Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Amir Muhiddin

Oligarki dan Pembangunan Inklusif, Mungkinkah?

Oligarki dan Inklusifisme, dua istilah yang sering digunakan dalam kajian tentang politik dan pembangunan.

DOK TRIBUN TIMUR
Dosen FISIP Unismuh Makassar dan anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur, Amir Muhiddin 

Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar, Penggiat Forum Dosen

TRIBUN-TIMUR.COM - Oligarki dan Inklusifisme, dua istilah yang sering digunakan dalam kajian tentang politik dan pembangunan.

Keduanya menampakkan diri dalam dua sisi yang berbeda, terutama dalam hal “orientasi”, Oligarki cenderung berorientasi pada individu dan kelompok yang kecil, sehingga pada tangga piramida, berada pada lapis atau kerucut paling atas.

Sementara itu inklusifisme adalah paham yang berorientasi pada orang banyak, jumlahnya tak terhingga, bahkan semua penduduk tanpa kecuali dalam suatu negara.

Satu hal, bahwa oligarki itu adalah sebuah realitas, artinya dimana-mana ada, di negara liberal yang menjunjung tinggi indivialisme, dan di negara-negara sosialis komunis yang menjujung tinggi kolektifitas.

Di Negara-negara liberal, oligarki dikendalikan oleh kaum pemodal atau kaum kapitalis, sementara di negara-negara sosialis komunis oligarki dikendalikan oleh segelintir orang yang menyebut diri sebagai wakil negara.

Di Cina misalnya dikendalikan secara kelembagaan oleh Polit Biro yang berada di dalam Partai Komunis Cina.

Oligarki di Negara Tirai Bambu ini sering disebut sebagai oligarki negara, artinya tata kelola pemerintahannya termasuk ekonomi dan perdagangan dilakukan semua oleh negara sering disebut sebagai “etatisme”
Pemerintah orde baru, sebagaimana tertuang di dalam GBHN, sangat menghindari apa yang disebut sebagai musuh bangsa dan bertentangan dengan Pancasila yaitu liberalisme dan etatisme.

Serba individualistik sebagai turunan liberalisme dan serba negara sebagai turunan dari komunisme.

Waktu itu, aliran-aliran radikalisme islam belum terlalu mendapat perhatian, karena memang penampakannya belum terlalu terlihat.

Meskipun liberalisme dan etatisme yang kemudian menjelma menjadi oligarki, keduanya berbeda, tetapi ada persamaannya, terutama dalam hal “kekuasaan” dimana di negara liberal dipegang dan dikendalikan oleh kaum pemodal yang disebut oleh Lenin sebagai kaum borjuis, artinya yang memegang kekuasaan di negara liberal adalah pemodal dan nyaris tidak ada kekuasaan pada kaum proletariat yang jumlahnya tak terhingga.

Jadi jangan bermimpi menjadi penguasa di Amerika, kecuali anda punya modal atau sekurang-kurangnya ada supporting pemodal di panggung belakang.

Sementara itu di negara-negara komunis kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang berada dalam lingkar Partai Komuis. Jadi jangan bermimpi jadi penguasa di Cina kalau anda berada di luar lingkar Partai komunis itu.

Oligarki adalah sebuah keniscayaan, meskipun terkadang dibungkus dengan istilah demokrasi, baik itu demokrasi kerakyatan maupun demokrasi terpimpin.

Bahkan oligarki itu juga ada di negara-negara monarki konstitusional, apalagi di monarki absolud.

Tapi apakah oligarki bisa bersanding dengan inklusifisme ? dan sejauhmana rakyat kebanyakan bisa terlibat di dalamnya, apakah sebatas menikmati kesejahteraan, terutama dengan indikator material ? atau boleh lebih dari itu ?.

Pembangunan inklusif adalah salah satu konsep pembangunan di negara yang menganut walfare state atau negara kesejahteraan.

Inklusifisme adalah salah satu paham dimana pembangunan, hasilnya harus dinikmati oleh semua warga, tanpa kecuali, artinya apapun bentuk negara dan pemerintahannya, termasuk jika oligar ada di dalamnya, hasilnya semuanya untuk rakyat, bukan untuk sekelompok orang saja.

Tapi apakah oligar akan dengan rela memberi kekayaannya kepada kebanyakan rakyat ? itulah masalahnya.

Beberapa hari lalu, saya dikirimi pesan melalui WA oleh Prof Rahman Rahim, mantan Rektor Unismuh bahwa boleh kaya, tetapi contohlah Usman Bin Affan, hartanya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, Boleh berkuasa tapi contohlah Umar bin Khottab, kekuasaannya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, intinya, kembali keajaran agama, utamanya islam sebagai Rahmatan lil alamin.

Usman Bin Affan, sebagai hartawan dan Umar bin Khottab sebagai penguasa, kalau ini berkolaborasi untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat, maka oligarki bentuk apapun juga pasti akan memberi kesejahteraan dan kemakmuran bersama, itu artinya oligarki yang dilandasi oleh nilai-nilai moral, terutama yang sumbernya dari agama, pasti akan mendatangkan kemudaratan bagi sebagian besar masyarakat.

Dengan begitu oligarki sebagai sebuah realitas masih bisa diharapkan membangun bangsa secara inklusif dalam rangka mewujudkan walfare state.

Negara yang dalam konsepsi islam disebut dengan Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, artinya negeri yang baik yang diampuni Tuhan.
Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur ditafsirkan oleh para ahli dan alim ulama sebagai kondisi negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh umat manusia.

Negeri tersebut memiliki kriteria antara lain Negeri yang subur dan makmur, tetapi penduduknya tidak lupa untuk bersyukur., Negeri dengan penguasa yang adil dan shalih serta penduduk yang hormat dan patuh., Negeri yang di dalamnya terjalin hubungan harmonis antara pemimpin dan masyarakatnya.

Semoga para oligar, semakin sadar bahwa harta dan kekuasaan adalah nikmat yang Tuhan berikan kepada kita dan kenikmatan itu harus disyukuri dan salah satu bentuk kesyukuran itu adalah berbagi.

Semoga kita semua tetap dalam lindungan Allah SWT. Amin.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved