Kemenkumham Sulsel
Kakanwil Kemenkumham Sulsel Hadiri Pembukaan ToT Asesmen 4 Dimensi dan Kebutuhan Narapidana Teroris
Dari 271.997 penghuni yang tersebar di seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia, sebanyak 470 orang adalah narapidana terorisme yang membutuhkan pembinaan
Penulis: Hutami Nur Saputri | Editor: Sukmawati Ibrahim
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sulsel, Harun Sulianto hadiri pembukaan kegiatan Training of Trainer (ToT) Instrumen Asesmen Empat Dimensi dan Kebutuhan Narapidana Teroris di Hotel Novotel Makassar, Senin (21/02/22).
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham bekerja sama dengan United Nations on Drugs and Crime (UNODC).
Kakanwil Kemenkumham Sulsel Harun Sulianto dalam sambutannya mengucapkan selamat datang kepada para peserta yang merupakan pejabat fungsional Pembimbing Kemasyakatan (PK) dari luar Sulsel.
Tak lupa Harun mempromosikan kuliner khas Sulsel yang terkenal lezatnya itu.
“Disini ada Pallumara, Pallubasa, Pallu Kaloa, Juga Coto. Jadi selama 5 hari di Makassar harus mencobanya," kata Harun.
Harun juga mengapresiasi pelaksanaan kegiatan ini karena menggunakan Kurikulum Internasional sehingga diharapkan kepada peserta agar dapat mengikutinya dengan baik.
“Assesmen empat dimensi ini adalah hal yang baru dan harus diikuti dengan baik oleh peserta," ujar Kakanwil Harun.
Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan, Liberti Sitinjak mengatakan bahwa dari 271.997 penghuni Lapas/Rutan di Indonesia, sebanyak 470 narapidana terorisme yang tersebar di seluruh Lapas dan Rutan se-Indonesia.
Untuk itu, kata Sitinjak diperlukan strategi pembinaan narapidana yakni melalui penelitian kemasyarakatan (Litmas) dan assessmen agar mengetahui risiko pengulangan tindak pidana kembali dan memetakan kebutuhan pembinaan narapidana teroris (Napiter) tersebut.
Serta risiko keamanan dan keselamatannya serta untuk melihat perubahan perilaku dan risiko napiter, melalui penilaian dengan instrumen Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN).
Kemudian dilakukan deradikalisasi untuk menangkal dan mengubah paham-paham radikal dan disengagement dilakukan untuk memutuskan pengaruh buruk lingkungan sosial napiter.

Dampak yang diharapkan dari pembinaan narapidana terorisme di Lapas yakni ketidakmampuan meneruskan nilai-nilai yang diyakini, melemahkan partisipasi kelompok, serta hilangnya dukungan komunitas.
"Juga menurunnya tingkat risiko radikalisme dan residivisme sehingga napiter lebih siap dalam proses reintegrasi sosial,” kata Direktur Liberti Sitinjak.
Menurut Sitinjak, bahwa tantangan dalam pembinaan dan pembimbingan napiter yakni pertama, sebagian napiter tidak mau berubah, dan merasa nyaman dengan kehidupan sebelumnya serta memegang kuat ideologinya.
Kedua, sebagian napiter takut akan ancaman kelompok atau jaringannya karena membahayakan keselamatan diri dan keluarganya.