AJI
Tanggapi Isu BPA, Satrio Arismunandar: Wartawan Harus Selektif Pilah Narasumber
Satrio Arismunandar, menyatakan keprihatinan dan kritiknya terhadap fenomena hilangnya sikap kritis wartawan.
Beberapa media besar seperti Tempo hanya menuliskan ‘INFO Tempo’ di akhir tulisan berbayar.
Media lain bahkan tidak banyak yang tidak memberikan penanda sama sekali sehingga pembaca tidak tahu apakah ini berita organik (murni) atau berita komersial berbayar.
Kekisruhan ini juga ditambah dengan kehadiran ‘bohir’ atau mediator penyebaran ‘rilis’ yang diduga memberikan ‘balas jasa’ ke media yang menerbitkan tulisan sesuai ‘rilis’ tanpa melakukan cek ricek.
Dalam memilih narasumber itu, kalau di media-media yang profesional, biasanya ada arahan dari pimpinannya apakah itu redaktur, redpel, atau pemred untuk mencari narasumber yang benar-benar menguasai materi yang akan ditanyakan.
“Ketika meliput begitu harusnya. Jadi tidak asal meliput dan ditayangkan begitu saja tanpa mengetahui latar belakang narasumbernya,” tukasnya.
Salah satu contoh nyata kegagalan dalam cek ricek konten dan sumber berita seperti sikap media dalam meliput hasil survei yang dilakukan YLKI mengenai isu BPA itu.
Seharusnya, para wartawan bisa mengamatinya apakah YLKI, meski merupakan lembaga ternama, melakukan survei sesuai dengan kapasitasnya sebagai lembaga perlindungan konsumen atau tidak.
“Seharusnya kan survei yang dilakukan YLKI itu tidak untuk menggiring opini publik bahwa kemasan galon guna ulang itu berbahaya. Tapi, ingin mencari tahu apakah memang benar ada masyarakat yang pernah sakit saat menggunakan air galon guna ulang itu. Jadi, survei dilakukan terhadap masyarakat bukan ke tokonya atau pola pendistribusiannya,” ucapnya.
Satrio juga menegaskan, kalau ingin tau apakah kadar BPA dalam air galon itu sudah membahayakan atau tidak, itu tidak bisa menggunakan survei.
“Jadi, kita melihat dalam kasus YLKI ini, dia melakukan survei mengenai pola pemasaran dan pengiriman galon air ke tempat-tempat distribusi, tapi kesimpulannya menyangkut mengenai kadar BPA . Itu kan nggak nyambung,” ujarnya.
Kalau ke toko-toko, yang lebih cocok dilakukan survei itu adalah untuk mencari apakah desain galon ini menarik atau tidak menarik. Itu dilakukan untuk meningkatkan penjualan terhadap galon itu.
“Tapi, kalau ingin mengetahui kadar BPA di dalam air galon, itu harus dengan pakarnya,” katanya.
Satrio melihat apa yang dilakukan YLKI dan lembaga-lembaga LSM lainnya yang melakukan kampanye dengan mengunggulkan merek tertentu dalam kaitannya dengan persaingan dagang itu. Itu tidak layak untuk dimuat di media karena itu hanya bertujuan untuk menjatuhkan merek-merek lain.
“Lagipula mereka itu tidak punya basis keilmuan yang pas untuk kasus BPA ini,” ungkapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun juga mengatakan seharusnya berita-berita yang tidak sesuai prinsip-prinsip jurnalis itu tidak layak untuk ditayangkan. “Buat apa dimuat,” katanya.