Klakson
Muadzin
Di negeri ini, “politik-politis” dan “kebijakan” tak pernah terpisah. Ia tak pernah terlerai.
Bukan hanya suaranya yang handal. Akhlaknyapun juga handal. Ia sangat patuh, hormat dan segan pada kalangan tua dikampung itu.
Suatu hari, saat sedang adzan magrib dibelakang mimbar pas samping jendela kaca bening masjid itu--ia melihat seorang lelaki paruh baya yang lewat hendak balik kerumahnya dibelakang masjid.
Pria paruh baya ini adalah salah seorang tokoh yang disegani di kampung itu.
Ketika ia mengumandangkan “haiyalal shoalaaat”--pria yang disegani ini lewat dan pas membalikkan wajahnya ke muadzin handal ini.
“Haiyyalal soalaaah, eh puang” suara si muadzin, seraya membungkukkan badannya.
Melihat itu, pria paruh baya membentak; “apa ini, sementara adzan tapi mengucap kata-kata lain, lanjutkan adzanmu”.
Buru-buru, si muadzin melanjutkan adzannya; “aaa, aaa, aaaaaaaa”.
Si muadzin baru sadar bila sapaannya pada pria paruh baya ini saat adzan tadi terdengar oleh warga melalui Toa ketika salah seorang jamaah menyampaikannya usai solat magrib.
Sungguh ia merasa berdosa.
Begitulah. Semua kejadian itu bermula dari kebijakan sang kepala kampung memerintahkan si marbot berhenti adzan di masjid itu.
Itu artinya, tak semua kebijakan senantiasa membahagiakan penduduk.(*)