Kasus Penembakan Polisi ke Warga Sipil Belum Tuntas, LBH dan Kontras Atensi Irjen Pol Nana Sudjana
LBH bersama Kontras meminta Kapolda Sulsel yang baru Irjen Pol Nana Sudjana menuntaskan kasus penembakan warga sipil yang belum tuntas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Empat kasus penembakan yang berujung kematian diduga melibatkan polisi harus menjadi atensi Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Selatan yang baru, Irjen Pol Nana Sudjana.
Hal itu disuarakan Koalisi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dengan Kontras Sulawesi saat menggelar konferensi pers, di kantor LBH Makassar, Jl Nikel, Rabu (17/11/2021) siang.
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, Andi Haerul Karim, mengatakan, beberapa tahun terakhir, pihaknya bersama Kontras Sulawesi menghimpun sekitar empat kasus penyiksaan dan pembunuhan diluar proses hukum (extrajudicial killing).
Terduga pelaku ke empat kasus itu, kata dia, adalah oknum anggota kepolisian di jajaran Polda Sulsel.
Kasus tersebut diantaranya, kematian Agung di Makassar pada Tahun 2016, kematian Sugianto di Bantaeng pada Tahun 2019.
Kasus penembakan Jl Barukang, Makassar, yang mengakibatkan orang mengalami luka (Amar dan Ikbal) dan seorang meninggal (Anjasasmara) pada Tahun 2020.
Serta kasus kematian Kaharuddin di Makassar pada Tahun 2019.
"Kasus-kasus ini telah didampingi bersama serta telah berproses hukum di Polda Sulsel, dan telah menjadi sorotan publik," ucap Andi Haerul Karim.
Keempat kasus itu lanjut Haerul, dilaporkan dengan dugaan polisi sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan saat menjalankan tugas dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
"Tindakan tersebut dianggap melanggar pasal 351 ayat 3, 170 hingga 340 KUHP yang tindakannya dianggap sengaja melakukan tindakan kekerasan baik sendiri maupun bersama-sama berakibat hilangnya nyawa seseorang," ujarnya.
Dari empat kasus itu, tiga kasus dilaporkan dan sudah berproses hukum lebih dari satu tahun di Polda Sulsel.
"Diantaranya, kasus Agung ditetapkan lima tersangka, penembakan Anjasasmara belum ada tersangka dan kasus kaharuddin juga belum ada tersangka," bebernya.
Namun, proses yang terkesan lama oleh Polda Sulsel, lanjut Haerul, pada tahun 2021 akhirnya dinyatakan diberhentikan proses penyidikan dan penyelidikannya.
Hal itu berlandaskan pada putusan praperadilan pada kasus Agung, penerapan restoratif justice pada kasus Anjasasmara.
Dan menyatakan tidak cukup bukti pada kasus Kaharuddin, dengan alasan bahwa kelurga menolak autopsi yang diketahui keterangannya diduga dipalsukan oleh pihak kepolisian.
Sedangkan untuk kasus Sugianto di Polres Bantaeng, hingga saat ini belum diketahui perkembangannya.
"Dilihat dari pola penanganan pihak Polda Sulsel terhadap anggotanya yang diduga kuat melakukan kekerasan dan atau penyiksaan mengindikasikan bahwa pihak Polda Sulsel dinilai terkesan “melindungi citra” institusinya," ungkap Haerul.(cr8)
Melindungi Citra Institusi
Indikasi 'melindungi citra' insitusi itu, lanjut dia, terlihat dengan berupaya untuk melakukan penghentian proses hukum terhadap pelaku dengan berbagai modus.
Mulai dari upaya mendamaikan pelaku dan korban dengan memberikan uang, mengulur-ngulur waktu dan mendiamkan laporan korban (undue delay), adanya dugaan pemalsuan keterangan penolakan autopsi pada kasus kematian Kaharuddin, dan menerapkan Restorative Justice pada kasus Anjasasmara.
Upaya-upaya dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangangan, bahkan di internal kepolisian itu sendiri.
"Berdasar uraian kasus diatas, kami menilai bahwa upaya penghentian penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian merupakan upaya untuk melanggengkan impunitas dalam kekerasan polisi," ucapnya.
Tuntutan LBH-Kontras:
-Mencabut surat penetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dugaan kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang mengakibatkan kematian terhadap Agung Pranata, Anjasasmara, dan Kaharuddin.
-Melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan kasus Agung Pranata, Anjasasmara, Kaharuddin dan Sugianto.
-Memberikan atensi khusus dalam proses penegakan hukum untuk kasus aparat kepolisian sebagai terduga pelaku kejahatan.
-Menuntut Polda Sulsel untuk memastikan anggotanya mengmplementasikan Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajeemen Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai HAM
-Menghentikan segala bentuk impunitas dengan melaksakaan reformasi kultural internal kepolisian pada lingkup Polda Sulsel.(*)