Opini Tribun Timur
Penerapan Azas Hukum Ultra Petita dalam Memutus Perkara Korupsi
”Menurut istilah Ultra Petita berasal dari kata Ultra yakni Lebih, Melampaui, Ekstrim sekali dan Petita adalah Permohonan.
Oleh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa jadi, rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dalam hal terdakwa didakwa dengan pasal alternatif.
Maka pasal mana yang terbukti dalam persidangan didasarkan pada penilaian pengadilan pemutusan pemidanaan secara normative tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya bahwa putusan pemidanaan (veroordeling) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut dapat terjadi jika, dari hasil pemeriksaan di depan persidangan, Majelis hakim berpendapat bahwa:
a. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
b. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan lingkup tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
c. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta di persidangan sesuai Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP.
Kebebasan dan Independensi Hakim dalam Memutus Perkara menyimpulan KUHAP tidak mengatur bahwa putusan pemidanaan harus sesuai atau di bawah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Dalam kasus tertentu dimana ditemukan fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan jaksa, maka hukuman itu tidaklah melanggar hukum acara pidana.
Merupakan kewenangan daripada hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dirasa adil dan rasional.
Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan batasan maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan.
Hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang.
Meskipun ada kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan. Batasan-batasan dimaksud antara lain:
1. Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. misalnya, pasal dalam KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun
2. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya tidak ada acuannya dalam KUHP, atau peraturan pidana di luar KUHP.