Opini Tribun Timur
Agresivitas 'Mata Uang' Digital
Siapa yang mengontrol keuangan dunia? pemerintah atau swasta melalui pasar? Kehadiran Bitcoin sebagai mata uang / aset digital
Cryptocurrency ibarat anak yang tidak diharapkan lahir oleh komunitas keuangan internasional yang sudah asik menikmati manfaat atas kontrol keuangan global.
Cerita horor di awal kemunculan Bitcoin, yang memaksa kepolisian Federal AS memeriksa siapapun yang namanya ada Satosi, Nakamoto.
Bitcoin sebagai antitesa dari uang fiat, bukan kali pertama mata uang Bank Sentral menghadapai kritikan.
Ekonomi liberal, khususnya mazhab Austria telah lama mengkritik kompetensi dan keandalan Bank sentral mengendalikan dan mengatur peredaran uang (Hayek, 1990).
Berdasarkan data Statista (2021) jumlah kripto meningkat sangat signifikan.
Secara rata-rata setiap tahun meningkat ribuan persen. Periode 2013 (1) sampai dengan 2021(8) jumlah cryptocurerncy meningkat sebesar 8445 persen, atau setara 5574 kripto.
Kenaikan tertinggi pada bulan Juli 2021, meningkat sebanyak 5978 kripto atau setara dengan 9058 persen.
Penurunan pada bulan agustus 2021, biasanya terjadi karena beberapa Cryptocurrency tidak terdaftar lagi di pasar crypto atau exchanger, atau biasa disebut dengan delisting.
BI belum menjelaskan model desentralisasi bagaimana yang akan diterapkan dalam mengadopsi CDBC, tantangan asrsitektur, model, dan sinkronisasi kelembagaan akan menjadi tantangan yang berat.
Perry Warjiyo (Gubernur BI, 2020) mengemukakan ada tiga tantangan menerbitkan Rupiah Digital. Pertama, mendesain mata uang digital agar dapat diterbitkan, diedarkan, dan dapat dikontrol oleh otoritas negara.
Kedua, mengintegrasikan antara infrastruktur sistem pembayaran dengan pasar keuangan. Ketiga, perkara pemilihan platform digital di mana uang digital akan diterbitkan.
Apakah pilihannya hanya dua, adaptasi atau punah? Tentu tidak. Ada 3 model CBDC, Model Pertama, indirect CBDC di mana tagihan (claim) dilakukan ke perantara (bank komersial), sementara bank sentral hanya melakukan pembayaran ke bank komersial.
Kedua, direct CBDC di mana tagihan dilakukan langsung ke bank sentral. Serta ketiga, hybrid CBDC di mana tagihan dilakukan ke bank sentral, tetapi bank komersial yang melakukan pembayaran.
Model dan desain manakah yang akan diadopsi dalam ‘Rupiah Digital’? Mungkin paradigma yang ditempuh adalah, penyelamatan model eksosistem perbankan, yang selama ‘happy’ dengan sistem kontrol terpusat.
Cryptocurrency hadir dengan tawaran desentralisasi mata uang. Ini bukan konflik terbuka, hanya proses evolusi saja. Nikmatilah agresivitasnya. Wassalam.(*)
Tulisan ini juga diterbitkan pada harian Tribun Timur edisi, Rabu (01/12/2021).