Opini Lutfie Natsir SH MH CLa
Penerapan Azas Hukum Fiktif Positif dalam Tata Kelola Pemerintahan
Keputusan fiktif lahir sebagai sarana untuk memberikan ruang bagi publik agar dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Oleh: Lutfie Natsir SH MH CLa
Pemerhati Hukum
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 53 disebutkan sebagai berikut :
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tidak memberikan penjelasan tentang kriteria keputusan / tindakan Fiktif Positif Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, namun memberikan wewenang kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menguji permohonan adanya keputusan / tindakan fiktif positif.
Sebagai bentuk perluasan objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam aspek Hukum Administrasi Negara, ada tiga jenis tindakan hukum Pemerintahan yaitu :
1.Melakukan perbuatan materiil (materiele daad), 2. Mengeluarkan peraturan (regeling), 3. Mengeluarkan keputusan/ketetapan (beschikking).
Pada awalnya terhadap sikap diam pemerintah ini tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan karena tidak ada keputusan.
Pada prinsipnya pemerintah tidak boleh mengambil manfaat dari sikap diamnya, pengadilan baru berwenang memeriksa suatu sengketa apabila ada keputusan yang digugat dan gugatan diajukan dalam tenggang waktu sejak diberitahukan atau diumumkannya keputusan yang disengketakan tersebut, akan tetapi pemerintah dapat menutup peluang mengajukan gugatan ke pengadilan dengan menolak mengambil keputusan.
Keadaan ini dapat menutup peluang mendapat jawaban bagi orang perseorangan atau perusahaan tanpa batas waktu.
Oleh karena itu keputusan implicit telah diciptakan.
Tujuannya adalah setelah tenggang waktu tertentu dengan sendirinya timbul keputusan sehingga ada keputusan yang dapat digugat di pengadilan.
Keputusan fiktif lahir sebagai sarana untuk memberikan ruang bagi publik agar dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Mengapa diperlukan pengaturan tentang keputusan fiktif? Pertama Untuk melindungi pemohon, salah satu syarat hak konstitusional untuk mengajukan gugatan adalah adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur akibat sikap diam pemerintah terhadap permohonan.
Kedua Pada dasarya hakim Peradilan Tata Usaha Negara menguji legalitas keputusan.
Hal ini berarti hakim tidak boleh menggantikan kedudukan administrasi pemerintahan.
Pengertian Tindakan Fiktif Positif Badan dan atau Pejabat Pemerintahan Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menganut konsepsi welfare state (negara kesejahteraan) sebagaimana diisyaratkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dalam tujuan negara dan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Implikasinya negara diberi wewenang yang luas untuk campur tangan disegala lapangan kehidupan masyarakat dalam rangka bestuurzorg mewujudkan kesejahteraan umum.
Campur tangan tersebut tertuang dalam ketentuan perundang-undangan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pelaksanaan lainnya yang dilaksanakan oleh administrasi negara selaku alat perlengkapan negara yang menyelenggarakan tugas servis publik.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka merealisir tujuan negara harus memiliki dasar hukum atau dasar kewenangan. Dalam hukum administrasi dikenal dengan asas legalitas.
Artinya setiap aktifitas pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undanganyang berlaku, maka aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Dalam praktek dan perkembangannya tindakan pemerintahan itu tidak semata-mata harus berdasarkan wewenang yang diberikan undang-undang atau peraturan perundang-undangan , tetapi juga harus memperhatikan hukum yang berlaku.
Dengan kata lain pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan tidak semata-mata harus mendasarkan pada peraturan tertulis tetapi juga harus memperhatikan hukum tidak tertulis atau yang dikenal dengan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB ).
Tugas dan fungsi pemerintahan harus berdasarkan wewenang karena pada saat pemerintah melaksanakan tugas dan fungsinya secara yuridis pemerintah melakukan perbuatan hukum, yakni suatu tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu atau suatu tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.
Tanpa dasar peraturan perundang-undangan, tindakan hukum pemerintah akan dikategorikan sebagai tindakan hukum tanpa kewenangan dan dikategorikan sebagai tindakan yang tidak sah (onrechtmatig).
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, Tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya dalam melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret/ faktual (materieele daad) dikenal dengan Tindakan Administrasi Pemerintahan (Tindakan), Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau Penyelenggara Negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara selain memeriksa, mengadili dan memutus Perbuatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan/Keputusan Tata Usaha Negara (beschikkingsdaads) juga memeriksa, mengadili dan memutus Tindakan Pejabat Pemerintahan atau Penyelenggara Negara lainnya dalam melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret / faktual (materieele daad).
Terminologi fiktif positif tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang Undang Administrasi Pemerintahan, istilah ini merupakan fiksi hukum yang digunakan untuk mempermudah konstruksi hukum dalam Pasal 53 Undang Undang Administrasi Pemerintahan.
Fiksi hukum yang dianut dalam Undang Undang Administrasi Pemerintahan diam berarti mengabulkan (disebut keputusan/ tindakan fiktif positif).
Demikian sekedar disampaikan semoga menjadi Amal Ibadah disisi Allah SWT, Jazakallahu Khairan, Wallahu A’lam Bishawab.(*)