Dulu Gatot Nurmantyo Panglima TNI Dicopot Jokowi hingga Masuk Bursa Capres, Kini Targetnya Beda
Pemberhentian tersebuy ditandai dengan dilantiknya Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI oleh Presiden Joko Widodo.
Nah, pada Pilpres 2024, nama Gatot Nurmantyo kembali disebut oleh sebuah lembaga survei sebagai tokoh yang berpotensi maju.
Berikut rekam jejak Gatot Nurmantyo sebagaimana dirangkum Tribunnews.com dari berbagai sumber:
1. Karier di TNI
Gatot Nurmantyo adalah lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1982 dan berpengalaman di kecabangan infanteri baret hijau Kostrad.
Karier pria kelahiran Tegal 13 Maret 1960 di dunia militer terbilang cukup cemerlang.
Baca juga: Jenderal Andika Perkasa Turun Tangan Pasca 3 Anak Buah Tewas, Panglima TNI Tentukan Nasib KKB Papua
Baca juga: Ingat Agus Suhartono? Perwira TNI AL Pernah Jabat Panglima TNI Sebelum Moeldoko, Kondisinya Beda
Sebelum ditarik ke Jakarta, Gatot Nurmantyo pernah berdinas di Papua menjadi Komandan Kodim 1707/Merauke kemudian Komandan Kodim 1701/Jayapura.
Setelah pindah ke Jakarta, karier Gatot Nurmantyo semakin menanjak.
Ia pernah menjadi Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat (Kodiklat), Panglima Komando Daerah Militer V/Brawijaya, dan Gubernur Akademi Militer.
Kemudian pada 2013, ia diangkat menjadi Panglima Komando Cabang Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) ke-35.
Setahun menjabat Pangkostrad, Gatot Nurmantyo menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) pada 2014–2015.
2. Calon tunggal Panglima TNI
Gatot Nurmantyo (TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN)
Puncaknya, Gatot Nurmantyo dipilih oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon tunggal Panglima TNI.
Nama Gatot diusulkan Jokowi ke DPR pada 9 Juni 2015.
Setelah lolos dalam uji kepatutan dan kelayakan di DPR, Gatot dilantik menjadi Panglima TNI menggantikan Moeldoko yang pensiun pada 1 Agustus 2015.
Gatot Nurmantyo resmi pensiun pada 31 Maret 2018.
Sebelum pensiun, posisinya digantikan oleh Marsekal Hadi Tjahjanto yang saat itu menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Udara.
Gatot Nurmantyo tercatat menjadi prajurit TNI selama 36 tahun sejak 1982.
3. Harta Kekayaan
Berdasarkan LHKPN yang diakses Tribunnews.com, Selasa (29/9/2020) di laman elhkpn.kpk.go.id, harta kekayaan Gatot pada 2018 tercatat sebesar Rp 26,6 miliar.
Harta itu terdiri atas 17 bidang tanah di berbagai tempat.
Selain itu, Gatot juga memiliki tiga mobil serta sejumlah harta lainnya.
Jumlah harta Gatot naik hampir 100 persen dibanding saat awal menjabat sebagai panglima TNI pada 2015 yakni sebesar Rp 13,9 miliar, atau naik sebesar Rp 12,7 miliar.
4. Masuk bursa capres-cawapres di Pilpres 2019
Setelah tak lagi menjadi perwira TNI aktif, nama Gatot santer disebut dalam berbagai lembaga survei calon presiden atau wakil presiden pada Pilpres 2019.
Dikutip dari Kompas.com, hasil survei nasional Poltracking Indonesia sempat menyebut Gatot dinilai oleh publik sebagai figur yang paling tepat mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019.
Selain itu, nama Gatot Nurmantyo juga masuk daftar cawapres mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Namun, saat itu Gatot Nurmantyo secara tak langsung menyiratkan dirinya akan berkiprah di dunia politik.
Puncaknya, Gatot Nurmantyo memastikan dirinya tidak memihak kubu manapun dalam Pilpres 2019.
Baca juga: Ingat Kolonel Ucu Yustiana? Dulu Cegat Jenderal Gatot Nurmantyo di Makam, Nasibnya Setelah 17 Bulan
Baca juga: Jenderal Dudung Bocorkan Isi Pembicaraan AY Nasution dengan Gatot Nurmantyo soal Patung di Kostrad
5. Deklarasikan KAMI
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo (KOMPAS.com/ANDI HARTIK)
Setelah sekian lama tak muncul, kini Gatot Nurmantyo ikut mendeklarasikan KAMI.
