Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Denny Siregar

Kalau Presidential Threshold 0 Persen, DS: Bukan Berarti Rizal Ramli Otomatis Bisa Mencalonkan Diri

Denny Siregar turut berkomentar terkait Ekonom Rizal Ramli yang getol memperjuangkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Editor: Sakinah Sudin
Kolase Tribun Timur/ Sakinah Sudin
Kolase: Rizal Ramli menolak Presidential Threshold 20 Persen (Istimewa via Twitter @Dennysiregar7) dan Denny Siregar (YouTube CokroTV) 

TRIBUN-TIMUR.COM - Pegiat media sosial Denny Siregar turut berkomentar terkait Ekonom Rizal Ramli yang getol memperjuangkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold di Pemilu 2024.

Menurut Denny Siregar, meskipun Presidential Threshold 0 Persen, bukan berarti Rizal Ramli otomatis bisa mencalonkan diri.

Pasalnya, kata dia, hak mencalonkan Presiden itu ada pada partai.

"Kalaupun Presidential Threshold itu 0 persen, bukan berarti Rizal Ramli otomatis bisa mencalonkan diri. Karena hak mencalonkan Presiden itu ada di PARTAI, bukan di perorangan..

Nanti misalnya dikabulkan, trus demo lagi, tolak MAHAR partai utk jadi Presiden..," tulis Denny Siregar lewat cuitan di akun Twitter @Dennysiregar7, Sabtu (18/12/2021) pukul 1.41 siang, seperti dikutip Tribun-timur.com.

Lebih jauh Denny Siregar menuturkan, seharusnya yang digugat bukan Presidential Threshold 0 persen atau 20 persen, melainkan Undang-undang yang harus diubah.

"Seharusnya yang digugat itu bukan Presidential Threshold 0 persen atau 20 persen. Karena rakyat biasa tetap saja tidak bisa mencalonkan diri jadi Presiden tanpa lewat partai.

Gugatan yang benar harusnya UU diubah supaya ada calon Presiden independen dari jalur non partai..," tulis Denny Siregar, Sabtu, pukul 3.42 sore.

Diketahui, Ekonom Rizal Ramli getol memperjuangkan Presidential Threshold 0 persen.

Menurut Rizal Ramli demokrasi yang kini dianut di Indonesia cenderung sistem otoriter.

"Bukan itu aja, menjadi demokrasi kriminal karena basisnya itu politik uang," kata Rizal Ramli dalam video yang diposting di kanal Youtube Refly Harun berjudul Rizal Ramli: Mau Jadi Presiden? Siapkan Dulu Uang Triliunan!.

Video tersebut yang tayang pada 18 Desember 2021.

"Kenapa? Kalau ingin jadi bupati mesti nyiapin sewa partai, dananya tiga partai. Satu partai kali 20 miliar (rupiah), 60 miliar (rupiah). Gubernur 100 sampai 300 miliar (rupiah), presiden 1,5 triliun (rupiah)," lanjutnya.

"Siapa aja yang bisa punya uang, bisa nyewa partai. Partai ini kan kayak kendaraan doang," jelas Rizal Ramli.

Hal itulah, lanjut Rizal Ramli, yang merusak dan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang disebutnya sebagai KW2, KW3, dan KW4 di berbagai level.

"Bukan cuma KW3, KW4, korupsi pula lagi. Itulah yang merusak, sehingga yang terpilih jadi bupati, gubernur, bahkan Presiden, dia nggak loyal sama rakyat ama bangsanya. Dia loyal kepada bandar dan cukongnya, para oligarki ini," ujarnya.

Rizal Ramli memaparkan sudah berulang kali mengajukan judicial review terhadap Presidential Threshold, namun selalu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

"Saya sendiri tadinya respek ama Mahkamah Konstitusi, tapi saya lihat cara kerjanya, ini malah mahkamah kekuasaan. Kalau gitu ngapain ada Mahkamah Konstitusi, nanti kita bubarin aja Refly," kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli mengatakan dirinya tegas memperjuangkan hak rakyat dalam demokrasi dengan menghilangkan Presidential Threshold.

"Mari kita benahi Indonesia. Kita mulai dengan menghapuskan Presidential Threshold," jelasnya. (*)

SBY Minta Presidential Threshold 0 Persen

Selain Rizal Ramli, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyoroti soal Presidential Threshold.

Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 0 persen di Pemilu 2024.

Sebab tak ada urgensi menetapkan ambang batas pencalonan presiden ketika pemilu dilakukan serentak.

"Dari awal kita sudah bilang kan. Saya, Pak SBY juga sudah bilang masih nol persen. Karena memang enggak ada lagi urgensinya ketika serentak. Bagiamana mengukur itu padahal hasil legislatif itu yang dipakai padahal serentak," ujar Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021).

Terkait hal tersebut, Juru Bicara Partai Demokrat KLB Deli Serdang, Muhammad Rahmad, buka suara.

Rahmad mengaku heran dengan permintaan SBY.

“Kami sangat heran dengan permintaan SBY yang kini menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu menjadi nol persen," kata Rahmad dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Tribunnews.com, Sabtu (18/12/2021).

Menurut Rahmad, tahun 2009, justru SBY yang menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu dinaikkan dari 4 persen menjadi 20 persen.

Tahun 2014, sambungnya, SBY kembali menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu berada di angka 20 persen.

“Perubahan presidential threshold dari 4 persen ke 20 persen ini terjadi pada 2009. Perubahan menjadi 20 persen itu adalah keinginan SBY yang saat itu ingin dipilih lagi menjadi presiden periode kedua. SBY yang kala itu menjadi Presiden, menginstruksikan kepada Partai Demokrat untuk melobi partai-partai koalisi agar mendukung dan menyetujui keinginan SBY itu”.

Menurut Rahmad, pada 2009, Partai Demokrat menguasai kursi di DPR RI sebesar 21,7%.

"SBY ingin kembali maju menjadi Presiden periode kedua dan ingin menghambat calon-calon lain melalui presidential threshold 20 persen. Rencana SBY itu didukung oleh partai koalisi yang menguasai lebih dari 50 persen kursi DPR RI," katanya. 

Ia menjelaskan, Presidential threshold bertujuan membatasi jumlah calon presiden dan calon wakil presiden.

Namun demikian, dengan pembatasan itu masyarakat tetap dimungkinkan untuk mendapatkan empat pasangan calon dalam pilpres.

Pembatasan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden juga untuk menciptakan demokrasi yang tidak berbiaya tinggi.

"Jika Presidential threshold menjadi nol persen, maka pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bisa mencapai 15 pasang. KPU harus membiayai semua biaya kampanye mereka seperti pada pilkada serentak, seperti menyediakan semua alat peraga kampanye dan lain-lain untuk semua calon," katanya.

"Keuangan negara tentu sangat terbebani di tengah kondisi ekonomi kita sedang berjuang menghadapi pandemi Covid 19."

Oleh karena itu, menurutnya, permintaan SBY itu tidak masuk akal dan terkesan tidak konsisten. (Tribun-timur.com/ Sakinah Sudin, Tribunnews.com/ Malvyandie Haryadi)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved