Kilas Tokyo
Sakura dan Harapan Baru
SEANDAINYA pandemi Covid-19 tidak terjadi dan ditanya kapan waktu paling tepat berwisata ke Tokyo, saya akan menjawab, sekarang!
Muh Zulkifli Mochtar
Doktor alumni Jepang asal Makassar, bermukim di Tokyo
SEANDAINYA pandemi Covid-19 tidak terjadi dan ditanya kapan waktu paling tepat berwisata ke Tokyo, saya akan menjawab, sekarang!
Ya, saat inilah terbaik menurut saya: suhu pas antara 10 - 20 derajat celcius menjelang musim semi.
Musim semi adalah simbol udara mulai menghangat setelah beberapa bulan suhu dingin bahkan hingga minus.
Serasa menghirup udara baru.
Masuk musim semi, jaket tebal berlapis pun bisa ditanggalkan.
Masalah kulit kering bersisik atau bibir pecah disaat musim dingin pun sirna.
Saat saat ini juga menjelang musim sakura.
Bunga yang berwarna putih, merah jambu atau kuning bergantung spesiesnya, bermekaran di seluruh penjuru kota hanya di saat memasuki musim semi.
Mekarnya juga cuma seminggu, setelah itu jatuh berguguran.
Bahkan rontoknya kadang lebih cepat jika hujan lebat atau angin kencang.
Makanya momen mekar ful disebut sebagai ‘mankai’ sangat dinantikan warga.
Bagi masyarakat Jepang, bunga ini adalah ikon dan simbol penting kehidupan.
Musim semi juga simbol berbagai suasana baru seperti wisuda penamatan, tahun ajaran baru sekolah, bulan pertama masuk kerja dan banyak lagi.
Pokoknya sibuk dipenuhi harapan baru.
Piknik dan kumpul kumpul ‘hanami’ barbeque bersama teman atau keluarga menikmati kehangatan udara diteduhi mekarnya sakura seakan sudah keharusan.
Entah mengapa perasaan juga seakan menjadi hangat, ceria dan cerah.
Musim semi dua tahun lalu sedikit berbeda.
Saya ingat betul Maret tahun 2020 tepat saat puncak kekhawatiran penyebaran awal Covid-19 menjadi tema sentral di Jepang.
Virus sudah menyebari China dan Korea, lalu masuk ke Jepang.
Termasuk ratusan kasus terinfeksi di kapal pesiar Diamond Princess di pelabuhan Yokohama.
Event olahraga dan festival besar banyak dibatalkan.
Tokyo Disneyland, Tokyo Disney Sea, dan Universal Studios Japan tutup sementara.
Festival besar bunga sakura di Nakameguro, Sumida Park Sakura Matsuri, Bunga Sakura Chiyoda, dan Hibiya Blossom dibatalkan.
Fenomena unik juga terjadi, bunga sakura yang bermekaran di cuaca hangat musim semi tiba tiba tertutup salju yang turun lebat.
Menurut Badan Metereologi Jepang, udara tekanan rendah selama bulan Maret menurunkan suhu, mengubah hujan menjadi salju.
Ini tidak mengherankan, suhu dan lingkungan banyak berubah drastis di seluruh dunia saat itu.
Polusi udara dan CO2 turun cepat ketika virus Covid-19 menyebar dan mengharuskan sebagian belahan dunia lockdown.
Musim semi tahun lalu, kekhawatiran Covid-19 belum usai. Sudah terjadi tiga kali lonjakan kurva gelombang virus dalam kurun setahun.
Meski demikian, kota sudah tidak sesepi tahun sebelumnya. Kereta, restoran, perkantoran, mall sudah ramai.
Acara olahraga, event dan entertainment sudah digelar lagi meski tanpa penonton.
Pemerintah Jepang yang sejak awal tidak menganut prinsip lockdown, seakan berusaha mencari jalan koridor kecil aman yang bisa dilewati.
Tidak perlu berlari kencang, yang penting tidak stagnan sepenuhnya.
Ekonomi mulai begerak, harapan baru warga dan para pencari kerja mulai bermunculan.
Musim semi kali ini kondisi sudah sangat berbeda dibanding awal pandemi menyebar.
Area Shinjuku, Shinagawa, Tokyo, Ikebukuro sudah dipadati lagi para pekerja.
Porsi berita pandemi makin tergantikan tema lain. Tiga hari lalu daerah Tohoku termasuk Tokyo area terguncang oleh gempa di tengah malam berskala M7.3.
Hingga kini 4 orang meninggal dan ratusan terluka.
Pusat gempa dekat pusat Mega Earthquake Tohoku berkekuatan M9.1 yang memicu tsunami dahsyat Maret sebelas tahun lalu.
Lalu juga ada issue perang Rusia – Ukraina, harga bensin yang menaik dan penurunan nilai mata
uang Yen.
Mekarnya sakura dan musim semi di Jepang tahun ini tetap dipenuhi beragam harapan baru warga, ditengah duka dan berbagai tantangan yang belum selesai.(*)