Saat deklarasi KAMI, Gatot Nurmantyo mengingatkan ancaman perang proksi atau proxy war di Indonesia.
"Pada tanggal 10 Maret 2014 saya berkesempatan dialog dengan civitas akademika Universitas Indonesia," kata Gatot dikutip dari akun Youtube Realita TV, Selasa (18/8/2020).
"Saya berbicara antara lain tentang proxy war, yang kini telah menjadi ancaman luar biasa terhadap kedaulatan suatu bangsa," lanjut dia.
Ia menegaskan, KAMI merupakan gerakan moral dan bukan ingin berkembang menjadi partai politik.
6. Dianggap jadi 'kuda hitam' di Pilpres 2024
Beberapa waktu lalu, lembaga riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis 15 nama tokoh yang dinilai berpotensi berlaga pada Pilpres 2024.
Dari 15 nama tersebut, ada nama Gatot Nurmantyo yang dianggap menjadi "kuda hitam" atau sosok yang dapat memberikan faktor kejutan.
Namun, pendapat berbeda justru disampaikan Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari yang menilai Gatot belum cukup kuat untuk maju dalam Pilpres 2024.
Menurut Qodari, elektabilitas Gatot Nurmantyo belum cukup kuat jika dihubung-hubungkan dengan Pilpres 2024 mendatang.
Hal itu, kata dia, bisa dilihat pada Pilpres 2019 lalu. Jika memang Gatot kuat, maka sudah pasti dia dipinang oleh partai politik untuk maju pilpres.
Sebut Indonesia saat ini sedang menuju proses kepunahan
Gatot Nurmantyo melayangkan gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan Gatot menyangkut ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Dalam persidangan perkara nomor 70/PUU-XIX/2021 tersebut, Gatot mengaku khawatir dengan nasib Indonesia jika terus menerapkan presidential threshold.
Mengutip pernyataan Bank Dunia, Gatot menyebut bahwa Indonesia saat ini sedang menuju proses kepunahan.
"Yang saya khawatirkan adalah pernyataan dari Bank Dunia, bahwa Indonesia proses menuju kepunahan," kata Gatot dalam sidang yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa (11/1/2022).
Pasalnya menurut Gatot, kebijakan pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden Joko Widodo sejak tahun 2014 sampai sekarang telah memperlihatkan keretakan. Seperti misalnya kelompok masyarakat yang terbelah.
Namun bukannya mempersatukan, kebijakan yang diambil setelahnya justru membuat keretakan tersebut kian menjadi.
"Kebijakan - kebijakan yang diberikan sejak 2014 sudah terjadi keretakan tetapi kebijakan yang ada semakin hari, bukannya merekatkan tapi meretakkan. Ini terlihat, bangsa ini terpecah menjadi dua, dan tidak ada harapan bagaimana suatu negara terbelah dan tidak ada harapan ke depannya," ungkap Gatot.
Berkenaan dengan ini, Gatot menggugat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang selama ini diterapkan, dengan tujuan supaya calon pemimpin di ajang pesta demokrasi tahun 2024 bukan sosok yang itu - itu saja. Di mana hanya diramaikan oleh dua kubu koalisi partai politik.
"Yang kami sampaikan, tujuannya adalah kami ingin menyelamatkan anak - anak kami semuanya dan cucu kita semua di generasi mendatang," pungkas Gatot.
Sebagai informasi, dalam gugatannya, Gatot yang didampingi kuasa hukum Refly Harun menggugat presidential threshold sebesar 20 persen.
Adapun pokok permohonan yang diajukan hanya menyangkut satu pasal, yakni Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi 'Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya'.
Menurut kubu Gatot, Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan tiga pasal pada UU Dasar 1945, yakni Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6a Ayat (2), dan Pasal 6a Ayat (5).
Baca juga: Pakar Hukum Nilai Permohonan Uji Materi Presidential Threshold Nol Persen Mudah Dipatahkan MK
Bunyi dalam tiga pasal UU Dasar dinilai sudah jelas mengatur hak konstitusi kepada partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden sepanjang menjadi peserta pemilihan umum.
Dalam pasal - pasal tersebut, tak ada ketentuan yang mengatakan soal keharusan 20 persen atau harus memenuhi ambang batas tertentu.
"Sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatakan harus 20 persen, atau harus memenuhi ambang batas tertentu. Dan itu sekali lagi sudah merupakan close legal policy yang tidak terkait tata cara, tapi substansi. Untuk itu seharusnya tidak ada yang namanya ambang batas," tegas Refly.
Dalam petitum permohonannya, Gatot meminta Mahkamah Konstitusi untuk:
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. (*)