Catatan di Ufuk Timur
Catatan di Ufuk Timur Prof Tasrief Surungan: Konsep Wujudul Hial Hakiki Keliru Sekaligus Menyesatkan
Perbendaan pendapat yang bertentangan secara diametral, berhadap hadapan dalam banyak segi, harus dicarikan solusinya, bukan untuk dilanggengkan
Oleh: Prof Tasrief Surungan PhD
Fisikawan/Guru Besar Fisika Teoretik Fakultas MIPA Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Saya agak provokatif menyampaikan bahwa konsep Wujudul Hilal Haqiqi itu keliru, sekaligus menyesatkan
Al Quran menyebut 3 kosa kata tentang bulan, yaktu hilal, qamar, dan syahrun.
Dalam perbedaan kemungkinan ada persamaan. Contoh, opsi Iduladha 9 Juli dan 10 Juli, persamaannya adalah, keduanya diderivasi dari kaidah yg sama, yaitu awal bulan (new month) itu berdasar pada "hilal sudahMewujud".
Kendati landasannya sama, derivasinya berbeda. Ini akibat Wujud Hilal hakiki "Yang penting bulan (moon) sudah berada di atas ufuk (horizon) saat matahari terbenam", maka bulan baru (new month) sudah masuk.
Landasan yang sama tersebut, yaitu wujudul hilal dikuantifikasi oleh pihak lain, yaitu pihak yang hadir dalam Sidang Ithbat, bahwa ada syarat minimal bagi ketinggian bulan (moon) di atas ufuk agar hilal mewujud (visible).
Kenapa harus ada syarat minimal? Sebab hilal itu fenomena cahaya. Jika ketinggian bulan di atas ufuk terlalu rendah, maka pengaruh residu cahaya matahari (syafaq) masih dominan, akibatnya hilal tidak mungkin visible.
Pertanyaannya, pihak mana yang memahami ilmu dengan benar? Pertanyaan berikutnya, benarkah tudingan bahwa perintah rukyatul hilal itu sebagai akibat bahwa umat Islam awal tidak tahu hitung menghitung.
Hemat saya itu terlalu ceroboh.
Lalu ada klaim bahwa rukyatul hilal itu tidak perlu fisik, cukup dengan ilmu. Pertanyaanya, Ilmu yang mana yang dipahami.
Pandangan saya sebagai pembelajar fisika, Konsep Wujudul Hilal Haqiqi adalah konsep keliru sekaligus menyesatkan, sebab menyamakan antara kosa kata hilal (crescent) dan bulan (moon).
Padahal, Al Quran jelas-jelas membedakannya (QS 2: 189).
Jadi diskusi tentang perbedaan Iduladha dan Idulfitri telah mengisi banyak raung kita, kendati dari menguras energi, mengandung proses pembelajaran bagi banyak pihak.
Diskusi ini sudah sering berulang, dan sejauh yang saya ingat, sekitar 10 tahun lalu, pertama kali saya merespons Prof Qasim Mathar terkait dengan Rukyat-Hisab, saat itu statemen QM yg meng-underestimate Rukyatul Hilal. Seiring waktu, mulai ada saling memahami dan mengerti duduk masalahnya, sehingga 2 metoda itu tidak lagi dipandang bertentangan, melainkan saling konvergen.