Pengeras Suara Masjid
Membandingkan Suara Adzan dengan Gonggongan Anjing?
Pemerintah Mesir sempat melarang penggunaan pengeras suara masjid untuk menyiarkan Sholat Tarawih dan ceramah keagamaan selama bulan suvi Ramadhan
Oleh: Dr H Kaswad Sartono MAg,
Kepala Bidang Penerangan Agama Islam Zakat dan Wakaf Kanwil Kemenag Prov. Sulawesi Selatan/Ketua Tanfidziyah NU Kota Makassar/Pimpinan Pondok Pesantren DDI As-Salman Allakuang Sidrap Sulsel.
TRIBUN-TIMUR.COM -Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki komposisi social kemasyarakatan yang sangat beragam dan majemuk (multikulturalistic), baik aspek agama, aliran kepercayaan, suku, ras, budaya, bahasa dan adat istiadat sebagai wujud kearifan lokal.
Secara naratif, maka Indonesia merupakan bangsa yang memikili potensi, talenta, watak dan karakter yang sangat unik. Keunikan itu dapat dilihat antara lain (a) kuantitas penduduknya besar dan menyebar di 17.000-an pulau, namun kesadaran berbangsa yang ber-Pancasila dan ber-NKRI sangat kuat.
Bahkan dipandang sebagai doktrin harga mati; (b) bangsa ini sangat multicultural dari berbagai aspek keidupan, namun persatuan dan kesatuan kebangsaannya sangat kuat; (c) bangsa ini menganut berabagai agama, aliran kepercayaan, madzhab dan sekte, namun kerukunan umat beragama, moderasi beragama dan toleransinya sangat baik dan harmonis; (d) bangsa ini menganut paham demokrasi yang multipartai, namun warga negaranya senantiasa rukun dan damai dalam bingkai NKRI.
Kenapa talenta dan keunikan bangsa Indonesia tersebut bisa hadir dan lestari dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia? salah satu jawaban dan argumentasinya karena negara senantiasa hadir dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam kehidupan umat beragama.
Kebisingan Pengeras Suara Masjid
Dalam tiga hari terakhir ini, umat beragama di Indonesia kembali disuguhi dinamika pemikiran dan diskusi berbagai tokoh dan kalangan yang pro-kontra (ijabiyat wa salbiyat al-nadhor) atas keluarnya Surat Edaran Menteri Agama (SE Menag) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengaturan Pengeras Suara Masjid dan Musalla. Regulasi ini sejatinya mengandung enam hal penting yaitu (1) Pemasangan dan penggunaan pengaras suara; (2) Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara; (3) Kumandang adzan tetap menggunakan pengeras suara luar; (4) Kegiatan syiar Ramadan, gema takbir Idu Fitri, Idul Adha, dan Uacara Hari Besar Islam; (5) Suara yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya; dan (6) Pembinaan dan pengawasannya.
Regulasi pengaturan pengeras suara ini sesungguhnya bukan barang barang baru, namun sudah 44 tahun silam sudah diatur dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978, namun dalam realitas di lapangan, regulasi ini “tak bergigi” dalam konteks peningkatan kesadaran dan kualitas kerukunan umat beragama, ibarat pepatah Arab “wujuduhu ka ‘adamihi”, adanya sama dengan tidak adanya, tdak memiliki pengaruh yang kuat dalam proses pengelolaan dan pengaturan pengeras suara di masjid, langgar dan mushalla. Sehingga sebagian masyarakat banyak warga yang merasa terganggu akibat “kebisingan” pengeras suara yang belum teratur.
Padahal pengeras suara (toa) seharusnya berfungsi menjadi media dan wasilah keagamaan efektif dalam proses mengantarkan umat Islam menuju kedamaian dan ketenangan secara psikologis dan religiusitasnya, sebagaimana yang diutarakan Dirjen Bimas Islam Prof Kamaruddin Amin dalam dialog di TVOne bersama beberapa tokoh nasional (24/2/2022).
Dalam konteks inilah, kehadiran negara untuk mengatur dan menertibkan pengunaan pengeras suara menjadi sebuah keniscayaan.
Jadi pengaturan pengeras suara, jangan diartikan, jangan diasumsikan bahwa Menteria Agama melarang adzan.
Asumsi yang demikian jelas tidak benar dan kurang bijak karena justru kebijakan Menteri Agama Gus Yaqut adalah sebuah niat baik untuk mendorong kualitas kerukunan umat beragama, moderasi beragama dan toleransi umat semakin baik.
Jika Prof Mahfud MD berpandangan bahwa perbedaan dan pluralitas bangsa Indonesia merupakan anugerah dan kehendak Tuhan yang harus disyukuri.
Maka cara terbaik mensyukuri pluralitas itu adalah senantiasa memelihara persatuan dan ukhuwah kebangsaan kita sebagaimana yang diajarkan al-maghfurlah KH Achmad Shiddiq dengan konsep trilogi ukhuwahnya yakni ukhuwah Islamiyah (Islamic brotherhood), ukhuwah wathoniyah (national brotherhood), dan ukhuwah basyariyah (human brotherhood).
Kebijakan Menteri Agama melalui Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla ini di samping sebagai ikhtiar memperkuat Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978 juga memiliki visi kebangsaan ke depan dalam rangka membangun kerangka kerukunan yang kuat, cara pandang keberagamaan yang moderat, menanamkan nilai-nilai toleransi yang substansial, juga menggagas hadirnya kemaslahatan dan kedamaian bersama.
Pengaturan pengeras suara di masjid dan mushalla sebelumnya juga pernah digagas dan dilontarkan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang juga mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Bapak Jusuf Kalla.
Bahkan di beberpa negara yang mayorits muslim sebagaimana kondisi Indonesia juga telah mengeluarkan kebijaakan pengaturan pengeras suara di masjid misalnya Mesir, Arab Saudi, dan Malaysia.
Pemerintah Mesir sempat melarang penggunaan pengeras suara masjid untuk menyiarkan Sholat Tarawih dan ceramah keagamaan selama bulan suvi Ramadhan 2017.
Kebijakan ini diambil agar umat Islam khusyu’ dan tidak terganggu suara pengeras suara masjid yang tidak diatur secara baik, sehingga menimbulkan kebisingan.
Di Arab Saudi sejak 2015 juga telah mengeluarkan kebijakan mengatur pengeras suara luar masjid kecuali untuk adzan shalat fardhu, sholat Jumat, salat Idul Fitri dan Adha, serta shalat meminta hujan (istisqo’).
Kebijakan di Arab Saudi ini diambil setelah munculnya beragai keluhan dan aspirasi warga mengenai volume pengeras suara masjid yang terlalu keras; Sedangkan di Malaysia, kebijakan pengaturan terhadap pengeras suara diserahkan kepada negara bagian masing-masing guna mewujudkan kemaslahatan dan ketertiban umum.
Jadi pengaturan “kebisingan” pengeras suara (toa) masjid dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan nyaman bersama merupakan ranah pemerintah sesuai prinsip ushul fiqhi tashorruful imam ‘ala al-ro’iyah manuthun bi al-maslahah.
Tidak Pernah Membandingkan
Diberitakan Gus Yaqut menyebutkan bahwa tanpa adanya pengaturan soal kebisingan suara dari pelantang masjid bisa mengganggu orang lain.
“Kita bayangkan, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim, kemudian rumah ibadah mereka membunyikan toa sehari lima kali dengan keras secara bersamaan, itu rasanya bagaimana?” ucap Yaqut di Pekanbaru, Riau (Rabu, 23/2/2022).
Sang Ketum GP Ansor itu selanjutnya memberikan contoh lainnya, yakni gonggongan anjing.
Orang bisa terganggu jika banyak anjing yang menggonggong di waktu bersamaan.
“Contohnya lagi, misalkan tetangga kita, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya, menggonggong di waktu yang bersamaan, kita terganggu tidak? Artinya semua suara-suara harus kita atur agar tidak menjadi gangguan,” tutur Gus Yaqut.
Polemik dan kontoversi atas pernyataan Menteri Agama tersebut, yang kemudian “ditafsirkan” beberapa pihak sebagai “pembandingan antara suara adzan dengan suara gonggongan anjing” adalah tafsiran yang terlalu jauh dan di luar nalar sehat saya.
Tidaklah mungkin seorang Menteri Agama Republik Indonesia membandingkan dua hal yang tidak mungkin dibandingkan.
Suara adzan adalah panggilan suci yang berisi kalimat takbir, kalimat tauhid dan panggilan shalat serta ajakan untuk memperoleh kemenangan dunia akhirat; Sedangkan suara gonggongan anjing adalah suara binatang yang tidak ada manusia biasa yang mengetahui maksud dan tujuannya. Hanya Tuhan dan sesama komunitas anjing saja yang mengetahuinya.
Oleh karena itu, sudah tepatlah apa yang dijelaskan oleh Staf Khusus Menteri Agama H Nuruzzaman, Dirjen Bimas Islam Kemenag Prof Kamaruddin Amin dan Plt Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Dr. Thobib Al Asyhar bahwa Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qaumas tidak pernah membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing. Sedangkan penyebutan contoh itu adalah semata-semata terkait kesamaan “kebisingan” yang dapat mengganggu ketenangan dan keharmonisan umat beragama.(*)