Larantuka
Mengenal Larantuka Pusat Gempa NTT, Wisata Religi di Flores Timur Dijuluki Vatikannya Indonesia
Larantuka dikenal sebagai tujuan wisata rohani bagi umat Katolik, khususnya bagi warga NTT di Ujung Timur Flores.
TRIBUN-TIMUR.COM - Gempa terkini terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (14/12/2021).
Dari informasi BMKG, gempa 7,4 SR terjadi di 113 km Barat Laut Larantuka, NTT.
BMKG pun awalnya mengeluarkan peringatan dini tsunami di daerah NTT.
Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya dimana Larantuka.
Yuk, simak penjelasan berikut:
Mengenal Larantuka
Larantuka adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia dan sekaligus sebagai ibukota dari Kabupaten Flores Timur.
Larantuka dikenal sebagai tujuan wisata rohani bagi umat Katolik, khususnya bagi warga NTT di Ujung Timur Flores.
Kota kecil yang terletak di kaki gunung Mandiri ini, memiliki tradisi peninggalan Portugis.
Luas wilayah Larantuka 75,91 km², dengan jumlah penduduk tahun 2020 sekitar 45.515 jiwa.
Kota Larantuka dijuluki Kota Reinha atau Kota Bunda Maria.

Sebagai 'Vatikan'-nya Indonesia, Larantuka menyajikan wisata dengan nuansa religius, seperti tradisi Semana Santa yang berlangsung setiap tahun.
Perayaan Semana Santa dilakukan selama seminggu penuh di masa Pekan Suci Paskah.
Perayaan warisan Portugis di Larantuka tersebut merupakan ritual yang dilakukan sejak 5 abad lalu.
Makna perayaan menempatkan pusat ritual kepada Yesus dan Bunda Maria sebagai perempuan berkabung (Mater Dolorosa) karena menyaksikan penderitaan anaknya sebelum dan saat disalibkan.
Perayaan Semana Santa dimulai pada Rabu Trewa (Rabu Terbelenggu).
Saat itu umat dan peziarah berkumpul berdoa untuk mengenang Yesus yang dikhianati Yudas Iskariot (murid Yesus).
Sementara itu sejak pagi hari, para perempuan akan menyanyikan ratapan Mazmur dalam bahasa Latin di Kapel.
Pukul 3 sore, secara beruntun umat dan peziarah mengetukkan bunyi-bunyian sambung-menyambung di seluruh Larantuka.
Hal itu menandakan saat memasuki masa berkabung.
Setelah itu, tidak diperkenankan bunyi-bunyian maupun melakukan pekerjaan apapun sehingga Larantuka berubah menjadi kota perkabungan suci.
Rabu sore sebelum Kamis Putih, umat peziarah berdoa dan bergantian melakukan penyembahan “Cium Tuan” di sejumlah situs rohani.
Penyembahan dilakukan d antaranya di Kapel Tuan Ma (Bunda Maria), Kapel Tuan Ana (Tuhan Yesus), dan Kapel Tuan Meninu (patung kanak Yesus) dan Patung Tuan Bediri (patung Yesus berdiri dengan ayam jantan di kanannya).
Ritual itu sebagai wujud permohonan doa kepada Tuhan melalui perantara Bunda Maria.
Sementara itu aktivitas di hari Kamis Putih berpusat di Kapel Tuan Ma (Bunda Maria) dengan memandikan dan membalutkan kain berkabung berupa mantel beludru hitam, ungu atau biru.
Kemudian dilanjutkan pembukaan peti patung Tuan Ana di kapel Tuan Ana.
Puncak Acara dilakukan saat Hari Raya Wafat Isa Almasih atau Jumat Agung.
Diawali perarakan bahari membawa patung Tuan Meninu, yaitu melawan arus laut Selat Gonzalo dan menahtakannya di Pohon Sirih.
Perarakan dilakukan untuk mengenang sengsara dan wafat Yesus.

Umat mengarak Tuan Ma, Tuan Ana, dan Tuan Meninu keliling kota menuju Katedral Larantuka.
Saat perarakan, umat melantukan pujian, dan terdapat delapan pemberhentian yang disebut dengan armida.
Armida mewakili kedelapan situs rohani sebagai simbol kehidupan Yesus, sejak di kandungan Maria hingga wafatnya di dunia.
Kota 1000 kapel
Larantuka juga disebut sebagai kota 1000 kapel lantaran memiliki banyak kapel cantik dengan bentuk bangunan ala Portugis.
Kota ini menjadi incaran para wisatawan karena terdapat tradisi-tradisi peringatan kematian dan kebangkitan Yesus yang tidak dimiliki kota lain.
Setiap tahunnya, banyak wisatawan asing dari berbagai negara yang mengunjungi Larantuka untuk mengikuti wisata rohani peninggalan sejarah umat Kristen Katolik.
Di Larantuka juga terdapat sebuah rumah tua khas Belanda yang bisa disebut Istana Raja Larantuka.
Menurut sejarah, bangunan itu didirikan pada tahun 1887 oleh Raja Don Lorenso DVG.
Menariknya, hampir semua bangunan kayu, lantai, pintu, dan kaca masih tampak asli meskipun telah beberapa kali direnovasi.
Tak jauh dari bangunan ini, terdapat sebuah altar yang digunakan sebagai tempat untuk meletakan sajian adat.(*)