Opini Fathur Muhammad
Jejak Khazanah Etnoastronomi 'Tana’ Bulaan' Tana Toraja
Penemuan-penemuan khazanah astronomi di tanah Sulawesi Selatan telah banyak ditemukan melalui tradisi kehidupan sosial masyarakat di berbagai wilayah.
Oleh: Fathur Muhammad
Alumni Ilmu Falak UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Sulawesi Selatan sebagai kiblat perkembangan ilmu pengetahuan di Indnesia Timur dikenal sebagai jazirah yang subur dengan beragam adat dan budaya, seperti dalam rekam jejak khazanah astronominya yang telah melegenda.
Penemuan-penemuan khazanah astronomi di tanah Sulawesi Selatan telah banyak ditemukan melalui tradisi kehidupan sosial masyarakat di berbagai wilayah.
Seperti masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki naskah kuno Lontaraq yang mengatur tatanan sosial kehidupan masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari yang dipelajari secara empiris atau berdasarkan dari sebuah pengalaman leluhur mereka. Seperti, peredaran bulan, sistem penanggalan, dan menentukan hari-hari baik dan buruk.
Tidaknya hanya itu, di kawasan adat kajang Bulukumba juga memiliki penanggalan tradisional dari leluhur mereka yang di sebut Pappasang yang berarti (pesan dari orang tua).
Dimana masyarakatnya menggunakan fenomena alam semesta seperti bulan dan bintang sebagai penanda waktu bercocok tanam dan ritual keagamaan.
Namun ternyata, Tana Toraja juga memiliki pengetahuan tradisional yang diinterpretasikan melalui rumah adat Tongkonan sebagai symbol corak astronomi oleh masyarakat Toraja sebagai arah petunjuk mata angin.
Tanah Toraja merupakan sebuah suku yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan yang bermukim di daerah pegunungan dan memiliki corak hidup yang khas sebagai gaya hidup orang Austronesia yang asli.
Kata Toraja memiliki asal-usul yang bermacam-macam, biasanya masyarakat Bugis menyebutnya dengan nama to riajang (orang berdiam di atas negeri atau pegunungan).
Sementara versi lain menyebutkan Toraja berasal dari kata Toraya, To bermakna ‘orang’ dan ‘raya’ bermakna marau yang berarti besar. Sederhananya Toraya adalah seorang bangsawan.
Berdasarkan cerita dan mitos yang telah melekat di masyarakat, dulunya Toraja merupkan sebuah negeri otonom dengan istilah Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik Allo.
Artinya adalah negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat meyerupai bentuk bulan dan matahari.
Para bangsawan Toraja (tana’ bulaan) beranggapan bahwa mereka adalah keturunan dari para dewa di kayangan. Nenek moyang mereka yang pertama adalah keturunan atau titisan dari Puang Matua (dewa tertinggi/Tuhan).
Kemudian, ia diangkat menjadi raja di bumi (Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik Allo). Namun terlepas dari itu, Toraja memiliki rumah adat yang khas yang disebut dengan rumah adat Tongkonan.
Istilah Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang bermakna menduduk dan ma’tongkon berarti duduk berkumpul.
Dari sini muncul kata Tongkongan yang merupakan tempat tinggal penguasa adat sebagai tempat berkumpul.
Seacara fisik dan wujudnya rumah adat Toaraja memiliki ciri khas yang unik, 1) Rumah panggung, 2) atap seperti perahu, 3) tanduk kerbau di bagian tiang utama, 4) Di bagian depan atas terdapat kepalau kerbau, 5) Pada bagian kiri rumah menghadap ke arah barat terdapat rahang kerbau yang pernah disembelih, 6) Berpasangan dengan Alan Sura’, 7)
Menghadap ke utara, 8) Ornamen ukiran.
Bangunan rumah adat Tongkonan ternyata memiliki kosmologi sebagai kepercayaan masyarakat Toraja.
Kosmologi toraja mengklasifikasi alam raya ini ke dalam empat arah mata angin yang dimanifestasikan dalam pembagian ruang secara horizontal.
Arah utara yang disebut Ulunna langi’ serta timur yag disebut matallo adalah tempat baik, sementara bagian selatan yang disebut pallo’na langi dan bagian barat matampu’ identik dengan kedudukan atau kematian.
Arah timur merupakan arah terbitnya matahari yang diasosiasikan dengan lahirnya kehidupan baru serta sumber segala kebahagian, sementara barat tempat matahari terbenam yang diartikan sebagai kesusahan dan kematian.
Bagian utara dianggap sebagai bagian yang paling mulia, dan sebaliknya pada bagian selatan.
Hampir seluruh kawasan toraja sepanjang tahun dialiri oleh air yang mengalir dari utara ke selatan, baik oleh sungai permukaan maupun sebagai awal atau sumber kehidupan, sementara selatan merupakan arah keluarnya berkat.
Selain pengklasifikasian alam raya berdasarkan arah mata angin masyarakat toraja memandang bumi sebagai suatu lempengan luas yang terdiri atas daratan, bukit, gunung, dan sungai yang disangga oleh dewa.
Bumi dibagi menjadi tiga lapisan yaitu dunia atas atau langit, dunia tengah atau permukaan, dan dunia bawah yaitu semua yang ada di dalam perut bumi.
Rumah juga diklasifikasikan menjadi tiga bagian secara vertikal yakni, atap (dunia atas), badan (dunia tengah), dan kolong atau kaki bangunan (dunia bawah).
Dalam literatur lain juga dijelaskan bahwa, Banua Tongkonan selalu dibangun dengan menghadap ke utara agar terhubung langsung degan sang pencipta, yaitu Puang Matua.
Sedangkan arah selatan dihubungkan dengan nenek moyang mereka dan dunia kemudian/puya.
Arah timur dihubungkan dengan kedewaan (deata). Sementara itu, arah barat dikenal sebagai nenek moyag yang didewakan.
Letak Banua Tongkonan tertua berada tepat di ujung barat atau tepat arah matahari terbenam yang diikuti oleh Banua Tongkonan berikutnya secara berturut-turut ke arah timur atau arah matahari terbit.
Maka dapat dikatakan bahwa, secara tidak langsung rumah adat Tongkonan Toraja dijadikan sebagai simbol astronomi oleh masyarakat Toraja sebagai arah petunjuk mata angin agar dapat mengetahui waktu-waktu tertentu.
Mengingat rumah adat Tongkonan memiliki unsur yang terhubung dengan falsafah alam semesta.
Kebudayaan suatu bangsa sangat berperan dalam kemajuan pengetahuan tradisional mereka adalah warisan yang tumbuh sebagai lingkaran yang tidak pernah putus dan tetap terjaga dengan didasari pengetahuan, filsafat, dan alam semesta, agar ketradisian itu bisa tetap hidup seiring perkembangan zaman dengan merawat dan menghormati nilai-nilai sebuah kekayaan budaya yang telah wariskan dari generasi ke generasi.
Astronomi dan astrologi masyarakat Sulawesi Selatan menjadi sebuah penanda bahwa dalam perkembangan pengetahuan astronominya juga telah mengalami banyak fase seperti perkebangan kelimuan astronom dunia barat dan timur tengah. Nun, wa al-Qalam, wa Ma Yasthurun, Wa an-najm Idwa Hawa.(*)