BRI Paparkan 3 Aspek Penting Pendorong Pertumbuhan Berkelanjutan
BRI optimistis bahwa pertumbuhan berkelanjutan bisa dicapai dengan menerapkan tiga aspek pendorong.
Penulis: Fransisca Andeska Gladiaventa | Editor: AMALIA PURNAMA SARI
TRIBUN-TIMUR.COM - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI (kode saham: BBRI) mengaku optimistis dengan potensi pertumbuhan Perseroan. Optimisme ini muncul karena BRI memiliki tiga aspek penting untuk mendorong potensi pertumbuhan, yakni sumber pertumbuhan baru yang jelas, kapital yang cukup, dan likuiditas yang memadai.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, BRI memastikan bahwa sumber pertumbuhan baru akan terus bertambah melalui Holding Ultra Mikro (Umi). BRI Group telah menjadi induk atau holding Umi per Juni 2022.
“Sumber pertumbuhan baru dibangun melalui dibentuknya sebuah sinergi ekosistem ultra mikro dengan memasukkan PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dalam BRI Group. Jadi, syarat pertama memiliki kejelasan sumber pertumbuhan baru,” ungkap Sunarso dalam keterangan persnya, Selasa (6/9/2022).
Hal itu disampaikan oleh Sunarso dalam acara diskusi EmiTALK BBRI 2022, di Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Sebagai informasi, mengacu data BRI Group, terdapat sekitar 45 juta potensi nasabah ultra mikro yang dapat diberdayakan. Adapun 1,5 juta di antaranya sudah dapat mengakses lembaga pembiayaan formal.
Syarat pertumbuhan yang kedua, lanjut Sunarso, BRI memiliki kapital yang cukup. Pada semester I-2022, capital adequacy ratio (CAR) bank terbesar di Tanah Air ini berada di tingkat 25 persen, atau mengalami kenaikan sebesar 20 persen secara tahunan.
Seperti diketahui, CAR adalah rasio kecukupan modal untuk menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh perbankan.
Lebih lanjut, Sunarso mengatakan, persentase CAR saat ini membuat posisi keuangan BRI menjadi aman. Dengan demikian, BRI punya keleluasaan dalam menurunkan CAR dari level 25 persen ke level yang lebih optimal di kisaran 16 persen hingga 18 persen.
“Maka dua hingga tiga tahun ke depan BRI tidak perlu menambah modal. Justru BRI perlu untuk mengoptimalkan modal dengan cara bertumbuh,” ujar Sunarso.
Sunarso melanjutkan, syarat ketiga adalah ketersediaan likuiditas yang mumpuni. Dengan kecukupan likuiditas tersebut, BRI mampu menekan cost of fund (CoF) di kisaran 1,7 persen.
Sejak 2019, CoF BRI merupakan yang terendah. Pada 2019, angkanya sekitar 3,6 persen, sedangkan pada 2020 ditekan menjadi 3,2 persen dan pada 2021 sekitar 2,1 persen.
Kata dia, hal tersebut menunjukkan bahwa transformasi BRI semakin kuat, terutama dari struktur liabilitasnya, sehingga mampu mempertebal ketersediaan likuiditas.
Dividen dan proyeksi pertumbuhan

Pada kesempatan yang sama, Direktur Keuangan BRI Viviana Dyah Ayu memproyeksikan bahwa pertumbuhan Perseroan dalam dua sampai tiga tahun ke depan berada pada kisaran 11 hingga 12 persen.
Dengan demikian, sebut Viviana, dalam tiga sampai lima tahun ke depan, BRI masih akan memiliki kesempatan untuk memberikan dividen payout ratio yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal prapandemi.
“Tahun ini sebenarnya kami sudah memulai dividen payout ratio yang cukup tinggi, yaitu kurang lebih 85 persen dari net profit pada 2021. Artinya, setiap lembar saham itu menerima kurang lebih Rp 174,” jelas Viviana.
Ia menyatakan, dengan kondisi permodalan saat ini, pertumbuhan sekitar 11 hingga 12 persen, dan komitmen memberikan return lebih optimal dalam tiga hingga lima tahun ke depan, BRI masih memiliki potensi untuk memberikan dividen di atas 70 persen.
Kinerja solid
Direktur PT Indovesta Utama Mandiri Rivan Kurniawan yang juga seorang Indonesia Value Investor mengatakan, tak salah apabila BRI memiliki optimisme untuk terus tumbuh. Pasalnya, dalam dua tahun terakhir, terutama selama masa pascapandemu, kinerja BRI sangat solid.
“Saya melihat bahwa tren dari kinerja BBRI ini juga terus membaik pascapandemi,” jelas Rivan.
Menurut Rivan, keberhasilan BRI terlihat dari sisi loan dan financing. Per kuartal II-2022, menurutnya loan dan financing BRI tumbuh sekitar 8,7 persen secara tahunan menjadi Rp 1.104,8 triliun dari Rp 1.015,9 triliun.
Kemudian, sisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sekitar 3,7 persen secara tahunan menjadi Rp 1.137 triliun.
Sedangkan dari sisi profitabilitas, BRI pun sangat kuat. Hal ini terlihat dari net interest margin (NIM) kuartal II-2022 yang meningkat menjadi 8,24 persen secara tahunan dari sebelumnya 7,14 persen.
“Peningkatan NIM juga didorong dari fokus pertumbuhan segmen mikro dan ultramikro, serta efisiensi biaya bunga. Laba bersih juga tumbuh strong mencapai Rp 24,9 triliun per semester I-2022, tumbuh sekitar 98,4 persen secara tahunan,” jelasnya.
Adapun return on asset (RoA) bertumbuh tiga persen dan return on equity (RoE) yang tumbuh 17,48 persen.
Lalu, ada fee based income yang naik sekitar 7,8 persen secara tahunan dari Rp 8,16 triliun menjadi Rp 8,79 triliun per kuartal II-2022.
Menurutnya, hal itu tak terlepas dari segmen e-channel dan deposit administration fee yang menjadi kontributor terbesar, yakni sekitar 41 persen untuk e-channel dan deposit administration fee sekitar 26 persen.
Selain itu, pertumbuhan dari non e-channel dan insurance related juga cukup signifikan, yakni bertumbuh sekitar 53 persen dan insurance related fee sekitar 46,9 persen.
Oleh karena itu, BRI pun dinilai mampu menjaga kualitas kredit yang jauh membaik pascapandemi. Pada September 2020, loan at risk (LAR) sempat mencapai 29,8 persen saat pandemi. Seiring berjalannya waktu, LAR BRI terus mengalami penurunan, yaitu 20,8 persen per kuartal II-2022.
“Dari sisi pencadangan loan at risk coverage juga secara konsisten menunjukan peningkatan dari 21,8 persen pada September 2020 menjadi 42,4 persen pada Juni 2022,” ujarnya.
Terakhir, dari sisi non performing loan (NPL) coverage yang saat ini berada pada angka sekitar 2,66 persen menunjukan bahwa manajemen BRI dinilai cukup prudence dan juga konservatif dalam menjaga NPL-nya.