stimulus fiskal dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kebijakan moneter ekspansif telah membawa perekonomian global ke dalam inflasi tinggi, sekitar 8,2 persen rata-rata global hiungga paruh pertama 2022.

Hal ini diperparah oleh hambatan pada sisi rantai pasok, refocussing anggaran rumah tanggah dari belanja jasa ke belanja barang, shortage di pasar tenaga kerja, khususnya negara maju yang mendorong upah naik, shock terhadap harga energi dan makanan.

Akibatnya, inflasi tinggi yang mengarah ke stagflasi, yaitu inflasi tinggi disertai oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran.

Kebijakan kontra siklus untuk mengantisipasi kemungkinan resesi 2023 adalah pengetatan moneter dan fiskal tetapi dengan dosis dan waktu yang tepat.

Dalam jangka pendek, pilihan kebijakan terbatas pada pengetatan moneter, menaikkan suku acuan dengan besaran yang tidak terlampau membebani sektor riil (sisi supply).

Demikian juga kebijakan fiskal ketat (menajaga defisit pada angka 3 persen GDP) dengan tetap fokus pada kelompok masyarakat rentan terkena dampak negatif resesi global.

Sementara di sektor keuangan, menjaga agar nilai tukar tidak terdepresiasi tajam yang bisa mendorong spekulasi dan membuat Rupiah per US Dollar semakin melemah.

Dalam regim nilai tukar managed floating, bank sentral akan menjaga agar Rupiah per Dollar AS tidak terdepresiasi sangat tajam dengan melakukan intervensi di pasa valas tanpa mengorbankan cadangan devisa terlalu besar.

Singkatnya, memang kita sedang menghadapi “situasi serba salah”, tetapi pengambil kebijakan dan kebijakannya “tidak boleh salah.”(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved