Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Abdul Karim

Citayam Fashion Week: Ekspresi Kaum Rudin dan Upaya Penyingkirannya

walau mereka kaum rudin, terbukti mereka sukses merintis fashion diruang bebas, di kawasan SCBD, Dukuh Atas, Jakarta disebut Citayam Fashion Week.

Tribun Timur
Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora - Penulis opini Citayam Fashion Week: Ekspresi Kaum Rudin dan Upaya Penyingkirannya 

Oleh: Abdul Karim
Majelis Demokrasi & Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Seorang perempuan muda dengan busana serba hitam, berhijab hitam pula, berkacamata gelap, sedang menggendong balita lelaki melintas di zebra cross di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Dukuh Atas, Jakarta Pusat.

Ia seolah berlenggak-lenggok diatas catwalk. Ratusan mata menyaksikannya di siang bolong itu. Dan entah berapa lensa kamera merekam dan memotretnya.

Seorang perempuan belia, berkacamata, berambut pirang berlenggak lenggok di tempat yang sama.

Ia mengenakan baju kaos lengan panjang warna kuning, celana hijau lumut, dengan sepatu casual kekinian. Dialah Kurma, remaja putri yang sering nongkrong di kawasan itu.

Di sekitar itu, ratusan mata menontonnya dan tentu saja entah berapa lensa kamera memotret dan merekam gaya si Kurma berjalan bak model diatas aspal itu.

Ada pula Roy, remaja berusia SMP tampil di catwalk zebra cross itu dengan jaket casual kuning-hitam, kacamata hitam, selembar sapu tangan terikat di kepala, celana jeans dan sepatu kets hitam putih. Roy adalah satu diantara rekan Kurma yang belakangan nongkrong di kawasan itu sekaligus modeling jalanan Dukuh Atas.

Potret diatas saya simak di layanan video Tik Tok yang beredar luas akhir-akhir ini.

Di kesempatan lain, ada Bonge, remaja gondrong bergaya nyentrik sedang diwawancarai youtuber/content creator dengan bahasa gaul ala ABG ibu kota.

Ada pula foto remaja putri Jeje, sedang berpose bak model papan atas di kawasan itu.

Ia mengenakan stelan jeans putih, sepatu kats putih dengan baju kaos ketat tak berlengan warna putih pula.

Bonge, Jeje, Roy dan Kurma adalah kawanan putra-putri belia yang kini viral di segala kanal media. Mereka terdiri dari kawanan remaja yang tumbuh di kawasan periferi, seperti Citayam, Bogor dan Depok.

Mereka berasal dari kelas sosial terbatas secara ekonomi. Di ibukota, mereka mengamen dan nongkrong.

Tetapi tunggu dulu, walau mereka kaum rudin, terbukti mereka sukses merintis fashion diruang bebas, di kawasan SCBD, Dukuh Atas, Jakarta, yang viral disebut Citayam Fashion Week (CFW).

Mereka nongkrong di kawasan elit Jakarta mengekspresikan berbagai selera unik fashion mereka.

Awalnya sekedar nongkrong bersama, lalu muncul ide mengadu kreativitas tampil modis.

Mereka beradu gaya dengan outfit masing-masing seraya direkam dan dijepret dengan kamera handphone lantas diunggah di media sosial.

Jika di Prancis ada Paris Fashion Week yang diikuti desainer dan model kondang, maka di CFW diisi oleh model remaja rudin nihil pendidikan.

Kontent kreator, youtuber, aktivis medsos, dan para pencari rupiah di dunia maya berbondong-bondong ke CFW. Di sana mereka mewawancarai Bonge, Roy, Jeje, Kurma dan modeling belia rudin lainnya.

Komentar-komentar mereka yang diunggah di Medsos nyeleneh dan mengundang tawa. Tetapi rupanya, gaya begitulah yang membuat mereka viral dimana-mana.

Setelah viral, kawasan CFW itu lantas diserbu selebrtis, model, dan kaum kelas menengah atas. Disana, mereka berlenggak lenggok diatas catwalk zebra cross tanpa dewan juri. Entah berapa kamera merekamnya lantas diunggah di kanal medsos.

Melawan “Kemustahilan

Kehadiran sejumlah artis dan model berkulit mulus di panggung CFW adalah bentuk kemenangan kaum rudin atas kaum mapan.

Selama ini, dunia modeling adalah dunia yang dimonopoli kaum mapan. Ia merupakan dunia yang tak pernah dijangkau kaum rudin. Panggung catwalk bukan milik mereka.

Busana serba mahal tak pernah diimpikan membaluti tubuh mereka—sebagaimana para model dan artis memilikinya.

Di dunia industri hiburan—dulu menjadi penontonpun mustahil bagi mereka, apalagi menjadi aktor.

Bonge, Roy, Jeje, Kurma dan CFW juga menampar sekolah modeling yang mustahil dijangkau remaja seperti mereka.

Sekolah modeling tak seperti sekolah kebanyakan. Tak ada dan BOS disana.

Sekolah modeling yang didirikan Istri Baim Wong, Paula Verhoeven, punya tarif yang tak sedikit, kelas short course paling standar Rp 5 juta untuk tiga hari saja.

Dengan biaya selangit begitu, terasa bila sekolah modeling bukan sekolah biasa.

Tetapi CFW hadir seolah melibas semua itu. Kehadirannya dengan suguhan catwalk natural urban diruang publik seakan menegaskan bahwa “kemustahilan” bergeser menjadi “tak mustahil”.

Mereka tak pantas lagi disebut anak-anak, gagal ekonomi, dan gagap tekhnologi, sebab terbukti Medsos dan media massa mainstream telah mereka jinakkan. Dan publik pun menikmatinya.

Industri media massa yang selama puluhan dasawarsa seperti televisi tak pernah mengakomodasi mereka. Lensa kamera shooting tak pernah merekam wajah-wajah mereka yang legam dan dekil itu.

Kapitalisme televisi tak pernah peduli pada mereka. Tak ada ruang yang tersedia bagi mereka—kecuali bila mereka berlaku onar, buru-buru media massa mengarahkan kamera ke wajah mereka.

Kini, kaum rudin yang diwakili anak belasan tahun Bonge, Roy, Jeje, Kurma dan lainnya mengubah yang mustahil menjadi tak mustahil.

Kamera media dan kamera Medsos berpacu menyorot wajah mereka yang tak akrab dengan pemutih.

Ekspresi mereka harus diakui telah menciptakan arena baru bagi dunia urban.

Mereka menyuguhkan panggung baru yang tak terduga bagi pecandu gaya hidup metropolis. Dan daya pikat panggung aspal itu sungguh mempesona. Selebritis dan kaum mapan kota lantas mengalir ke sana.

Hal penting, kehadiran sejumlah selebritis, muda-mudi mapan, serta emak-emak sosialita di atas aspal zebra cross ala CWF itu—menunjukkan “kesetaraan tanpa fatamorgana”. Apapun motivnya, kesetaraan diruang itu nyata dan mengalir.

Dari situ kita mengerti esensi kesetaraan yang sebenarnya, bahwa kesetaraan tak jauh dari berjumpanya “yang rudin” dan “yang mapan” dalam ruang yang sama tanpa selisih jarak, tanpa dominasi, tanpa kuasa-menguasai.

Belakangan, Baim Wong dan bininya yang model itu Paula Verhoeven hendak “menguasai” CFW dengan mendaftarnya di kementrian Hukum dan HAM untuk meraih sertifikat HAKI. Beruntunglah nitizen mengecamnya. Langkah Baim terhenti.

Tetapi gejala tersingkirnya Bonge, Roy, Jeje, dan Kurma dari CFW selalu menyala.

Kemunculannya yang cair tidak terstruktur dan terkonstruksi secara spontan membuat komunitas itu begitu rentan disingkirkan oleh mereka yang punya resource ekonomi dan power yang kuat.

Artinya, arena CFW berpotensi diambil alih oleh kaum kelas menengah yang mapan.

Entah untuk keperluan bisnis dan gaya hidup urban, entah untuk kebutuhan panggung politik.

Namun fenomena CFW terlanjur menular ke sejumlah kota, seperti Malang, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Depok dan Makassar.

Di kota Makassar, fashion week diatas aspal, di ruang terbuka juga diupayakan.

Letaknya, di kawasan CPI. Di atas daratan buatan elite itu, sejumlah muda-mudi berlenggak lenggok dengan busana berkelas bak model papan atas.

Tetapi CFW dan fenomena fashion week di kota-kota itu tetap saja berbeda.

Pembeda paling mencolok adalah, para model dadakan yang berlenggak lenggok di kota-kota itu bukanlah kaum rudin seperti Bonge, Roy, Jeje, dan Kurma.

Mereka adalah keturunan kaum mapan tak berdaki yang menjadi “makmum” CFW.

Tak ada makna sosial yang dapat diraup di situ. Bisa saja mereka viral pula, tetapi tentu tak melampaui Bonge, Roy, Jeje, dan Kurma.

Bonge, Roy, Jeje, dan Kurma yang viral dimana-mana dan ditiru di kota-kota hendak dihentikan.

Barangkali banyak pihak yang cemas karenanya. Lantas citra buruk dibangun dan berupaya diviralkan.

Seorang Emak-emak mapan yang berhijab dan berkacamata tampak nongkrong bersama Bonge. Dalam video pendek itu si Emak menawari Bonge untuk kuliah.

Namun diawali dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. “Ijazah SD belum ada?, ijazah SMP belum ada?, ijazah SMA belum ada?”

Dengan jujurpun Bonge mengakui belum punya ijazah-ijazah itu. Niat baik si Emak ini sungguh mulia, tetapi dengan menyadari bila video itu disebar rasanya justeru bermakna lain.

Si Emak seolah hendak menunjukkan pada kaum ramai bahwa Bonge dan rekannya adalah kumpulan anak-anak tak berpendidikan.

Barangkali si Emak lupa bahwa sekolah di negeri tak semurah harga kacang. Dan mungkin si Emak pura-pura lupa bahwa makan-minum keluarga Bonge di rumah jauh lebih diperlukan dibanding sekolah.

Sejumlah video pendek lainnya juga beredar. Adegannya, mengejek cara jalan Jeje saat melintas di zebra cross di kawasan SCBD.

Ada pula video artis Ruben dan Ivan Gunawan sedang menginterogasi Roy tentang harga pakaian dan aksesoris yang dikenakannya.

Dari ujung rambut hingga kaki, harganya tak lebih dari 500 ribu rupiah. Dikesempatan lain, Kurma sedang diwawancarai seorang kontent kreator. Ia ditanya harga pakaian dan aksesoris yang dikenakannya.

Pertanyaan-pertanyaan tentang pendidikan, tentang harga pakaian yang mereka kenakan seharusnya tak muncul.

Sebab pertanyaan-pertanyaan itu tanpa disadari akan menkonstruksi citra buruk pada mereka. Dan terbukti, belakangan mereka sering diberi komentar miring oleh nitizen. “Tak berpendidikan, berdaki, kumal” dan sejumlah citra buruk lainnya lalu-lalang di layar medsos kita.

Cepat atau lambat, komentar demikian segera menyingkirkan mereka.

Padahal, peran mereka cukup penting dalam memanfaatkan ruang publik sebagai panggung baru yang setara bagi semua dalam mengekspresikan diri sebagai kaum urban.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved