Resonansi Tribun Timur
Voice and Noise, Politisi Berlombah Produksi Sampah Visual
Makanya, frasa " suara rakyat ” hampir tidak pernah menjadi penentu, apalagi mesti terartikulasikan melalui politisi dan proses politik.
Voice and Noise
Oleh: Moch Hasymi Ibrahim
Budayawan
TRIBUN-TIMUR.COM - Politik selalu mengandaikan usaha memperoleh, meningkatkan dan memelihara pengaruh.
Dalam konteks itulah, antara lain, para politisi hadir di tengah kita.
Melalui kanal sosial media, para politisi menyerbu kita dengan teks, gambar dan suara.
Di luar ruang, kita diserimpung oleh apa yang disebut sebagai “ sampah visual ” melalui baliho, spanduk dan seterusnya.
Ruang publik kita pun sesak oleh pertarungan untuk merebut perhatian.
Menariknya, banjir bandang informasi tersebut umumnya abai dengan fatsun dasar di dalam tindakan politik yaitu “menyampaikan pesan”.
Para politisi kita seakan tak dapat membedakan antara “voice” dan “noise”, “suara” dan “kebisingan”.
Suara dalam hal ini adalah pesan yang berisi pikiran, pilihan dan posisi seseorang tentang suatu masalah dan agenda publik; sementara kebisingan hanya usaha atau tindakan untuk memproduksi pesan tanpa substansi dan sekadar tindakan untuk mencatat kehadiran.
Olehnya itu banyak yang berpendapat bahwa politik kita hanya berisi perseteruan tanpa perdebatan.
Masalah-masalah publik hanya sebagai cantolan untuk memproduksi kebisingan.
Kita semua akhirnya tergiring untuk sibuk mengomentari persona dan peristiwa tetapi lupa membahas aspek-aspek substansial.
Hampir samua masalah publik hanya berhenti pada level itu.
Pemberesan masalah, ambil contoh soal kelangkaan minyak goreng, kita serahkan sepenuhnya pada kehendak alamiah penentu kebijakan atau pemegang kekuasaan - business us usual.
Makanya, frasa " suara rakyat ” hampir tidak pernah menjadi penentu, apalagi mesti terartikulasikan melalui politisi dan proses politik.