Opini Saparuddin Santa
Opini Saparuddin Santa: Sepak Bola dan Insting Politik Golkar
Sudah menjadi cerita umum, bahwa di setiap kontestasi politik, para pendukung fanatik sepakbola, khususnya PSM, akan menjadi rebutan para politisi.
Oleh: Saparuddin Santa
Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting
TRIBUN-TIMUR.COM - Kemenangan besar PSM Makassar atas Persib Bandung di Stadion BJ Habibie Pare-Pare pada pekan ke Tujuh Liga I Indonesia dengan skor telak 5-1 pada 29 Agustus 2022 dan hingga pekan kedelapan masih menjadi Tim Liga I yang belum pernah kalah, telah memantik obrolan panjang lebar di beberapa warung kopi (warkop) Makassar.
Sebagian besar para penikmat kopi di warkop-warkop Makassar membincangkan kesuksesan PSM dari kacamata olahraga di sertai dengan antusias dan kebanggaan sebagai pendukung fanatik Tim Juku Eja.
Umumnya peserta obrolan warkop tersebut meyakini bahwa sudah waktunya PSM membawa pulang Piala Liga Indonesia musim kompetisi 2022-2023.
Diantara obrolan itu, terselip banyak obrolan terkait situasi politik Sulsel menjelang 2024.
Sudah menjadi cerita umum, bahwa di setiap kontestasi politik, para pendukung fanatik sepakbola, khususnya PSM, akan menjadi rebutan para politisi yang hendak maju di pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Dengan supporter yang merata di 24 kabupaten kota di Sulsel, dapat di pastikan bahwa jika PSM berhasil menjadi juara kompetisi Liga 1 musim ini, di akui atau tidak, efek elektoral akan berpengaruh dan meningkat kepada “siapa” yang membawa PSM Juara.
Para pendukung PSM yang sudah lama haus akan juara akan menaruh simpati dan dukungan ke, tidak hanya pemain dan official PSM, tetapi juga ke tokoh di balik kesuksesan PSM yang notabene adalah pengurus partai, sebutlah misalnya Munafri Arifuddin yang menjabat sebagai CEO PSM sekaligus Ketua DPD Golkar Makassar dan Taufan Pawe, ketua DPD Golkar Sulsel sekaligus Walikota Pare-Pare yang berhasil menjadikan stadion BJ Habibie Pare-Pare menjadi kandang PSM.
Atau, siapapun tokoh di balik kesuksesan itu, pembaca akan bisa menerka kedekatan para tokoh-tokoh tersebut ke Partai Golkar.
Secara elektoral, tidak bisa di pungkiri, Golkar adalah partai yang paling di untungkan jika PSM Juara musim ini, atau paling tidak, jika permainan PSM konsisten hingga akhir musim.
Sebagai partai yang sudah sangat matang, dan memiliki banyak sumber daya untuk maju dan memenangkan kontestasi Pilkada Sulsel 2024, maka wajar jika di dalam tubuh golkar terjadi tarik menarik kepentingan terhadap PSM.
Sebutlah misalnya, keinginan salah satu tokoh Golkar yang juga Bupati Bone, Andi Fahsar M Padjalangi, yang telah menawarkan PSM berkandang di stadion La Patau Bone.
Fahsar beralasan bahwa Stadion di Bone lebih representatif di bandingkan dengan stadion BJ Habibie Pare-Pare, dan sudah pernah mengadakan laga tingkat nasional pada musim 2009-2010, yang secara efektifitas, menurutnya, perjalanan ke Bone lebih singkat daripada ke Pare-Pare karena di Bone sudah ada bandara.
Meskipun, secara matematis, belum pernah di hitung perbandingan jarak waktu dari Mess PSM Makassar yang terletak di
Jalan Nuri Makassar ke stadion La Patau Bone dan stadion BJ Habibie ( untuk mobiltas PSM) dan jarak waktu dari bandara ke dua stadion tersebut (untuk Tim lawan yang akan bermain melawan PSM) mana yang lebih efisien?
Usulan itu bukan tanpa alasan, dua tokoh politik Golkar tersebut, Fahsar Padjalangi dan Taufan Pawe, adalah dua tokoh yang potensial maju pada Pilkada 2024.
Keduanya adalah dua Pimpinan daerah yang masih menjabat dan memiliki pendukung yang cukup di perhitungkan.
Fahsar adalah salah satu tokoh senior di Golkar Sulsel sekaligus Bupati dengan jumlah pemilih terbesar kedua di Sulawesi Selatan setelah Makassar.
Sedangkan Taufan Pawe adalah TokohGolkar yang namanya melejit ketika berhasil menjadi ketua DPD Golkar Sulsel.
Dan dengan naiknya kepercayaan publik (baca: supporter) terhadap Taufan Pawe adalah hal yang cukup membuat pesaingnya merasa bahwa Taufan Pawe akan menjadi “ancaman” menjelang 2024.
Tangan dingin Taufan Pawe ( bersama tokoh di balik kesuksesan PSM berkandang di Parepare) telah berhasil membuat para pendukung setia PSM menemukan kembali kebanggannya menjadi supporter.
Dua Musim tanpa Stadion, adalah musim yang berat bagi para pendukung Tim Juku Eja, dan Taufan Pawe berhasil menjawab itu.
Selain dua tokoh Golkar tersebut di atas, ada dua tokoh yang sangat sentral peranannya dalam membesarkan PSM dan memiliki peluang berkompetisi di 2024.
Adalah Munafri Arifuddin, tokoh muda Golkar yang baru bergabung dalam kepengurusan Golkar dan berhasil menjadi Ketua DPD Golkar Makassar melalui Musda Golkar Makassar 2021 lalu.
Tokoh muda yang sudah empat musim kompetisi menakhodai PSM ini memiliki potensi untuk masuk ke pertarungan politik daerah di level Gubernur atau Wakil Gubernur.
Dengan jaringan bisnis yang luas dan hubungan kekerabatan dengan tokoh nasional seperti Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud, bukan tidak mungkin Pilkada 2024 akan menjadi ajang pembuktian buat CEO PSM ini, paling tidak sebagai calon wakil Gubernur.
Di tambah pengalaman menjadi calon walikota Makassar 2018, meskipun kalah, tapi itu adalah modal politik yang penting untuknya.
Apalagi jika dua musim sebelum Pilkada 2024, yaitu Kompetisi Liga I Indonesia, 2022-2023 dan kompetisi 2023-2024, PSM berhasil menjadi juara, pasti elektabilitasnya akan naik signifikan.
Tokoh berikutnya yang tidak bisa di nafikkan perannya di Golkar Sulsel dan punya keterikatan historis sekaligus punya jasa besar bagi PSM adalah Nurdin Halid.
Tokoh nasional yang juga Wakil Ketua Umum DPP Golkar yang sudah 2 kali bertarung di Pemilihan Gubernur Sulsel ini, adalah mantan ketua PSSI dan juga mantan manager PSM.
Nurdin Halid lah orang Sulsel pertama dan satu-satunya, yang pernah membawa gelar juara bagi PSM Makassar yaitu musim kompetisi Liga Indonesia 1999-2000.
Sebuah pencapaian besar yang belum pernah lagi di rasakan oleh pengurus PSM dan masyarakat Sulawesi Selatan sampai sekarang.
Jika Nurdin Halid masih mau maju menjadi kandidat Gubernur Sulsel 2024, bukan tidak mungkin, dengan pengalamnnya yang sangat matang di level politik nasional dan memahami betul demografi politik di Sulsel, bisa dan akan kembali merebut hati para pendukung fanatik bola, khususnya pendukung PSM.
Tulisan ini tidak bermaksud menyeret para pendukung setia PSM ke ranah politik.
Penulis percaya bahwa olahraga, khususnya sepakbola, punya istananya sendiri.
Sepakbola adalah hal utama, sebuah ekspresi hobby dan bahagia yang tidak punya padanan bagi para pencintanya, sementara politik adalah hal lain yang tidak memiliki hubungan batin dengan olahraga itu sendiri.
Di Sulsel, dalam tradisinya yang heroik, PSM adalah candu bagi penikmat bola, PSM adalah jiwa dari sebuah kebanggaan menjadi orang Sulsel.
Hendaknya, siapapun yang mau melihat PSM di banggakan oleh seluruh warga Sulsel, harus fokus pada tujuan akhir dari kompetisi itu sendiri, yaitu menjadi juara.
Kalaupun ada efek elektoral ke Calon atau tokoh tertentu, itu adalah bonus dari keikhlasan memperjuangkan PSM menjadi juara. EWAKO PSM.(*)