Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Qudratullah

Media Sosial: Menciptakan dan Menggenggam Panggung Sandiwara

Di media sosial, semua penggunanya bisa berubah wujud layaknya bunglon. Hari ini penuh dengan postingan bijak, lalu esoknya menebar caci makian.

DOK PRIBADI
Qudratullah Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Bone. 

Oleh: Qudratullah

Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Bone.

TRIBUN-TIMUR.COM - Di media sosial, semua penggunanya bisa berubah wujud layaknya bunglon. Hari ini penuh dengan postingan bijak, lalu esoknya menebar caci makian.

Begitulah gambaran pengguna media sosial dewasa ini. Penampakan diri kerap berubah mengikuti sikap otoriter pemiliknya tanpa memahami dampak ke depannya.

Tak jarang orang-orang pun memiliki penilaian berbeda mengenai postingan orang lain. Bahkan bisa berujung pada konflik dan peperangan informasi yang semakin serius.

Media sosial berperan penting sebagai sarana untuk mengekspresikan diri atau mengaktualisasikan diri bagi para penggunanya.

Salah satu media social yang populer dan banyak digunakan untuk mengekspresikan diri saat ini adalah Instagram.

Platform media social ini memungkinkan para penggunanya untuk membagikan post dalam bentuk foto dan video. Berdasarkan data yang dilansir dari situs CNN Indonesia, khusus Instagram memiliki 22 juta pengguna aktif bulanan di Indonesia (Fajrina, 2016).

Terkadang kita tertipu dengan segala postingan orang-orang yang ada di media sosial.

Hal yang tidak kita sadari adalah kesamaan postingan dengan kenyataannya seperti apa? Apalagi dengan kemudahaan yang berikan teknologi informasi dan komunikasi saat ini. Seseorang bisa saja tiba-tiba bijak dengan uraian kata-kata yang harmonis dan menyentuh saat dibaca.

Tapi nyatanya kata-kata bijak yang manis itu hanya sebuah hasil kerja jari yang diambil dari mesin pencari google alias ‘co-pas’.

Keterampilan baru bagi manusia yang dimiliki seiring perkembangan teknologi.
Konsep identitas menjadi bagian penting dari internet karena internet telah memunculkan sisi lain dari identitas yang selama ini hadir di dunia nyata.

Meski identitas di dunia nyata (offline) memiliki kesamaan dengan identitas maya (online). Namun kehadiran internet telah membawa perubahan besar dalam mendefinisikan dan membangun identitas.

Seperti pendapat Palfrey dan Gasser berikut, “The Internet age, in which Digital Natives are growing up, is prompting, another large shift in what it means to build and manage one’s identity” (Palfrey & Gasser, 2010). Era internet telah mendorong perubahan mengenai makna membangun dan mengelola identitas manusia ketika berada di dunia siber (cyber world).

Banyak orang bersikap tidak seperti dilakukan pada dunia nyata. Di media sosial sangat humble, di dunia nyata sulit bersosialisasi dengan orang-orang.

Tidak jarang terkadang di-cap sombong dan angkuh. alam teori dramaturgi, ada dua realitas yang terbangun, panggung depan dan panggung belakang.

Ibarat sebuah drama, panggung depan menampilkan karakter sesuai dengan peran yang diberikan. Di media sosial berperilaku kaya raya, di dunia nyata kondisinya memprihatinkan.

Inilah yang dikatan dramaturgi, dua realitas yang terbangun, panggung depan dan panggung belakang. Ibarat sebuah drama, panggung depan menampilkan karakter sesuai dengan peran yang diberikan.

Dramaturgi menggambarkan bagaimana seseorang berperilaku berbeda di media sosial dan di kehidupan yang nyata. Dengan kata lain, perbedaan antara kepalsuan topeng kehidupan media sosial dan kenyataan yang bersumbunyi di baliknya.

Ada sesuatu yang kurang tepat dan tidak relevan dengan realitas sesungguhnya. Lalu apa yang membuat sebagian orang melakukan hal tersebut? Jawabannya adalah karena kepentingan dan ekspektasi yang tinggi yang memaksanya tidak menjadi diri sendiri.

Hal ini juga menyangkut penerimaan orang-orang di lingkungan pergaulan yang memaksanya untuk memiliki standar sendiri dalam menampilkan wujud di media sosial.

Dramaturgi merupakan teori yang diungkapkan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 lewat bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Menurut teori ini, individu dalam kehidupannya memiliki apa yang disebut dengan panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).

Ketika manusia berinteraksi, ia akan memilih peran mana yang akan dijalankan.

Panggung depan adalah apa yang ditampilkan saat ia berinteraksi dengan individu lainnya atau dalam kelompok di masyarakat atau identitas sosial.

Sementara panggung belakang, merupakan tempat di mana individu menyembunyikan identitas personalnya (Nasrullah, 2016).

Dramaturgi yang menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subjektif dan objektif dari interaksi sosial, kehidupan di media sosial seseorang (front stage), dan kehidupan nyatanya atau pribadinya (backstage).

Seseorang berusaha memberikan performance terbaik pada publik dengan appearance dan manner yang sesuai setting. Seseorang dengan kepentingannya akan melakukan apa saja termasuk dramaturgi dalam mencapai tujuannya.

Tidak jarang ini dilakukan oleh para politisi dalam melancarkan aksinya untuk memikat perhatian masyarakat banyak.

Inilah mengapa kemunculan media sosial menjadi solusi ‘murah’ bagi politisi dalam berkampanye dan mendapatkan hati masyarakat.

Lihat saja para politisi dan pemangku kuasa saat ini, berbondong-bondong memberikan performa terbaik yang ‘katanya’ untuk rakyat yang di posting melalui media sosialnya. Tapi pada waktu yang tidak bersamaan, mereka terjerat kasus korupsi dan sebagainya.


Belum cukup sampai di situ saja, para politisi yang sebelumnya menebar janji memperjuangkan aspirasi rakyat dengan rajinnya melakukan blusukan.

Mondar-mandir mempertanyakan kondisi masyarakat, keluhan serta kebutuhan untuk diperjuangkan. Semua diposting di media sosial, di lengkapi foto-foto yang memberi kesan ‘kedekatan dan kepedulian’ kepada masyarakat.

Tapi itu hanyalah sebuah front stage yang telah diatur sedemikian rupa. Tentu tidak terlepas dari yang namanya kepentingan.

Sedangkan backstage mengungkapkan ketidakpedulian saat masyarakat perlu diperjuangkan. Back stage yang sudah sering terjadi adalah tidur saat rapat paripurna.

Sejalan dengan hal tersebut, Goffman membagi panggung depan menjadi dua bagian: personal front dan setting (Mulyana, 2007: 114).

Setting adalah situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan. Tanpa setting biasanya aktor tidak bisa melakukan pertunjukan.

Personal Front terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting.

Personal front dalam kehidupan sosial mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor.

Besarnya harapan untuk mendapatkan penilaian tertentu, sebagian orang merasa ingin menampilkan dirinya dalam versi lain. Sadar akan kemungkinan adanya kontroversi dan berbagai tanggapan dari para pengikutnya, maka terkadang sebagian orang membuat panggung drama sandiwara di media sosial.

Apa ini salah? Secara manfaat pribadi, bisa dikata tidak karena memanfaatkan media sosial dengan baik untuk kepentinganya. Tapi jika dilihat dari sudut pandang lain, ini seperti ‘menipu’ dengan gaya mahal dan menawan.

Apalagi media adalah kepemilikan pribadi yang tidak wajib diatur dalam sebuah lembaga yang di dalamnya terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung seperti media televisi, cetak dan online. Media tersebut memiliki gatekeeper dalam menyaring informasi yang akan disebarluaskan.

Namun, tidak berlaku di media sosial. Oleh karenanya, siapapun dapat bersandiwara untuk kepentingan yang diiginkannya. Tapi mutlak tidak dibenarkan jika melihatnya dari sudut pandang etika.

Mengutip Sapardi Djako Damono, “Hidup ini panggung sandiwara. Ya memang benar adanya, semua yang disampaikan kepada orang lain adalah dongeng, dan dongeng jenis apa pun harus terjadi di panggung; terjadi di tempat dan waktu tertentu agar tokoh-tokoh yang bermain di panggungnya bisa melakukan ini-itu sesuai dengan wataknya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Manuver KPU RI

 

Taubat Politik

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved