Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Harga BBM Melejit, Rakyat Menjerit

Tahun 2025 kebutuhan energi nasional mancapai 30 MTOE (Megaton Oil Equivalent) atau setara dengan 30 miliar ton minyak.

Editor: Sudirman
DOK PRIBADI
Doktor Lingkungan, Praktisi Industri dan Dosen Teknik Lingkungan Universitas Bosowa, Djusdil Akrim. Penulis opini Mengurai Kemacetan Lalu Lintas di Mamminasata 

Esoknya, Senin hingga tulisan ini diturunkan aktivitas merespon kebijakan yang tidak populer dan penuh kontroversial tersebut terus berlanjut. Indikasi ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal membangun kepekaan dengan anak bangsanya!

Menarik pernyataan Ahmad Khozinudin (Sastrawan Politik) yang menanyakan kenapa harga BBM harus distandarkan dengan ICP?

Kemudian memberi anekdot logika subsidi tukang panci. Maksudnya si tukang panci, bisa mendapat barang dibawah harga pasar, kemudian margin opportunity yang di klaim sebagai subsidi.

Tentu, butuh pembuktian! Tapi menurutnya,  memang BBM yang dikonsumsi di Indonesia bukan semua hasil nambang di bumi Indonesia.

Sekitar 26 persen import, 74 % nya dari minyak mentah Indonesia. Nah 74 % itulah yag perlu tranfaransi oleh pihak Pemerintah. Benarkah angka itu? Lantas berapa HPP BBM Import dan berapa HPP BBM produk dalam negeri?

Bila semua angka-angka itu bisa tersosialisasikan dengan baik. Lalu masyarakat diajak untuk lebih realistis, saya yakin persoalannya tidak serumit ini.

Jangan justeru pernyataan Ibu Menteri Keuangan. Sebelum pengumuman harga BBM melejit, pekan lalu disalah satu media elektronik.

Mengatakan bahwa jumlah subsidi BBM ini senilai dengan membangun beberapa Rumah Sakit untuk melayani masyarakat.

Sebuah statemen yang kurang tepat membandingkan antara total susbsidi kebutuhan bahan bakar dengan budget fasiliatas peningkatan pelayanan kesehatan bagi warga dalam situasi psikis publik seperti saat ini. Sebab keputusan itu akan memicu inflasi yang membuat rakyat menjerit!

Senjata Peredam BLT

Beberapa warga juga pesimis dengan Aksi Demonstrasi yang merespons kenaikan harga BBM tersebut.

Mereka meyakini aksi dari elemen masyarakat tidak mempengaruhi kebijakan pemerintah dan sudah kehilangan bergaining position setelah adanya penyaluran Dana BLT pihak pemerintah.

Padahal semua itu sekedar solusi jangka pendek dan inflasi yang terjadi akan menelan kembali subsidi yang diberikan oleh pemerintah.

Rasanya narasi ‘harga keekonomian’ versi pemerintah selama ini. Ibarat buah si Mala Kama. Bila dimakan mati ibu. Kalau tidak dimakan mati ayah. Pilihannya dibuang saja!

Hal itu yang mesti dihindari dan jangan sampai terjadi. Harus menjadi kajian dan analisis strategi bagi para legislator dan eksekutif yang berkuasa.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved