Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Makassar

Tanggapan AJI & LBH Makassar Soal Ibu 3 Anak Korban Rudapaksa di Luwu Timur Dilapor Balik ke Polda

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menanggapi kasus pelaporan terhadap narasumber yang memberikan pernyataan di media Project Multatuli.

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Sudirman
ist
Kantor LBH Makassar. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menanggapi kasus pelaporan terhadap narasumber yang memberikan pernyataan di media Project Multatuli.

Laporan itu dilayangkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan, Sabtu, kemarin.

 Pelapor S, melaporkan Lydia (bukan nama sebenarnya) dengan aduan dugaan adanya tindak pidana pencemaran nama baik melalui ITE.

Aduannya, pelapor mengaku keberatan dengan pernyataan Lydia di laporan investigasi Project Multatuli.

Tulisan yang belakangan viral dengan judul berita, "Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.”

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Nurdin Amir menilai laporan tersebut merupakan ancaman kriminalisasi pada narasumber sebuah berita.

"Jika kriminalisasi narasumber terus-menerus terjadi, maka hal ini akan menimbulkan chilling effect," kata Nurdin Amir dalam siaran pers, Minggu (17/10/2021) siang.

Efek kriminalisasi tersebut, kata dia berdampak terhadap hak masyarakat mendapatkan informasi.

Sebab, narasumber menjadi takut berbicara di media dan kemudian informasi publik menjadi terabaikan.

"Pelaporan narasumber Project Multatuli tidak tepat, dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers," ujar Nurdin Amir 

"Ketika narasumber dipidana, artinya membunuh pers itu sendiri. Pelaporan ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi," sambungnya.

 Menurut Nurdin, payung hukum UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang mengatur soal pers memang dihadirkan untuk melindungi kebebasan pers.

Sebab, kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang diatur dalam Undang-undang Dasar pasal 28E.

"Payung hukum pers yang dipakai untuk melindungi narasumber merupakan poin penting," jelasnya.

Pasalnya, lanjut Nurdin, narasumber dan pers merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan.

"Kriminalisasi terhadap narasumber adalah serangan kepada pers, serangan terhadap kebebasan berpendapat," bebernya.

Jika narasumber Project Multatuli berlanjut di ranah kepolisian, maka akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. 

"Kami mendesak pihak penyidik Dit Reskrimsus Polda Sulsel tidak semestinya menerima laporan sengketa pemberitaan yang menjadi ranah Dewan Pers," harap Nurdin.

"Kasus ini tidak bisa dibiarkan, karena akan berdampak kepada narasumber lain untuk hati-hati atau membatasi bicara kepada media," tegasnya.

Sementara itu, Advokat Publik YLBHI-LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa menilai pelaporan narasumber ke polisi itu salah alamat.

Karena yang dilaporkan adalah produk jurnalistik yang dilindungi UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Menurut Azis, jika keberatan terhadap produk jurnalistik, maka harus menempuh langkah-langkah sesuai koridor jurnalistik.

Seperti, melalui permintaan hak jawab atau hak koreksi, atau penyelesaian lewat mekanisme di Dewan Pers. 

"Pelaporan narasumber dan penyelesaian sengketa pers harus ke Dewan Pers, bukan ke pidana,” kata Azis Dumpa.

Azis menegaskan, pihak kepolisian yang menerima laporan harus mengarahkan pelapor untuk melakukan langkah-langkah itu.

Hal itu tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 02/DP/MoU/II/2017.

Tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. 

 "Di pasal 4 (Nota Kesepahaman) menegaskan, pihak kepolisian harus mengarahkan kasus yang dilaporkan ke polisi agar diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu," ungkap Azis.

Dalam undang-undang pers, lanjut Azis, narasumber justru harus dilindungi. Hal tersebut terlihat pada keberadaan hak tolak di media.

Indonesia berada dalam situasi darurat kekerasan seksual.

Kriminalisasi terhadap korban atau keluarga korban kekerasan seksual, akan membuat kasus ini sulit terungkap ke publik.

Institusi kepolisian seharusnya melindungi korban maupun keluarganya.

Sebelumnya diberitakan, Terlapor dugaan rudapaksa tiga anak di Luwu Timur, S (45) mendatangi Mapolda Sulsel, Sabtu (16/10/2021) sore.

Kantor kepolisian yang berlokasi di Jl Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.

S datang didampingi kuasa hukumnya, Agus Melas.

Bukan untuk menjalani pemeriksaan atas laporan yang dialamatkan ke dirinya.

Melainkan, juga untuk melaporkan sang mantan istri RS, atas dugaan pencemaran nama baik.

Pasalnya, S tidak terima dirinya dituduh dan dilaporkan sebagai pelaku rudapaksa.

Terlebih korbannya adalah anak kandungnya sendiri.

Dan tuduhan itu, tersebar luas di media sosial.

Melalui tulisan artikel 'Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan'

Yang diterbitkan link 'projectmultatuli'.

Dalam tulisan yang viral itu, RS menjadi narasumber atau pelapor yang menceritakan kisah pilunya.

Kisah pilu yang dianggap oleh S telah selesai lantaran penyelidikannya telah dihentikan.

Namun, diungkap kembali oleh RS atau sang mantan istri dan membuat S dan keluarganya terusik.

"Oleh karena keluarga besar dari klien kami (S) merasa terganggu, sehingga kami melaporkan, mencari keadilan di Polda Sulsel," kata Kuasa Hukum S, Agus Melas ditemui sejumlah wartawan.

Dalam laporannya, lanjut Agus Melas, pihaknya melaporkan RS mantan istri S dan sebuah website.

"Bukan media ya, tapi salah satu website yang didalamnya ada tulisan yang mengurangi tentang itu (dugaan rudapaksa) seolah-olah bahwa tindak pidana pencabulan itu sudah terjadi," bebernya.

Pihaknya mengaku, juga menyertakan bukti screenshot unggahan di beberapa kanal media sosial.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved