Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Lailatul Qadar

Kisah Nyata Peristiwa Lailatul Qadar, Cahaya dari Langit Terangi Masjid, Warga Mengira Ada Kebakaran

Lailatul Qadar disebut dalam surat Al Qadr yang menerangkan bahwa Lailatur Qadar adalah satu malam yang penuh kemuliaan di Bulan Ramadhan.

|
Editor: Sakinah Sudin
Istimewa
Ilustrasi. Kisah nyata peristiwa Lailatul Qadar, cahaya dari langit terangi masjid. Warga mengira ada kebakaran. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 2022.

Bulan puasa Ramadhan 2022 memasuki hari ke-15, Minggu (17/4/2022).

Salah satu yang dinanti umat Islam saat bulan Ramadhan yakni Lailatul Qadar.

Lailatul Qadar disebut dalam surat Al Qadr yang menerangkan bahwa Lailatur Qadar adalah satu malam yang penuh kemuliaan di Bulan Ramadhan.

Namun, malam Lailatul Qadar atau malam seribu bulan adalah malam yang dirahasiakan Allah kepada Umat Muslim di Bulan Suci Ramadhan.

Salah satu kisah nyata peristiwa Lailatul Qadar diceritakan turun temurun kepada santri Pondok Pesantren Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Kisah spiritual itu dialami  Anre Gurutta Haji (AGH) Abdurrahman Ambo Dalle, pendiri DDI yang disaksikan warga sekitar.

Saat itu Anre Gurutta Haji (AGH) Ambo Dalle itikaf tengah malam di Masjid Mangkoso, tepat di malam ke-27 Ramadan.

Tiba-tiba sebercak cahaya terang berderang turun dari langit.

Cahaya berkilauan di tengah kegelapan malam itu (waktu itu Mangkoso belum dialiri listrik) masuk ke masjid lewat atap.

AGH Ambo Dalle yang sedang tepekur, duduk bersila di tengah ruangan masjid, tiba-tiba dikelilingi tujuh gumpalan cahaya.

Masjid jadi terang benderang.

Sejumlah warga yang menyaksikan peristiwa itu berlarian ke masjid karena mengira masjid sedang terbakar.

Saat warga itu tiba, cahaya itu perlahan-lahan melayang ke arah kediaman AGH Ambo Dalle, sekitar 50 meter dari masjid itu.

Peristiwa itu terjadi puluhan tahun lalu, tepatnya pada malam ke-27 Ramadhan, tahun 1939 masehi.

AGH Ambo Dalle mengalami peristiwa Lailatul Qadar di tahun pertama pengembangan Pondok Madrasah Arabiah Islamiyah (MAI) Mangkoso, belakangan diubah namanya menjadi Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) dalam pertemuan alim-ulama di Soppeng.

Masjid tempat yang ditempati AGH Ambo Dalle itikaf saat didatangi Lailatul Qadar itu kini bernama Masjid Jami’ Addariah di Komplek Pondok Pesantren DDI Mangkoso.

“Peristiwa spiritual luar biasa tersebut ditandai oleh seberkas cahaya yang memenuhi setiap sudut masjid," jelas pembina Pondok Pesantren DDI Mangkoso, Ahmad Rasyid Amberi Said beberapa tahun lalu.

"Masyarakat mangkoso yang kebetulan terjaga malam itu menyangka kalau masjid terbakar," ujarnya.

Ahmad Rasyid Amberi Said pun membeberkan doa yang diucapkan Gurutta Abdul Rahman Ambo Dalle.

"Gurutta Abdul Rahman Ambo Dalle mendoakan agar diberi ilmu yang berkah dan tujuh generasinya menjadi ulama besar Ahlussunnah Wal Jamaah,” kata dia.

Untuk mengenang peristiwa itu, empat buah tegel di tengah Masjid Jami’ Addariah dilengketkan tanpa campuran semen.

“Di sinilah Gurutta duduk saat didatangi Lailatul Qadar,” kata salah seorang jamaah suatu ketika.

Sebagian warga Mangkoso, yang hidup di masa itu, mengatakan, beberapa hari air sumur di rumah AGH Ambo Dalle terasa manis dan lezat airnya setelah peristiwa itu.

AGH Ambo Dalle hijrah ke Mangkoso dari Sengkang untuk mengembangkan pengajian di Soppeng Riaja atas permintaan berkali-kali Datu Soppeng Riaja, Andi Yusuf Dagong Petta Soppeng.

Pengajian perdana dilakukan di Masjid Mangkoso hari Rabu tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 M.

Sejak itu Mangkoso dikenal sebagai kota “pangngaji”.

Dijuluki tempat yang tenang, penduduknya hidup tenteram.

Jangankan perampok atau pencopet, pencuri sekecil apapun tidak pernah ada.

Bahkan, bila ada di antara warga melakukan perbuatan zina, Gurutta langsung diberitahu.

Beliau lalu menyampaikan kepada masyarakat agar orang tersebut dikeluarkan dari kampung.

Gurutta meminta agar tradisi lama masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti memuliakan batu-batu kubur dan pohon-pohon besar segera dihentikan.

Gurutta bahkan memerintahkan agar batu-batu nisan yang telah dibongkar itu dijadikan pondasi jalan agar bisa diinjak oleh masyarakat untuk menunjukkan bahwa batu-batu tersebut tidak punya kekeramatan apa-apa.

Di masa pemerintahan Arung Petta Cowa, ia sangat mempertahankan tradisi tersebut.

Namun sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Petta Coa memerintahkan supaya amalan yang mengandung unsur khurafat itu segera dihentikan.

Imam Laepo Polewali

Berkah Lailatul Qadar juga datang menjemput Imam Lapeo di Campalagian, Polewali, Sulawesi Barat. Waktu itu masih dalam wilayah Sulsel, tahun 1952.

Mantan Ketua Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Unhas, (almarhum) As’ad Bua sering menyampaikan kisah Lailatul Qadar turun menjemput Imam Lapeo.

Menurutnya, Imam Lapeo menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam usia 114 tahun, pada hari Selasa, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo, bertepatan 27 Ramadhan 1362 H.

“Malam itu, suasana sangat tenang tanpa hembusan angin di Lapeo. Segala benda, alam dan pepohonan rebah sujud, seberkas cahaya menerobos kegelapan. Imam Lapeo mengalami malam Lailatul Qadar dan keesokan harinya beliau wafat,” kata As’ad Bua, suatu ketika di Fakultas Sastra Unhas.

Malam itu, Imam Lapeo diyakini “sudah tiada” di dunia fana.

Sejumlah masyarakat yang pernah mengangkat jenazah Imam Lapeo ke halaman masjid Imam Lapeo tempat pemakaman, mengaku, seakan hanya mengangkat kain kafan, sangat ringan.

Salah seorang cucu Imam Lapeo, Ahmad Arfah Mubasyarah, mengaku tidak tahu banyak tentang kejadian spiritual kakeknya itu.

"Saya juga hanya mendengarnya dari beberapa orang, termasuk dari dosen saya di Fakultas Sastra itu," ujar Arfah, yang juga Alumnus Sastra Arab Unhas, Rabu (29/6/2016) malam.

Makam Imam Lapeo di sisi utara Masjid Nuruttaubah di Lapeo, lebih disebut dengan sebutan ‘Masigi Lapeo’ hingga kini masih menjadi tujuan ziarah dan wisata spiritual di Sulbar.

Masjid itu dikenal dengan menaranya menyerupai arstitektur Istambul, sehingga Imam Lapeo juga disapa dengan nama “Kanne Ambol”, yakni orang yang pernah menngunjungi Istambul, peralihan sebutan Istambul ke Ambol.

Selain makna lainnya, “Ambol”, yakni jangan coba-coba bertetangan dengan Imam Lapeo, nanti mendapatkan teguran secara langsung.

Imam Lapeo lahir dengan nama unik, Junaihin Namli, yang berarti sayap semut, di Pambusuang Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polman, tahun 1838.

Dikenal sebagai ulama kharismatik, penyebar ajaran Islam di Sulselbar khususnya di Tanah Mandar.

Saat menyebar Islam, dikenal sebagai KH Muhammad Thahir atau yang lebih masyhur Imam Lapeo.

Nama Lapeo yang melekat pada Imam Lapeo diambil dari nama kampung di Kecamatan Campalagian, sekira 287 KM dari Makassar dan 33 KM dari Kota Polewali.

Selain silsilahnya bertalian dengan bangsawan di Mandar, nasab dalam diri Imam Lapeo bersambung hingga Sunan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali Walisongo yang menjadi penyebar agama Islam di Gresik.

Dalam buku tentang perjalanan hidup Imam Lapeo yang ditulis Syarifuddin Muhsin, (cucu Imam Laepo) ada puluhan karomah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo yang berkembang di tengah masyarakat dan keluarganya.

Sebagian diantaranya, menjadi khatib dan Imam shalat Jumat di tempat berbeda, menyelamatkan orang tenggelam, membayar utang dalam keadaan terjepit dan lainnya.

Juga dalam buku Jejak Kewalian Imam Lapeo yang ditulis oleh cicitnya, Zuhriah, peran Imam Lapeo, tidak terlepas dengan akhlak (karakter) hingga karamah kesufian yang ada pada dirinya mampu memberi berkontribusi penting bagi perbaikan tatanan masyarakat.

Menjelang wafatnya, Imam lapeo berpesan supaya disediakan batang pisang sebelah menyebelah (pihak kanan dan pihak kiri) sebagai tempat bersandar saat berbicara dengan mungkar-nakir. Pesan itu sebagai isyarat Imam Lapeo akan mangkat.

Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar

Meski tidak dipastikan tanggal berapa malam Lailatul Qadar, menurut Baidi, ada sejumlah tanda malam Lailatul Qadar.

Yaitu suasana pagi hari atau malam hari sangat tenang dan udaranya segar.

Cuaca di pagi hari ketika Lailatul Qadar, sinar matahari cukup cerah tapi tidak panas.

Untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar, kita dianjurkan untuk melakukan amalan-amalan pada 10 hari terkhir Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil.

Hal-hal yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW untuk mendapatkan Lailatul Qadar misalnya, dengan memperbanyak amalan sunah iktikaf, berdzikir, dan istighfar.

Lantas apa beda Lailatul Qadar dengan Nuzulul Quran?

Ustaz Tsalis Muttaqin Lc MSi, yang juga Ketua Prodi Ilmu Al Quran dan Tafsir IAIN Surakarta menjelaskan, Al-Quran turun tidak dalam satu waktu, namun dua waktu.

Pertama, Al-Quran diturunkan Allah dari Lauhul Mahfuz ke Baitul 'Izzah di langit dunia.

Setelah itu, baru Allah menurunkan Al-Quran dari langit dunia kepada Rasulullah secara berangsur dan bertahap.

Peristiwa diturunkannya Al-Quran dari Lauhul Mahfuz ke Baitul 'Izzah inilah yang disebut sebagai malam Lailatul Qadar.

Pada peristiwa Lailatul Qadar, Allah menurunkan Al-Quran secara utuh pada satu waktu.

Allah tidak menyebutkan secara jelas kapan tanggal diturunkannya Al-Qur'an ke Baitul 'Izzah.

Namun hanya memberikan tanda-tandanya seperti surat di atas.

Kemudian, setelah turun ke Baitul 'Izzah, Allah menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW secara bertahap.

Turunnya wahyu Al-Quran yang pertama kepada Nabi Muhammad terjadi saat Rasullah berada di Gua Hira.

Malaikat Jibril membawa wahyu pertama kali yakni Al Qur'an surat Al Alaq ayat 1-5.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Artinya: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al Alaq: 1-5).

Namun demikian, muncul perbedaan mengenai waktu pertama kali turunnya wahyu dari langit ke bumi kepada Rasulullah SAW.

Sebagian ulama berpendapat, turunnya wahyu Al-Qur'an ke bumi tetap merujuk pada malam Lailatul Qadar.

Sebagian ada yang mengatakan pada 17 Ramadhan.

Di Indonesia, pada 17 Ramadhan inilah yang biasa di peringati dengan Nuzulul Quran.

Namun di negera lain seperti di Mesir, peringatan Nuzulul Quran terjadi pada 27 Ramadan.

"Yang di Indonesia yang diperingati adalah malam ketika pertama Rasulullah SAW mendapatkan wahyu."

"Sementara di negara-negara lain seperti di Mesir, ambilnya malam 27 Ramadan."

"ini merujuk pada sebuah hadits yang menyebutkan malam Lailatul Qadar adalah malam turunnya Al-Quran terjadi pada malam 27 Ramadan," terangnya.

"Jadi perbedaan-perbedaan ini karena sudut pandangnya berbeda." tambahnya.(*)

Sebagian artikel ini sudah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul Lailatul Qadar Turun di Mangkoso, Warga Mengira Masjid Kebakaran

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved