Opini
Hak Demokrasi dalam Kolom Pemilu dan Tantangannya
Belajar dari riwayat pemilu masa lalu, nampaklah proses demokrasi sedang berbenah, mengubah wajahnya dari masa ke masa.
Oleh:
Juanto Avol
Komisioner Bawaslu Gowa
TRIBUN-TIMUR.COM - Pena sejarah mencatat, pemilihan umum di tanah air kali pertama dilakukan 1955 sebagai wajah demokrasi terpimpin.
Enam belas tahun kemudian sistem parlementer proporsional itu ditanggalkan.
Setelahnya, dari hasil pemilu berikutnya lahirlah ‘kekuasaan’ Orde Baru.
Sistem kepemiluan era orde baru memang nampak demokratis tapi berasa monokrasi.
Rezim itu kemudian ‘berselimut’ teori demokrasi Abraham Lincoln yang terus digaungkan atas nama rakyat, dari rakyat untuk rakyat.
Faktanya kemudian terasa berbeda, tunas otoritearisme justeru mulai tumbuh sebagai cikal bakal kekuasaan terlama dalam sejarah kepemimpinan Indonesia.
Membahas tentang kedua rezim diatas perlu kehati-hatian agar tak terjadi distorsi sejarah.
Hal itu cukuplah sebagai produk ‘usang’ di masanya, hingga gejolak reformasi 1998-1999 digaungkan.
Sebagai pemantik braindstorming, lima puluh satu tahun silam (1971), ada sekelompok anak muda kaum terpelajar dan rakyat, tersadar tentang pentingnya perubahan dalam sistem kepemiluan.
Mereka mendamba sebuah pemilihan kepemimpinan yang terbuka, adil, jujur, dan rahasia. Semangatnya, agar sejalan dengan slogan tadi, dari rakyat untuk rakyat.
Pemikiran kritis itu 1971 akhirnya melahirkan sebuah gerakan moral, murni yang diinisiatori oleh mereka, kemudian menjelma dan menyebar istilah Golput (golongan putih) yang mempengaruhi wajah demokrasi selanjutnya.
Pada momentum lain dalam dialog publik, di salah satu stasiun TV lokal 2018, timbul pertanyaan, apa itu Golput.
Benarkah ia wujud suci politik tanpa pilihan atau sebagai sebuah gerakan perlawanan karena tak ada pilihan lain? Ini yang menarik.
Menanggapi tanya diatas, konon dalam konteks Pemilu Orba, jika rakyat tak tertarik dengan calon atau tokoh tertentu, maka mereka yang berpikir kritis, lebih tergugah memilih Golput.