Dewan Pendidikan Makassar
Dewan Pendidikan Makassar Kaji Sistem Pendidikan yang Tetap Ciptakan Anak Putus Sekolah
Ia juga menyoroti Peraturan Daerah (Perda) yang tidak diterapkan, berarti yang perlu dicurigai itu penyelenggaranya.
Penulis: Kaswadi Anwar | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Muslim Indonesia (UMI), Andi Muin Fahmal meminta Dewan Pendidikan meneliti penyebab lima ribu anak tidak mau sekolah, apa lagi daya tampung sekolah lebih.
“Oleh karena itu, tolong kepada Dewan Pendidikan teliti itu lima ribu yang tidak sekolah. Kenapa tidak sekolah, jangan dia (anak) diteliti, tapi orang tuanya supaya bisa ada solusi,” ungkapnya dalam diskusi forum dosen di Kantor Dewan Pendidikan Makassar, Kamis (9/6/2022) pagi.
Tema yang dibahas dalam diskusi ini yakni Sistem PPDB versus Wajib Belajar.
Ia juga menyoroti Peraturan Daerah (Perda) yang tidak diterapkan, berarti yang perlu dicurigai itu penyelenggaranya.
Perda itu asalnya dari Dinas Pendidikan, teorinya kalau mau membuat aturan harus ada keyakinan lebih dulu bahwa subtansi yang dirumuskan ini bisa dilaksanakan.
“Jadi kalau buat aturan itu ada keyakinan lebih dulu, bahwa ini bisa dilaksanakan. Makanya ilmunya mengatakan aturan apapun dibikin, bukan daftar keinginan, tapi daftar kebutuhan,” terangnya.
Dalam praktek hari ini, banyak aturan yang muncul. Perda dan aturan sebagainya dibuat karena keinginan, karena proyek. Bukan karena kebutuhan.
“Bisa juga dievaluasi kenapa ini tidak jalan, kenapa mesti diyakini bisa dilaksanakan karena teori itu mengatakan kalau ada aturan dibikin pembuat aturan tidak diyakini bisa dilaksanakan, maka aturan itu akan kontra produktif”.
“Setiap aturan itu diproduksi untuk melahirkan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan. Jadi kalau tidak diyakini bisa berlaku, maka ia akan menghasilkan ketidaktertiban, ketidakamanan, ketidaksejahteraan. Kekacauan namanya,” ucapnya.
Sementara Guru Besar Universitas Islam Alauddin, Prof Qasim Qathar menyoroti persoalan anggaran pendidikan. Termasuk sekolah swasta jadi penampung darurat bagi siswa.
Anggaran pendidikan itu 20 persen dari APBN, tapi pos-posnya ini selalu ke mana. Padahal pemerintah bisa mengambil langkah mengamati sekolah swasta yang bagus untuk mengucurkan dana ke situ.
“Ini kebijakan anggaran, sekolah swasta dan pesantren dianggap wadah darurat bagi pemerintah. Harusnya anggaran pemerintah itu juga dikucurkan ke situ. Perbaikan infrastruktur pesantren dan gurunya,” ucapnya.
Dia menyebut, jika anak tidak sekolah tidak diatasi maka anak ini menjadi anak tuna sekolah, selanjutnya jadi anak tuna susila.
Sementara mantan Kepala LLDIKTI Wilayah IX, Prof Jasruddin menyoroti tata kelola pendidikan.
Pertama, terkait zonasi. Zonasi itu bisa melanggar undang-undang dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Beruntungnya, tak ada lagi masalah terkait daya tampung. Jika begitu lebih baik hapus zonasi.