Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Diskusi

BPOM Diminta Kaji Lebih Dalam Soal Wacana Pelabelan BPA, Sisi Ekonomi, Kesehatan dan Persaingan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta mengkaji lebih wacana kebijakan pelabelan “berpotensi mengandung BPA” dari semua sisi.

DOK PRIBADI
Asdep Penguatan Pasar Dalam Negeri Kemenko Bidang Perekonomian Evita Mantovani dalam diskusi media “Kebijakan Sektoral dan Diskriminatif, Ancaman bagi Persaingan Usaha yang Fair” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online pada hari Rabu (25/5/2022) kemarin. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Sejumlah stakeholder dari kementerian, akademisi, KPPU, asosiasi industri dan pakar persaingan usaha meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengkaji lebih wacana kebijakan pelabelan “berpotensi mengandung BPA” dari semua sisi.

Baik kesehatan, ekonomi, dan persaingan usaha.

Hal itu untuk menghindari terjadinya permasalahan baru yang merugikan pihak-pihak tertentu diakibatkan oleh kebijakan tersebut.

Adanya permintaan itu mengemuka dalam diskusi media “Kebijakan Sektoral dan Diskriminatif, Ancaman bagi Persaingan Usaha yang Fair” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online pada hari Rabu (25/5/2022) kemarin.

Asdep Penguatan Pasar Dalam Negeri Kemenko Bidang Perekonomian Evita Mantovani yang menjadi narasumber di acara ini mengatakan, Kemenko Perekonomian perlu hadir secara objektif dalam penyelesaian terkait wacana pelabelan BPA galon guna ulang yang telah memunculkan permasalahan bagi industri galon guna ulang. 

Menurutnya, hal itu sangat diperlukan agar kebijakan itu saat diimpelentasikan nanti bisa berjalan secara efektif, efisien, juga tetap bisa mendukung kondisi ekonomi di dalam negeri.

“Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, baik oleh BPOM dan juga pelaku usaha terkait wacana kebiajkan pelabelan BPA ini. Ada aspek ekonomi, aspek kesehatan, aspek lingkungan hidup serta terakhir aspek persaingan usaha. Ini semua perlu dikaji lagi secara lebih mendalam,” ujarnya via rilis, Kamis (26/5/2022).

Dari sisi ekonomi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan menurut Evita adalah adanya potensi tambahan biaya sebesar Rp 16 triliun seperti yang disampaikan pelaku usaha galon guna ulang.

Selain itu juga sisi tenaga kerja jika kebijakan BPOM itu diterapkan.

Di mana, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri galon guna ulang ini diperkirakan mencapai 40 ribu.

Jika diasumsikan satu orang menanggung empat anggota keluarga, itu artinya ada sekitar 160 ribu  orang yang tergantung pada industri air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang. 

“Inilah perhitungan yang kemudian menjadi pertimbangan kami melakukan analisa terhadap kebijakan tersebut. Kemudian estimasi kerugian sekitar 170 juta buah GGU PC (galon guna ulang Polikarbonat) itu bisa mencapai Rp 6 triliun. Ditambah dengan biaya pengganti galon non GGU sekitar Rp 10 triliun. Artinya, kebijakan pelabelan BPA ini apabila diterapkan berpotensi menimbulkan beban sebanyak Rp 16 triliun tadi,” ungkapnya.

Stakeholder lainnya yang juga menjadi pembicara di acara ini, Riris Marito, Koordinator Fungsi Industri Pengolahan Susu dan Minuman Lainnya Kemenperin.

Ia mengatakan, pada prinsipnya regulasi dibuat untuk mengatur yang tujuannya memberi manfaat dan kebaikan untuk berbagai pihak.

Dia mencontohkan regulasi yang mengatur industri, itu juga harus memikirkan hal lain.

"Begitu juga dengan kebijakan pelabelan BPA ini yang terkait keamanan pangan ini, BPOM juga harus memperhatikan aspek lain yang dapat memberikan kemaslahatan bersama. Karenanya, BPOM juga harus mengajak semua stakeholder lainnya untuk membahas kebijakan tersebut,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Marcellina Nuring, Direktur Kebijakan Persaingan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan kebijakan pemerintah seharusnya hadir untuk mengatasi suatu masalah.

Dia mencontohkan dalam kebijakan pelabelan BPA ini,  BPOM seharusnya juga harus melihat sisi persaingan usahanya.

Dalam hal ini, kebijakan itu harus bisa mencegah, membatasi, atau mendistorsi persaingan di dalam pasar.

"Jadi, di dalam pasal-pasal regulasinya, yang ada singgungannya di persaingan usaha harus bersifat equal treatment, tidak ada diskriminasi yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha tertentu dan menguntungkan pelaku usaha lain,” ujarnya.

Menurutnya, kalau kebijakan itu tidak diskriminatif atau semua mendapatkan perlakuan yang sama, mungkin tidak akan menjadi masalah.

“Salah satu pesan dari salah satu komisioner kami dalam melihat kebijakan pelabelan BPA ini adalah kesehatan masyarakat tidak bisa dipertentangkan dengan persaingan usaha. Jangan sampai kebijakan itu hanya baik buat industri tertentu, tapi merugikan yang lain,” tukasnya.

Menurutnya, suatu kebijakan yang diskriminatif berpotensi menyebabkan berkurangnya kemampuan produsen untuk bersaing.

Dia menegaskan KPPU akan berusaha melakukan pencegahan di awal terhadap hadirnya kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi terjadinya persaingan usaha.

"Kami membuat apa yang dinamakan dengan daftar periksa asesmen kebijakan persaingan usaha. Nah, ini mungkin nanti yang akan kami coba koordinasikan dan diskusikan dengan pihak BPOM jika memang wacana kebijakan pelabelan BPA ini berlanjut,” katanya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga pengamat persaingan usaha, Ningrum  Natasya Sirait meminta agar BPOM tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan saja.

Tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha.

“Peraturan dalam konteks apapun harus melalui uji daftar dampak kompetisi (competition check list), sehingga tidak menjadi hambatan artifisial (artificial barrier) yang membebani perusahaan dalam pasar persaingan yang akhirnya menjadi tanggungan masyarakat,” tukasnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved