Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Adakah Ramadan di Tubuh Kita?

Ramadan ini tentu berbeda dua tahun terakhir--saat manusia dihantui ketakutan akut oleh Covid 19 yang kejam itu.

Editor: Sudirman
abdul karim
Abdul Karim, Majelis Demokrasi & Humaniora 

Oleh: Abdul Karim

Majelis Demokrasi & Humaniora

Ramadan ini tentu berbeda dua tahun terakhir--saat manusia dihantui ketakutan akut oleh Covid-19 yang kejam itu.

Orang-orang dilarang berkerumun (tarwih dan berbuka puasa bersama).

Disaat itu, Ramadan terasa hambar. Kita memang menahan lapar dan dahaga. Tetapi disaat bersamaan, kitapun menahan berjamaah.

Padahal, saripati Ramadan sebagai peristiwa agama dan kebudayaan adalah saat kita berjamaah.

Entah berjamaah tarawih, entah berjamaah buka bersama.

Sebab Ramadan pada dasarnya adalah momentum ibadah yang mengutamakan solidaritas.

Karena itu esensi ramadan adalah penguatan solidaritas kemanusiaan.

Kini, Ramadan bergairah lagi tanpa batas-batas itu, kecuali pejabat publik dilarang keras menggelar buka puasa bersama.

Kini Ramadan tak lagi dibaluti kecemasan virus. Ibadah solidaritas dapat digairahkan lagi.

Barangkali dengan itulah diluar sana, ramadan disambut dengan kegembiraan yang meluap-luap.

Di panggung Medsos misalnya, Ramadan disambut dengan beragam status nitizen, atau dengan pamflet digital disertai foto diri dengan kalimat "selamat memasuki bulan suci ramadan".

Lantas di sini kita disergap sebuah pertanyaan rumit; kitakah yang memasuki Ramadan, atau Ramadan memasuki kita?

"Memasuki Ramadan" berarti ketaatan total pada dimensi hukum Ramadan.

Kita tahu pada ranah itu beragam dimensi. Mulai dari dimensi menahan hasrat seksual, hasrat nafsu amarah, hasrat lapar-dahaga, apalagi hasrat menyakiti sesama.

"Amal yang paling utama dibulan ramadan adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah", kata Nabi SAW menjawab pertanyaan Ali Bin Abi Thalib RA. Maka jagalah diri Anda, tahanlah diri Anda berlaku buruk.

Menahan di sini bukan bermakna menunda dalam ruang dan waktu khusus--lantas usai Ramadan diluapkan kembali.

Tetapi "menahan" di sini adalah sebuah proyek membiasakan diri tak bertindak diluar kadar nilai-nilai kemanusiaan.

"Ramadan memasuki kita" adalah efek dari sebuah proses kehidupan yang senantiasa menegaskan diri bahwa kita hanyalah mahluk dhaif.

Ada keterbatasan yang begitu terbatas pada diri kita. Semenjulang apapun status sosial manusia, ia tetaplah mahluk terbatas.

Lalu apa yang engkau sombongkan dimuka bumi ini? "Ramadan memasuki kita" teridentifikasi dari hilangnya kesombongan itu, keserakahan, kelicikan, kebencian, keakuan, kebengisan, keangkuhan dalam dunia nyata.

Namun rupanya "Ramadan memasuki kita" masih tampak sulit, lantaran di Ramadan selalu saja ada peristiwa yang membuat ummat merintih.

Harga kebutuhan pokok sinambung melambung. Seolah sebagai rutinitas tahunan.

Pasar bergolak ditengah geliat ummat ber-ramadan.

Bila diringkas fenomena itu sebenarnya efek dari sikap kesombongan itu, keserakahan, kelicikan, kebencian, keakuan, kebengisan, dan keangkuhan.

Di tengah Ramadan kini pula, ketenangan ramadan tanpa virus terusik dengan wacana tunda pemilu, tiga periode, hingga kenaikan BBM.

Wacana ini turut memenuhi ruang Medsos kita.

Dan bila itu diringkas pula maka wacana itu bisa ditandai sebagai efek dari sikap kesombongan, keserakahan, kelicikan, kebencian, keakuan, kebengisan, dan keangkuhan.

Untuk terhindar dari semua itu, barangkali hanyalah menyatukan Ramadan dengan diri kita.

Integrasinya mesti dengan meleburkan tubuh secara total pada logika hukum ramadan.

Dengan itulah, penubuhan Ramadan akan terjadi. Lalu, mari kita periksa diri "adakah Ramadan di tubuh kita?"(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved