Perjanjian Bongaya
Gegara Perjanjian Bongaya, 2 Kerajaan Besar di Sulawesi Ini Runtuh, Isinya Monopoli VOC di Makassar
Inilah Isi Perjanjian Bongaya yang Jadi Alat Berlakunya Monopoli VOC di Bumi Makassar, Dua Kerajaan di Sulawesi Ini Tumbang Karena Berani Menentangnya
TRIBUN-TIMUR.COM - Dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan ini tumbang karena Perjanjian Bongaya.
Perjanjian Bongaya adalah perjanjian yang disepakati oleh Kesultanan Gowa, Kesultanan Tallo (Makassar), dengan VOC yakni Belanda.
Isi Perjanjian Bongaya, awalnya adalah perjanjian damai Kerajaan Gowa dengan Belanda, tapi isinya monopoli VOC di Bumi Makassar.
Sebelumnya, kedua pihak terlibat perang, karena VOC berang dengan Kesultanan Gowa terutama pimpinan Sultan Hassanudin (1653 - 1969).
Namun pertempuran itu menyebabkan pemerintahan Sultan Hasanuddin berakhir, sehingga Kesultanan Gowa runtuh.
Kesultanan Gowa memiliki kekuatan militer mumpuni, juga kekuatan ekonomi perdagangan yang sangat kuat.
Ia memiliki pelabuhan perdagangan internasional yang berada di Somba Opu (pesisir Sulawesi Selatan).
Kerajaan Gowa juga menjadi pusat perekonomian para pedagang baik domestik, maupun pedagang asing.
Ini membuat VOC khawatir kehilangan pengaruhnya di wilayah Makassar, karena aktivitas perdagangannya bertumpu pada monopoli rempah-rempah.
Konflik kepentingan terjadi di antara Kerajaan Gowa sebagai produsen rempah dan VOC sebagai pelaku monopoli rempah di kawasan timur Hindia.
VOC juga memblokade kapal-kapal yang berlabuh di Somba Opu yang semakin memancing perlawanan Kesultanan Gowa.
Perang tak lagi bisa terelakkan.
Kesultanan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin maju menghadapi pasukan VOC dengan didukung kekuatan yang dimilikinya.
Sultan Hasanuddin memperkuat pasukan dengan memerintahkan kerajaan bawahan di Nusa Tenggara untuk mengirimkan prajuritnya.
Sayangnya, VOC juga punya strateginya sendiri, salah satunya dengan menggalang bantuan dari Kesultanan Bone yang dipimpin Arung Palakka.
Arung Palakka menerima permintaan dari VOC dengan alasan ingin membalas kekalahannya atas Gowa-Tallo dan merebut kembali kemerdekaan Bone.
Akhirnya, Kesultanan Gowa harus menghadapi dua kekuatan tersebut sekitar tahun 1660.
Ketika tidak sanggup lagi melawan, Kesultanan Gowa sepakat untuk menandatangani isi Perjanjian Bongaya.
Meskipun disebut perjanjian damai, kenyataannya perjanjian Bongaya menjadi alat pengesah monopoli perdagangan VOC di Makassar.
Isinya tidak jauh dari penguatan pengaruh VOC di Makassar, yang termasuk juga memaksa Makassar mengaku monopoli VOC.
Saat itu Makassar dikuasai oleh Kesultanan Gowa.
Kemudian Makassar dipersempit hingga sampai Gowa saja, dan Gowa dibuat tertutup bagi orang asing selain VOC.
Perjanjian Bongaya juga mengatur Kerajaan Gowa untuk membayar ganti rugi atas peperangan yang telah terjadi sebelumnya,
kemudian benteng-benteng yang ada harus dihancurkan semua kecuali Benteng Rotterdam.
Sebagai pihak yang membantu VOC bertempur melawan Kesultanan Gowa, Arung Palakka juga mendapatkan keuntungan dari perjanjian ini.
Disepakati bahwa Sultan Hasanuddin harus mengakui Arung Palakka sebagai Raja Bone.
Perlawanan sempat dilancarkan kembali oleh Sultan Hasanuddin, tapi VOC kembali bisa mengalahkannya.
Memakan Korban
Pada 12 Juni 1669, Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda.
Sementara Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Selain menjadi awal keruntuhan Kesultanan Gowa, Perjanjian Bongaya rupanya memakan korban selanjutnya, yaitu Kerajaan Bone.
Keruntuhan Kerajaan Bone berawal dari keinginan Raja Bone, Arung Datu (1823-1835 M) untuk merevisi perjanjian tersebut.
Meski telah membantu VOC melawan Sultan Hasanuddin, ternyata Kerajaan Bone tidak selamanya menjadi sekutu VOC.
Bone menjadi kerajaan terkuat di Sulawesi segera setelah Kesultanan Gowa jatuh.
Yaitu ketika Kerajaan Bone dipimpin oleh Arung Palakka, Sultan ke-15 yang bertahta antara 1672 - 1696 M.
Namun karena VOC yang membuat Arung Palakka berhasil berkuasa, Bone tetap di bawah bayang-bayang Belanda.
Dan kemudian mengalami kemunduran saat sultannya, Sultan Ismail Muhtajuddin sebagai raja ke-24, wafat pada 1823 M.
Setelah itu, kekuasaan dilanjutkan oleh Arung Datu (1823-1835 M).
Ketika berusaha merevisi isi Perjanjian Bongaya, Arung Datu yang pro-rakyat akhirnya memicu kemarahan Belanda.
Belanda pun meluncurkan serangan hingga berhasil menduduki Kerajaan Bone, sementara Arung Datu diasingkan.
Dalam pengasingan, Arung Datu masih berupaya menyerang, tetapi usahanya selalu dapat ditumpas pasukan Belanda. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Inilah Isi Perjanjian Bongaya yang Jadi Alat Berlakunya Monopoli VOC di Bumi Makassar, Dua Kerajaan di Sulawesi Ini Tumbang Karena Berani Menentangnya