KISAH 6 TELADAN BANGSA
Jenderal Polisi Ini Pajang 6 Tokoh Bangsa asal Sulawesi di Ruang Kerja, Siapa dan Kenapa Mereka?
Ke-6 tokoh itu Syeikh Yusuf(1666-1699), AGH Thahir Imam Lapeo(1839-1952), Jend M Jusuf(1928-2004), Baharuddin Lopa(1935-2001), Jusuf Kalla.
MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM — Menjadi tokoh bangsa bereputasi nasional dan atau internasional tak diraih sekonyong-konyong.
Mencapai predikat itu harus dipersiapkan.
Tekun belajar, disiplin, berintegritas, mengabdi dan senantiasa dekat dengan yang Maha Kuasa.
“Itulah kenapa saya pasang foto enam tokoh bangsa asal Sulawesi dan Indonesia timur ini di ruang kerja saya,” kata Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Syafruddin Kambo (60), kepada Tribun, Jumat (7/10/2021).
Enam tokoh bangsa itu adalah Syeikh Yusuf Al Makassary (1666-1699), Anre Gurutta Haji Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839-1952), Jenderal M Jusuf (1928-2004), Baharuddin Lopa (1935-2001), Prof Dr Ing BJ Habibie (1936-2009), dan terakhir M Jusuf Kalla (lahir 1942).
Foto keenam tokoh bangsa itu dipajang Syafruddin di ruang kerjanya, Jl Jenggala 1 No 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Lima dari dari enam tokoh itu telah wafat.
Tanggal 15 Mei 2022 nanti, Jusuf Kalla berulang tahun ke-80.
Kalla masih aktif sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) dan Ketua Umum PP Dewan Masjid Indonesia.
Dua diantaranya adalah pejuang era kolonialisme dan penganjur ajaran Islam rahmatan lil aalamin.
Allamah waliullah Syeikh Yusuf atau Tuanta’ Salamaka berjuang saat Indonesia belum jadi negara.
Sementara AGH Muh Thahir Imam Lapeo, berjuang di awal era kolonial Belanda, dan perang merebut kemerdekaan.
Jenderal M Jusuf adalah pejuang masa revolusi dan saksi sejarah lahirnya Orde Baru. Sementara Baharuddin Lopa, legenda penegakan hukum.
BJ Habibie adalah menteri teknologi terlama Indonesia dan wapres serta presiden pertama Indonesia dari luar pulau Jawa.
Sedangkan Jusuf Kalla adalah juru damai level internasional dan wapres pertama di Indonesia yang bekerja bersama dua presiden berbeda, Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dan Joko Widodo (2014-2019).
Sejarah, perjuangan dan pengalaman hidup keenam tokoh itu laik jadi teladan bagi generasi kini dan mendatang.
Inilah yang mengkonfirmasikan mengapa Wakapolri 2016-2018 dan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB, 2018-2019) ini meminta tiap tamunya yang asal Sulawesi berfoto dengan latar belakang enam tokoh itu.
Dalam video yang diterima Tribun-Timur.com, Sabtu (8/10/2021), Syafuddin berurut merinci ringkasan jasa dan peran keenam tokoh idolanya.
Siapa saja dan kenapa Mereka?
1. SYEKH YUSUF AL MAKASSARI (1626-1699) Gelar Pahlawan Nasional dari 2 Negara Berbeda
REPRO_Syeikh Yusuf Al Makassary Tuanta Salamaka (1666-1699)
INDONESIA sebagai negara dan kata belum ada saat Syekh Yusuf Al-Makassari berjuang dan menyebarkan Islam di Nusantara, semenanjung selatan Asia di Colombo, Srilanka, hingga ke Afrika Selatan.
Syekh Yusuf hanya sekitar 21 tahun belajar dan mengabdi di negeri kelahirannya di Gowa, Makassar dan Tallo.
Sekitar 42 tahun sisa hidupnya dihabiskan membantu perjuangan menghapus perbudakan di luar tanah tumpah darahnya.
Kerja dan jasanya dikenang di enam kota besar, dan tiga negara.
Namanya tercatat dalam dokumen sejarah di Gowa, Makassar, Cirebon, Banten, Batavia (Jakarta), Cylon (Colombo) Sri Lanka, Cape Town Afrika Selatan.
Inilah tokoh pejuang dan waliullah yang makamnya diklaim di tiga tempat penyebaran Islam di Nusantara.
Pertama di Katangka Gowa, (tanah kelahirannya), kedua Banten tempatnya berjuang dan berdakwah, dan ketiga diangkat jadi pahlawan nasional oleh pemerintah Afrika Selatan.
Perihal resputasi Syekh Yusuf belum ada duanya di Nusantara.
Dia mendapat gelar pahlawan nasional di dua negara dan benua.
Di Afrika Selatan, benua Afrika, ia gelar pahlawan nasional anumerta Ordo Sahabat Oliver R. Thambo dalam pelakat emas. Anugerah itu, tanggal 27 September 2005.
Allamah dianggap berkontribusi ikut menghapus kolonialisme dan meletakkan dasar penolakan politik apartheid di Afrika, dengan pendekatan damai.
Apartheid adalah gabungan dari kata apart memisahkan, heid sistem atau hukum). Ini adalah sistem hukum yang pemisahan ras yang diterapkan pemerintah kulit putih kepada warga kulih hitam di Afrika Selatan.
Ini adalah sistem hukum peninggalan 500 tahun kolonoalisme.
Gelar anumerta itu disematkan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki kepada ahli warisnya dari Makassar.
Wapres Jusuf Kalla menyaksikan seremoni itu di Pretoria, Afrika Selatan.
Di Indonesia, jejak kepahlawanan resmi diakui di puncak kekuasaan Orde Baru, pada 7 Agustus 1995.
Melalui Keputusan Presiden (Kepres, Soeharto) No. 071/TK/1995, ia dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sekampung dan kerabat dari ibunya, Sultan Hasanuddin (1631-1670) —Raja ke-16 Gowa —, lebih dulu mendapat gelar ini.
Sang Sultan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional merujuk Keputusan Presiden No 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.
Gelar pahlawan nasional diteken Soeharto, setahun setelah kunjungan kenegaraan Presiden Afsel (1994-1999), Nelson Mandela ke Jakarta.
Dalam kunjungan itu, reputasi internasional dan jasa Syekh Yusuf di Cape Town, jadi alat diplomasi Mandela dengan Soeharto.
Di pertemuan itu, Mandelamenyatakan ke Soeharto bahwa Syekh Jusuf sebagai adalah 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.
Ia merintis ajaran dengan peran awal mengajarkan prinsip anti-apartheid, menolak perbudakan atau kesetaraan manusia dalam ajaran Islam.
Di Afrika Syekh Yusuf dikenal dengan Abadin Tadia Tjoessoep.
Manuskrip dan arsip nasional di Cape Town menggunakan nama Sheikh Joseph.
Sejarawan Afrika Selatan, Mahomed Ebrahim Mahida, dalam bukunya History of Muslims in South Africa: A Chronology (2010), mengkonfirmasikan peran perjuangan kesetaraan kemanusiaan Syekh Yusuf di semenanjung Afrika itu.
Dikisahkan, di usia 59 tahun, sebelum datang ke Cape Town, Syekh Yusuf diterungku di benteng Batavia.
Gubernur Hindia Belanda Jenderal Cornelis Speelman (1681-1684) khawatir pengaruh Syekh Yusuf di Gowa, bisa memperuncing sentimen kebencian rakyat Gowa dan Tallo
Di Batavia dan Banten, awalnya Syekh Yusuf hanya berdakwah. Namun belakangan terang-terangan justru ikut memperkuat pasukan Sultan Agung Tirtayasa untuk melawan Belanda.
Sekitar 5 tahun dalam pengawasan tentara VOC di Batavia, Syekh Yusuf pun diasingkan ke Ceylon, kota tua di Sri Lanka.
Speelman curiga, di Batavia, Syekh Yusuf bisa melarikan diri.
Setelah pelayaran kurang lebih sebulan, Syekh Yusuf transit di Cylone, Srilanka.
Di dekat kota Colombo ini dia kembalisempat berdakwah dan menyemangati warga setempat membantu perjuangan melawan kolonial di Sri Lanka.
Di negara pulau itu pulalah, kabar kampungnya dan Banten diperoleh dari awak kapal dagang dan para calon jamaah haji dari Jawa dan Makassar.
Ini jugalah kenapa korespondensinya ke Raja Gowa dan Raja Banten tetap terjaga.
Tanggal 27 Juni 1693, Syekh Yusuf diasingkan lagi ke Cape Town, koloni Belanda di Afrika.
Dengan kapal Voetboeg, Syeikh Yusuf berlayar bersama Ikut bersamanya 49 loyalis dari Gowa dan Banten.
Pengikut setianya ini kebanyakan dari Makassar dan Banten.
Dalam rombongan termasuk dua istri, dua selir, dan 12 anak.
Kapal Voetboeng berlabuh di Cape Town, 2 April 1694.
Atas perintah Gubernur Jenderal Belanda di Afrika, Simon van der Stel, rombongan "tahanan pengasingan" ini di HindiaAfrika, Syekh Yusuf ditempatkan di Zandvliet.
Ini adalah perkebunan anggur, kapas dan kopi. Kotanya berjarak sekitar 210 km sebelah timur Cape Town.
Motif penempatan Syekh di pedalaman sebagai upaya meminimalkan pengaruhnya pada budak Dutch East Indian Company, semacam BUMN kerajaan Belanda di Afrika.
Namun rencana Simon van der Stel berantakan.
Di mata Yusuf, kolonialisme selalu punya masalah dengan kebenaran dan kejujuran.
Motif kolonialisme adalah penyingkiran tokoh berpengaruh untuk mengeruk sumber daya alam.
Melalui pendekatan dakwah, perilaku, dan ajaran tasawwuf yang menyentuh hati, di Zandvliet, p. Di Zandvliet, pemukiman Yusuf justru jadi suaka dan belajar segera menjadi tempat perlindungan para budak.
Dan di sinilah komunitas Islam kohesif dan moderat pertama di Afrika Selatan berkembang dan meluas didirikan.
“Dari sini pesan Islam disebarluaskan ke komunitas budak Cape Town,” tulis Mansoor Jaffer dalam bukunya, “Guide to the Kramats of the Western Cape.”.
Syekh Yusuf meninggal di Zandvliet 23 Mei 1699, di usia 73 tahun.
Dia kembali menasbihkan pelaut Bugis-Makassar menjangkau benua Asia dan Afrika.
Di kawasan pemukimannya di Faure, hingga kini dikenal sebagai distrik Macassar.
Makam sang waliullah menghadap ke arah timur Makassar, kampung halamannya.
Dalam sebuah manuskrip sejarah di Gowa, mengkonfirmasikan, tulang belulang Syekh Yusuf Tajul Khalwati atau Tuanta Salamaka dibawa ke Gowa atas permintaan Sultan Abdul Jalil (1677-1709) dan dimakamkan kembali di Lakiung, April 1705.
Syekh Yusuf menghabiskan kurang lebih lima tahun di Afrika Selatan.
Namun, lima tahun itu justru menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dasar. Kesetaraan, keadilan, dan kesetiakawanan.
Sebagai penghormatan kepada Syekh Yusuf, sebuah makam dan bangunan masjid, Kini jadi destinasi wisata religius di Afrika Selatan. (*)
2. AGH M THAHIR IMAM LAPEO (1838-1952) Sufi Pejuang dari Tanah Mandar
REPRO_ AGH M Thahir Imam Lapeo (1839-1952)
DI tanah Mandar, Anre Guutta Haji (AGH) Muhammad Thahir bin Muhammad Kasim, atau Imam Lapeo punya gelar yang pelafalannya tak biasa; Kannai Tambul.
Di Mandar, —kini Sulawesi Barat—, sapaan penghormatan untuk orang tua, kakek atau nenek yang punya kelebihan disebut Kannei atau Kannai.
Pua’ Kanne atau Wa Kanne adalah istilah yang masih lestari.
Sedangkan Tambul adalah kata serapan dari frasa Istanbul, kota utama di Turki.
Tak asal disematkan, gelar Kennei Tambul, diperoleh setelah hampir 10 tahun, menjelajah di Semenanjung Arab, dari Mekah, Medinah, Yaman hingga Istanbul, kota perbatasan Asia dan Eropa di Turki.
Istanbul adalah kota terakhir, peradaban Islam sebagai ke-khalifaan Islam berakhir di awal abad 20.
Keberadaan Imam Lapeo di Istanbul pada akhir puncak kejayaan Khalifah Utsmaniyah atau Ottoman.
Tujuh abad lebih (1299-1922), Islam menjadi agama yang mendunia dibawah otoritas khalihah Utsmani.
Dari Constantinopel atau Istanbul, ajaran dakwah Islam menyebar ke seluruh dunia.
Imam Lapeo bermukim sekitar 3 tahun di Istanbul.
Konteksnya, bersamaan sekitar 71 tahun sebelum Sultan Mahmud IV atau Khalifah ke-28 Islam, (1918-1922) berkuasa.
Imam Lapeo menyaksikan bagaimana Sultan Mehmed Raşuid; ( 1844 – 3 July 1918) berkuasa dan menjamin hidup para ulama, dan tokoh sufi mendapat kehormatan dari khalifah.
Imam Lapoe merantau ke Istanbul, setelah kurang lebih lima tahun belajar ilmu fiqhi, bahasa dan falaq, di Mekah dan Madinah.
Di Istanbul, Imam Lapeo memperdalam ilmu aqhida dan tasawwuf.
Inilah kota dimana ajaran tasawwuf, Syadzilliyah makmur dan menjadi ‘tarekat” monarki.
Dari Istanbul, Imam Lapeo menyeberang ke Yaman, untuk kembali ke Indonesia tahun sekitar 1880-an.
Perjalanan Imam Lapeo ke Semenanjung Arab, dimulai saat remaja 15 tahun ini diikutkan paman dari ayahnya, Haji Buhari Pambusuang ke Minangkabau, Sumatera Barat.
Awalnya hanya perjalanan dagang. Ia membawa lipa’ sabbe menre ‘ (kain sarung sutra tenunan khas Mandar) untuk dijual ke pedagang Minang.
Kala itu namanya masih Junaihil Namli yang berarti semut bersayap.
Selama 4 tahun, mulai sekitar tahun 1854 hingga 1859 dia berguru bahasa Arab, ilmu adab dan sastra Melayu.
Selepas dari Minang, bersama pamannya dia menyebarang ke semenanjung Melayu, Malaysia dan kini Singapura, sebelum kembali lagi ke Tanah Mandar.
Kebetulan, di era itu dinasti dan kesultanan Melayu adalah keturunan pelaut Bugis-Makassar dan Mandar.
Sejatinya, sebelum ke Minangkabau, Imam Lapeo remaja sudah belajar bersama ulama khas Sulawesi di Pulau Salemo.
Kebetulan di gugus kepulauan karang Spermonde (kini Kecamatan Tubaparing, Pangkep, Sulsel), sudah lebih dulu berguru AGH M Asad (pendiri Assadiyag), Abdurrahman Ambo Dalle (Pendiri DDI Mangkoso), dan belasan ulama khis lain.
Di Pulau itu, mereke berguru kepada ulama besar dari Gresik, Jawa Timur, Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Lawatan pendidikan ke Pulau Salemo, atas petunjuk dari gurunya di Mandar, Majene, seperti Guru Ga’de, As-Syekh Habib Alwy bin Abdullah Bin Sahil Jamalullail, AGH. Muhammad Nuh, pendiri Pesantren Nuhiyah di Pambusuang dan AGH Alwi, Imam Masjid Bala, Pambusuang.
Di usia mulai matang, sekitar 41 tahun, sekitar tahun 1881, dia menunaikan haji bersama salah seorang gurunya, Gurutta Syekh Alwi Al Maliki.
Perjalanan haji jaman itu, masih kapal laut dan bisa ditempuh sekitar tiga hingga lima bulan.
Ini berarti untuk pulang pergi bisa setahun.
Sebagai anak yang dibesarkan di pesisir Teluk Mandar, gemuruh ombak dan menghadapi lautan lepas dan dalam adalah hal biasa.
Di Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah, dia mendatangi majelis ilmu ulama besar untuk memperdalam ilmu fikih, tafsir, hadits, dan Aqhidah. Diantara gurunya di Makkah adalah Syekh Muhammad Ibna.
Di dua kota suci itulah, Muhammad Thahir belajar sekitar lima hingga enam tahun.
Rihlah Ilmiah ke Istanbul, untuk memperdalam ilmu Tasawwuf.
Tempat perguruan lainnya adalah di Tarim, Hadhramaut, Syekh Hasan al-Yamani di Yaman.
Imam Lapeo juga dilaporkan dan pernah tercatat berguru ke ulama khoss dan Waliullah dari Jawa Timur, Kiai Kholil Bangkalan, di Pulau Madura.
Ia berguru juga kepada ulama di Gresik, Jawa Timur.
Sekembali dari Arab, dia sempat berguru di Pare-pare antara lain kepada Al Yafi'i (ayahanda Prof. Dr. H. M. Ali Al Yafi’, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1990-2000 dan Ketua Rais Aam Syuriah PB Nahdaltul Ulama (1990-1992).
Sekembali dari tur ilmiah inilah, sekitar akhir masa penjajahan Belanda dan awal masa penjajahan Jepang (1920-1946), Gurutta berdakwah sekaligus membantu perjuangan mengusir penjajah.
Bersama tokoh pejuang Mandar, seperti RA Daud, AR. Tamma, Yahyaddin Puang Lembang, serta unsur bangsawan/Raja Mandar Andi Depu, dia bergabung ke Kesatuan Rahasia Islam (KRIS) Muda.
Organisasi inilah yang menjadi wadah perjuangan sebagian besar tokoh di Sulbar prakemerdekaan.
Di awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), Gurutta Muh Thahir membangun Masjid di kampung Lapeo, Campalagian, sekitar 21 km sebelah utara Polewali, atau 25 km dari Kota Majene.
Kini masjid itu terdaftar dengan nama Masjid Nuruttaubah.
Menara masjid itu, mengadaptasi arsitek dan menara masjis-masjid di Istanbul, Turki.
Menara itu dibangun setelah meyakinkan pemerintah Jepang di Majene dan Polewali, bahwa melalui masjidlah, perlawanan pejuang kerajaan di kawasan Pitu ulunna salu dan karua-babana-minanga di sepanjang Tanah Mandar (Sulawesi Barat) bisa diredam.
Imam Lapeo berdakwah dengan pendekatan Tasawwuf. Inilah yang menjelaskan banyaknya kisah karomah dan kedigjayaan sang guru.
Dr Ruhiyat, dalam karya ilmiahnya Imam Lapeo Sebagai Pelopor Pembaharuan Islam di Mandar (2015), menyebut sanfg guru mengembangkan tarekat Syadzilliyah yang diperoleh langsung dari pusat ilmu tasawuf di Istanbul, Turki.
Amalan ini berupa zikir dan tazkiyatun nafs (olah pernafasan) melalui ajaran takhalli, tahalli, tajalli, konsep hakekat Muhammadiyah, wirid (zikir) dan hizb (amalan) yang menjadi tipikal ajaran tarekat Syadziliyah.
Dialah yang banyak meredam banyak ahli nujum khas Mandar, ‘Doti’ untuk menjadikan Islam sebagai ajaran dan pedoman hidup.
Dikisahkan dalam buku karya cucunya, Syarifuddin Muhsin,
setidaknya merangkum kisah 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo.
Sebagian di antaranya, menyelamatkan orang tenggelam, melerai perkelahian di Parabaya, menghentikan penyiksaan tentara KNIL, jadi perlindungan Arajang Balanipa, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, mengatasi pendoti-doti (guna-guna), berjumat pada tiga tempat pada waktu bersamaan, menebang kayu dengan tangisan bayi, naik becak ke Mamuju, membatalkan tunangan dengan anggota majelis ormas Islam di Indonesia, tidak suka bunyi-bunyian (musik).
Imam Lapeo dimakamkan di sisi kanan Masjid Nurutaubah.
Imam Besar Masjid Nuruttaubah, yang juga masih tercatat sebagai cucu sang Imam berkisah, setidaknya ada sekitar 500-an hingga 800-an penyitas yang mampir sholat di masjid ini, sepanjang hari.
Menjelang Ramadan, Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, jumlahnya bisa tembus 1.500 per hari. (*)
3. JENDERAL M JUSUF (1928-2004): Cerita Pertemuan Ronald Reagen dan Gebrak Meja Depan Soeharto
REPRO_Jenderal M Jusuf (1928-2004)
TAK semua kebenaran harus diketahui publik.
Keutuhan, ketahanan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia, selalu jadi dasar pengambilan keputusan pejabat negara.
Begitulah prinsip Jenderal M Jusuf (1928-2004) kala mengemban rangkaian amanah di militer dan jabatan publik.
Rangkian kisah berikut, mengkonfirmasikan kebijaksanaan Sang Jenderal, saat memanggul amanah sebagai Menteri Perindustrian RI (1964-1974), lalu Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) Republik Indonesia (1978-1983) dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (1983-1993).
Dinilai sukses memperbaharui Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia (alustsita) Indonesia bekas tentara Israel, Jenderal M Jusuf kembali mendapat mandat Panglima Tertinggi ABRI Soeharto.
Dalam kapasitas sebegai menteri pertahanan RI, ia ditugasi merintis pengadaan jet tempur baru dan teknologi perang mutakhir tentara Indonesia.
Skuadron tempur udara Indonesia, di dekade 1980-an, berpusat di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur.
Itupun masih teknologi pesawat tempur generasi perang dunia II.
Kala itu, total jet tempur TNU AU di Skoadron Udara 3 iyu hanya 16. Jet OV-10 Bronco, P-51 Mustang yang sudah grounded sejak 25 Juli 1975 , atau 3 tahun sebelum M Jusuf jadi Panglima Angkatan Bersenjata.
Ada empat unit Cessna T-41D, 2 pesawat Cessna L-180 dan 3 pesawat AT-16 Harvard. OV-10F Bronco banyak ikut andil dalam operasi udara seperti Operasi Seroja di Tim-tim (1976/1979/1981/1983-1989), Oprasi Tumpas (1977/1978) di Irian Jaya, Operasi Halilintar di Tanjung Pinang, Operasi Guruh di Maluku, Operasi Tumpas III (1981) dan terakhir Operasi Halau di Ranai (1985-1987).
Putra kelahiran Bugis, Bacharuddin Jusuf Habibie, menristek kala itu, memang mengembangkan teknologi pesawat di Pt Nortanio, Bandung.
Namun, hanya untuk pesawat angkut sipil menengah bukan kualifikasi militer.
Mandat pembaharuan alutsista Soeharto ke M Jusuf untuk menyejajarkan diri dengan negara lain dalam penguasaan dan pemilikan jet tempur berteknologi tinggi.
Mewakili Presiden Soeharto, M Jusuf terbang ke Washington, New York, Amerika pada awal tahun 1983.
Misinya, adalah bertemu langsung Presiden ke-40 Amerika Serikat (1981 to 1989), Ronald Reagan (1911-2004).
Namun, karena F-16 terbilang teknologi baru, Amerika berdiplomasi.
Bukannya Ronald Reagen, M Jusuf hanya bertemu dengan
Sekretaris Pertahanan Amerika Serikat Caspar Willard "Cap" Weinberger (1917-2006).
Menhan ya kualifikasinya bertemu menhan.
Weinberger menjabat menhan tujuh tahun (21 Januari 1981 hingga 23 November 1987).
Rencana pembelian direspon penolakan. “NO”.
Alasan kantor pertahanan Amerika, rasional. Amerika hanya memperbolehkan pembelian pesawat tempur F-16 Fighting Falcon ke 30 negara aliansi pertahanan Atlantik Utara dan Eropa, NATO dan Israel.
Menhan AS pada saat itu menjawab, “NO”, dengan alasan yang politis sebab F-16 hanya dijual ke negara-negara NATO dan Israel saja.
M Jusuf pun tak menerima alasan itu. Weinberger dikabarkan sempat bersitegang dengan M Jusuf.
Tak ada kesepakatan, akhirnya M Jusuf meninggalkan ruang negosisoasi dengan muka masam.
M Jusuf menyatakan misinya membeli F-16 harus terealisir.
Sebelum meninggalkan ruangan, beserta staf pertahanan, M Jusuf menyatakan akan terbang ke Tokyo, Jepang untuk bernogisoasi jet tempur.
Kebetulan, M Jusuf tahu, bahwa Jepang tengah mengembangkan jet tempur setara F-16 dengan nama Mitsubishi F-2 "Viper Zero”.
F-2 Mitsubishi adalah pengembangan dari F-15J,jet tempur dibawah lisensi McDonnell Douglas, salah satu pemasuk teknologi f-16 dari Amerika.
Di sisi lain, saat M Jusuf menjabat Menteri Perindustrian, dia sudah membangun hubungan dagang dan diplomatik, dengan pemerintah Jepang, untuk merealiasikan pabrik Toyota Kijang di Indonesia.
Gertakan diplomasi M Jusuf berhasil.
Saat melihat tamunya pulang tanpa menoleh ke belakang lagi, Caspar "Cap" Weinberger bingung.
Dia memerintahkan orang kepercayaannya menyusul M Jusuf ke Tokyo.
Di Tokyo, staf Caspar membujuk M Jusuf agar kembali ke Washington meneruskan negosiasi.
Bahkan di dampingi Jenderal Caspar, M Jusuf diantar bertemu dengan Ronald Reagen di Gedung Putih, awal tahun 1983.
Realisasi pengadaan F-16 baru teralisir 3 tahun kemudian, 1986 saat Jenderal M Jusuf sudah digantikan oleh Jenderal LB Moerdani.
Pengadaan 12 unit F-16 dinamai “Proyek Bimasena”.
Kontrak pembelian F-16 dari AS ke pemerintah RI ditanda tangani pada tanggal 30 Agustus 1986 dimana pada kontrak tersebut dinyatakan bahwa RI membeli 12 pesawat F-16 Fighting Falcon dengan paket harga pembelian dari AS sebesar 329 juta dolar.
Kisah negosiasi tertunda dan pertemuan M Jusuf dengan Ronald Reagon, ini membuat kagum Kolonel (Navy) John Kiziran.
John menjabat perwakilan Pertahanan Amerika di Indonesia (1980-1984), saat M Jusuf menjabat Panglima ABRI.
Untuk penghargaan dan keteguhan M Jusuf, inilah Kolonel John Kiziran menghadiahkan M Jusuf sebilah Bowie, belati khas suku Indian Amerika pada tahun 1984.
Belati dengan besi putih berukir dan gagang gading itu, kini disimpan di Museum BPK di Magelang. Belati itu, diserahkan Andi Herry Iskandar, keponakan M Jusuf kepada negara bersama mobil Volvo.
Baca: Volvo 5000 km dan Belati Amerika, Cara BPK Kenang Jenderal M Jusuf,
Sosok Kiziran sendiri termasuk unik di Amerika. DIa sudah pensiun 30 tahun dari rangkaian operasi militer penting sejak 1970, di Perang Vietnam, lalu ditunjuk di era Reagan menjadi diplomat militer di negara berpenduduk mulsim terbesar di dunia.
Di negeri asalnya, belati Bowie dimilik oleh para kesatria perang, sebagai senjata terakhir dan selalu disarungkan bersama prajurit.
Belati itu diberikan KIziran ke Jusuf, saat M Jusuf di puncak popularitas setelah rajin keliling ke markas dan tangsi-tangsi militer dari Marauke hingga Sabang.
Sebelum M Jusuf jadi Ketua BPK, sebuah catatan di Wikipedia menulis, adanya "kekhawatiran" Soeharto, M Jusuf akan menurunkan pamor Penguasa Orde Baru.
Gebrak Meja Depan Soeharto
Setelah transaksi awal pembelian F-16 itu, hubungan M Jusuf dan LB Moerdani merenggang.
Konon segala gerak-gerik Jusuf mulai dimata-matai LB Moerdani sebagai orang intel.
Moerdani lantas melaporkan bahwa Jusuf tengah memobilasasi kekuatan internal untuk menjadi presiden.
Isu Kemanunggalan ABRI dan Rakyat, yang membuat M Jusuf rajin menyambangi tangsi militer di Nusantara, sampai ke telinga Soeharto.
Suatu malam di tahun 1983, Soeharto memanggil sejumlah pejabat tinggi di rumahnya untuk membahas masalah aktual kenegaraan termasuk soal citra Jusuf yang sangat tenar.
Dalam kesempatan itu Mendagri Amir Machmud mengungkapkan, semakin populernya Jusuf.
Jusuf yang dituding punya ambisi pun dikonfirmasi terbuka.
Dituding begitu, darah Jusuf mendesir.
Ia spontan menggebrak meja. Braaak! Semua yang hadir di ruangan itu terkesiap.
Termasuk Presiden Soeharto.
Belum pernah ada jenderal pun yang melakukan itu di depan Penguasa Orde Baru.
Dengan suara lantang, Jusuf merespon, “Bohong. Itu tidak benar semua! Saya ini orang Bugis, jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”
Kisah gebrak meja ini juga ditulis dalam biografi sang jenderal.
Artikel ini juga dimuat di Tribun Timur, usai peluncuran buku Jenderal M Jusuf di Jakarta, September 2006.
Tegang. Presiden lalu mencairkan suasana.
Semua keluar ruangan kecuali Jusuf dan presiden.
Kejadian ini adalah titik rendah hubungan antar-keduanya.
Setelah itu, Jusuf tidak pernah mau lagi menghadiri rapat kabinet di Binagraha.
Sejatinya, Soeharto masih menginginkan Jusuf sebagai Menteri Hankam dan Panglima ABRI.
Namun Jusuf sudah bersikap.
Dia menolak sembari menyampaikan terima kasih.
LB Moerdani pun didapuk menduduki jabatan M Jusuf mulai 19 Maret 1983.
Ini memicu sejumlah perwira muda mendesak Jusuf mengambil alih kekuasaan, karena tak senang dengan perilaku LB Moerdani.
Jusuf mendatangi kesatuan ini, menyambangi keluarga mereka dan mengatakan di hadapanprajurit bahwa apa yang dilakukannya tidak elok.
“Sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes.”
Jusuf meminta agar tetap disiplin dan menjalankan hirarki komando.
Diam-diam, M Jusuf memadamkan rencana untuk mengambil alih kepemimpinan negara akibat kekecewaan mereka atas rencana pergantian Jusuf sebagai Menhankam.
“Sejarah kita mencatat selama berabad-abad aib itu bisa sampai terjadi,” kata Jusuf yang kemudian jadi pembela utama LB Moerdani dalam kasus penembakan misterius.
Dan meski hubungan Jusuf dengan Soeharto membeku, tetapi ia tetap berkomunikasi tatap muka.
Paling tidak, Jusuf masih dipercaya untuk memegang jabatan prestius sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Setelah Pemilu 1988, Jusuf menghadap Presiden.
“Pak Presiden, saya kemarin itu sebetulnya mau dicalonkan sebagi presiden, tatapi karena Bapak masih bersedia lagi, ya tidak jadi.”
Jaga Rahasia Hingga Wafat
Di medio dekade 1990-an, media nasional Indonesia kembali memuat cerita kontroversi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966.
Ulasan, cerita, dan analisis soal Supersemar membuat isu ini jadi konsumsi dan dicari publik.
Ini bersamaan dengan gerakan bawah tanah melawan pemimpin Orde Baru, Soeharto.
Kontroversi itu mencuat kembali di surat kabar dan TV, setelah meninggalnya Mayjen TNI Amir Mahmud, 21 April 1995.
Kala penandatanganan Supersemar, Amir Mahmud salah satu jenderal militer kepercayaan Presiden Soekarno.
Bersama Mayjen Basuki Rachmat (mendagri) dan M Jusuf (menteri Perindustrian) diminta Soeharto menemui Soekarno di Istana Bogor, 11 Maret 1966.
Mereka adalah trio jenderal saksi Supersemar, dokumen penyerahan kekuasaan Soekarno ke Soeharto.
Di tahun 1995, sepeninggal Amir Mahmud, hanya M Jusuf yang tersisa. Basuki Rahmat meninggal dunia, tiga tahun setelah Supersemar, 8 Januari 1969.
Di Makassar, tahun 1995 itu, M Jusuf dikejar-kejar wartawan. Di acara Pertemuan Saudagar Bugis Makassar yang diinsiasi M Jusuf dan Jusuf Kalla di Balai Manunggal ABRI, M Jusuf ditunggui belasan jurnalis.
Husain Abdullah, jurnalis RCTI kalau itu, termasuk dimintai newsroom di Jakarta, untuk meminta tanggapan Jenderal M Jusuf.
“Pak Jenderal ya hanya diam..” kenang Uceng.
Acara Saudagar Bugis-Makassar digagas M Jusuf untuk menggalang dana pembangunan Masjid Al Markaz Al Islami, pusat pengembangan peradaban Islam terbesar di timur Indonesia, kala itu.
Di saat bersamaan, media nasional seperti KOMPAS juga menurunkan kontroversi ini.
Konon, M Jusuf pun menelepon Jakob Oetama, pemimpin redaksi harian KOMPAS kala itu.
‘Hei Jakob, jangan karena surat kabarmu mau laku, cerita supersemar kau tulis terus..” demikian pesan Sang Jenderal dari balik telepon.
Setelah itu, isu ini pun meredam.
Jurnalis Tribun Timur, Thamzil Thahir, di awal penerbitannya, 9 Februari 2004, M Jusuf meninggal dunia (8 September 2004), juga coba mengorek isu ini.
Namun, jangankan bicara sang jenderal tetap tak mau menerima kunjungan wartawan.
Alasan lain, sang jenderal dalam masa pemilihan kesehatan pasca-operasi transplantasi ginjal di Australia, beberapa tahun sebelumnya.
Rumah sang jenderal di Jl Sungai Tangka, ditunggui selama 3 hari. Aktivitas rutin sang jenderal hanya jalan pagi di beranda rumah lalu masuk dan beristirahat.
Sesekali, tiap Senin dan Kamis, sang Jenderal meninjau rumah sakit Akademis Jusuf Jaury, yang dirintis bersama istrinya, Elly Saelan untuk mengenang anaknya.
Melalui jasa keponakan sang jenderal, Andi Herry Iskandar, yang kala itu menjabat Wakil Walikota Makassar, jurnalis tribun diberi kesempatan untuk mengaji 6 juz bersama 3 usdtad dari takmir masjid Al Markaz Al Islami di depan jenazah sang Jenderal.
Kontroversi dan rahasia Supersemar, apakah betul Soekarno memberi atau tidak memberi mandat ke Soeharto untuk membubarkan PKI di dokumen Supersemar, dibawah hingga ke liang lahat di TPU Panaikang, Makassar.
Di akhir masa hidupnya, M Jusuf ikut membangun dan memelihara Masjid Al Markaz Al Islami, mengurus Rumah Sakit Akademis Jaury M Jusuf dan sebagai pembina Yayasan Pendidikan Sekolah Nusantara di Jl Ahmad Yani, Makassar.
Jenderal M Jusuf bernama Andi Muhammad Jusuf Amir
Dia lahir di Kajuara, sebuah kecamatan di sebelah selatan Watampone, Bone, 23 Juni 1928.
M Jusuf adalah putra bangsawan Bugis. Orangtuanya adalah qadi’ atau pengadil dan ahli hukum Islam di masa kerajaan Bone.
Sebelum ikut pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (1952–1953), sebelum kemerdekaan, dia ikut bergabung di kelompok pemuda dan bangsawan pejuang kemerdekaan, KRIS.
M Jusuf sempat menikah dengan cucu pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, saat menjadi tentara di Yogyakarta.
Dia menikah dengan Elly Saelan, adik pejuang dan orang kepercayaan Soekarno, Maulwi Saelan. Dari Elly, Jusuf memiliki satu putra Jaury Jusuf Putra, yang meninggal karena tetanus, saat Jusuf menjabat komandan di Kodam VII Hasanuddin, Makassar.
Untuk mengenang putranya, Jusuf dan istrinya mendirikan sekolah SD Nusantara dan Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf.
Semasa menjabat perwira menengah dan perwira tinggi militer di Makassar dan Jakarta, M Jusuf diam-diam sering mendatangi ulama di Sulsel.
“Saya ingat waktu saya SD, biasa melihat Jenderal M Jusuf datang berdiskusi dan berbagi pengalaman tasawwuf sama Puang (Ramma),” kata KH Abdul Rahman Asseggaf Puang Makka, putra Puang Ramma, salah satu ulama, penggerak NU di Sulsel, kepada Tribun, November 2008.
M Jusuf merintis pembangunan Al Markaz Al Islamy.
Jusuf meninggal dunia di Makassar, 8 September 2004, dan dimakamkan 9 September 2004, di Taman Pemakaman Umum Panaikang, Makassar.
Jusuf sejatinya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata atau di TMP Panaikang, bersama pahlawan dan pejuang lainnya.(*)
4. Baharuddin Lopa (1935-2001) Sosok Berani, Jujur Namun Sederhana
REPRO_Baharuddin Lopa (1935-2001)
“ALMARHUM Lopa, dikenal sebagai jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah SWT.”
Narasi ini adalah kutipan langsung dari laman resmi lembaga penyidik dan penuntut negara, Kejaksaan Agung RI.
Prof Dr Haji Baharuddin Lopa SH itu jaksa sejati.
Pengusut, penyidik, dan penuntut bagi tegaknya keadilan negeri.
Ia adalah legenda di korps Adhyaksa.
Puncak karier sebagai jaksa agung (2001), pernah jabat komisioner HAM (1993-1998) dan menteri hukum dan HAM (2000).
Karier sebagai penegak hukum negara justru sudah dimulai saat masih mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, 1953.
Ini langka. Formilnya, jaksa didaulat setelah diwisuda sebagai sarjana hukum.
Karier sebagai jaksa penyidik dimulai di kantor Kejaksaan Negeri, Makassar, di JL RA Kartini.
Hanya, tak cukup tiga tahun sebagai jaksa penyidik dengan status aparatur negara, Gubernur Andi Pangeran Pettarani A Mappanyukki (1903-1975), memberinya mandat besar.
Dia ditunjuk menjadi Bupati Kepala Daerah (BKD) Majene, pertengahan tahun 1959.
Lopa adalah sebagai kepala daerah pertama Majene, kabupaten di tanah kelahirannya, Mandar.
Penunjukan Lopa tak biasa.
Kala itu kepala daerah selalu dijabat perwira militer.
Tak biasa lainnya, Lopa masih berusia 25 tahun.
Amanat Lopa jadi bupati di usia muda di Indonesia ini, bahkan belum terpecahkan hingga 2021.
Rekor bupati termuda Indonesia, kini dipegang Rezita Meylani Yopi (Bupati Indragiri Hulu Riau.
Rezita dilantik kala usianya 27 tahun di Juli 2021.
Juga, Mardani Haji Maming (40), Bupati dua periode (2010-2020) Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, saat dilantik 2010 lalu, sudah berusia 26 tahun.
Bupati termuda di Sulsel, M Yusran Aso Lologau, saat dilantik jadi kepala bupati Pangkep, Februari 2021 lalu, telah berusia 29 tahun.
Lopa hanya menjabat bupati sekitar 11 bulan.
Ia lalu digantikan militer pejuang, Andi Tonra.
Amanat untuk Lopa mengkonfirmasikan, semangat dan usia muda belumlah cukup.
Untuk pemimpin, latar pendidikan, integritas dan pemahaman sosial, budaya dan agama, juga modal penting.
Belum pernah ada sosok penegak hukum di Indonesia ini, yang namanya terbanyak diabadikan sebagai nama aula di Indonesia.
Aula utama di Gedung Bundar, kantor Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru Jakarta, menggunakan nama pria kelahiran Pambusuang, 27 Agustus 1935 ini.
Di almamaternya, Unhas, namanya juga jadi identitas aula terbesar di fakultas hukum.
Di Pulau Madura, Jawa Timur, di kabupaten Luwu, Sulsel, di Ternate, dan di Kota Palu, menggunakan nama Baharuddin Lopa.
Sepanjang kariernya di kejaksaan, Lopa pernah menjabat Kajati di Sulawesi Tenggara, Daerah Istimewa Aceh, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Sebelum jadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM periode pertama (1993-1998), Lopa adalah kepala Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) di Kejaksaan Agung.
Selama memegang jabatan publik dan berkarier sebagai jaksa, Lopa menunjukkan integritas dirinya dengan tidak berkompromi pada korupsi.
Ia tak gentar mengusut rangkaian kasus korupsi kelas kakap yang menyangkut para konglomerat Indonesia.
Tanpa pandang bulu, Lopa pernah menjebloskan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Indonesia Bob Hasan, termasuk mengusut dugaan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.
Konglomerat Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura dijemput paksa pulang ke Jakarta.
Lopa mengeluarkan surat pencekalan konglomerat Marimutu Sinivasan di kasus BLBI.
Namun ketiga konglomerat “hitam” tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Presiden Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur.
Lopa juga menyidik keterlibatan pengusaha minyak Arifin Panigoro, ketua DPR Akbar Tandjung, dan politisi Golkar Nurdin Halid dalam rangkaian kasus korupsi berbeda.
Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur.
Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung.
Ia bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya biasa bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari.
Atas nama keadilan dan kebenaran, ia pernah mengusut kasus pengadaan fiktif Al-Quran senilai Rp 2 juta yang menyangkut karibnya sendiri, KH Badawi.
Sahabatnya saat itu menjabat Kepala Kanwil Agama Sulawesi Selatan.
Lopa yang antihadiah apalagi suap. Dalam bentuk apa pun.
Di awal masa jabatan jaksa Agung, dia menulis kolom surat kabar bertiras nasional dengan judul, “Jangan berikan uang kepada para jaksa. Jangan coba-coba menyuap para penegak hukum, apa pun alasannya!”.
Selain jujur dan berani, sosok Lopa juga dikenal dengan kesederhanaannya dan tidak mau memanfaatkan fasilitas kedinasan di luar keperluan bekerja atau untuk urusan keluarga.
Telepon dinas di rumahnya selalu dikuncinya dan ia melarang siapa pun di rumahnya memakainya.
Ia melarang istrinya menggunakan mobil dinas meski hanya untuk pergi ke pasar atau untuk anaknya berangkat sekolah.
Lopa pernah pula mengembalikan bensin mobil dinas yang diisikan oleh rekan sesama jaksa.
Jusuf Kalla, saat jadi direktur NV Hadji Kalla, diler utama mobil Toyota di Sulawesi, pernah memberi diskon diam-diam untuk cicilan oto Toyota Corona, awal dekade 1980-an.
Saat Lopa tahu ‘niat baik’, itu dari sebuah iklan koran, langsung menelpon Jusuf Kalla.
“Kamu itu pedagang, jangan mau rugi, Kembalikan cicilan mobil saya ke harga awal.”
Untuk menambah penghasilannya, Lopa rajin menulis kolom di berbagai majalah dan surat kabar, hingga membuka rental play station dan warung telekomunikasi di samping rumahnya.
Pada 1970-an Lopa bahkan pernah menyuruh ajudannya untuk menyerahkan uang Rp 100 ribu pemberian hadiah dari Gubernur Sulawesi Tenggara kala itu, ke panti jompo di Kendari yang mana nilai uang tersebut terbilang besar pada masanya.
Parcel yang datang ke rumahnya pun akan selalu ia kembalikan.
Lopa mengatakan, “Dirinya tidak perlu diberi hadiah karena ia memiliki gaji, yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah”.
Lopa melakukan itu semua bukan karena ia melarat, namun kesederhanaan memang ia pilih sebagai jalan hidup ___ sekalipun dilingkupi dengan berbagai fasilitas kemewahan sebagai seorang pejabat. Setidaknya, pria yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Arab Saudi itu pernah mencatatkan kekayaan pribadinya senilai Rp 1,9 miliar dan simpanan 20 ribu dollar AS.
Lopa sendiri pun merupakan keturunan bangsawan, kakeknya yang bernama Mandawari adalah seorang Raja Balangnipa yang juga dikenal bersahaja di wilayah Polewali Mandar, Sulawesi Selatan. Wilayah ini sekarang masuk ke dalam Provinsi Sulawesi Barat.
Di tengah pemberitaan kasus-kasus korupsi yang santer di media massa, sosok Lopa akan selalu dirindukan sebagai jaksa amanah, jujur, sederhana dan religius.
Baharuddin Lopa adalah jaksa agung dengan masa jabatan terpendek, 1,6 bulan.
Lopa meninggal di usia 66 tahun, di Rumah Sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB, tanggal 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada jantungnya. Ia juga pernah menjabat Duta Besar RI untuk Arab Saudi.
Pihak keluarganya, yakin meninggalnya Lopa di Tanah Suci, adalah ijabah dari doa-doanya yang selalu meminta didekatkan dan meninggal dalam keadaan zuhud dan dekat dengan Sang Maha Pengadil.(*)
5. BJ Habibie (1936-2019) Menteri Teknologi Terlama dan Perintis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
BJ Habibie
BACHARUDDIN Jusuf Habibie (Prof Dr Ing Haji, FREng ) lahir di Parepare, Sulsel tanggal 23 Juni 1936.
Ayahnya pegawai jawatan pengairan di kota pelabuhan kedua terbesar di Sulsel itu.
Ibunya ibu rumah tangga keturunan Jawa.
Orangtua Habibie adalah tokoh agama, qadi dari Gorontalo.
Habibie sempat tinggal di Makassar dan kemudian belajar di SMA di Bandung (1950), lanjut kuliah teknik mesin di Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (1954). Pada 1955–1965.
Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat (1956-1965).
Menerima gelar diploma insinyur pada 1960 dan gelar doktor insinyur pada 1965 dengan predikat summa cum laude juga di Jerman.
Akhir dekade 1960-an, BJ Habibie dipanggil kembali ke Indonesia oleh Soeharto, dan diminta mulai mengembangkan landscape industri teknologi Indonesia di awal dekade 1970-an.
Dia merintis industri strategis PT IPTN (pesawat), PT Pindad (senjata), dan PT PAL (kapal).
Visi dan target Habibie adalah Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
BJ Habibie ini adalah presiden ketiga Republik Indonesia. Beliau insinyur, yang mengabdikan diri untuk kemajuan teknologi Indonesia di masa Orde Baru.
BJ Habibie adalah presiden ke-3 Indonesia (1999-2000).
Sejak 11 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998, BJ Habibie mendampingi Presiden Soeharto sebagai Wakil Presiden ke-7 Indonesia.
Jabatan presiden ke-3 Indonesia mulai diemban Habibie saat Soeharto murdur resmi per 21 Mei 1998.
Soeharto terpaksa mundur melalui amanat MPR-RI menyusul desakan reformasi yang digaungkan terbuka politisi, elite menengah, kelompok profesional, dan mahasiswa sejak 1995.
BJ Habibie banyak dikagumi dan dijadikan cita-cita murid, siswa hingga mahasiswa mulai dekade 1970.
“BJ Habibie itu menteri riset dan teknologi terlama republik ini Saya daftar kuliah teknik di Unhas meski tak lulus, karena kagum ke Pak Habibie,” ujar Ketua Wali Amanat Unhas Komjen (Purn) Pol Syafruddin Kambo.
BJ Habibie mulai menjabat menristek dan Kepala BPPT (29 Maret 1978 – 11 Maret 1998).
Saat bersamaan BJ Habibie menjabat sebagai Kepala Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau Otorita Batam.
Saat menjabat sebagai Menristek, Habibie juga terpilih sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang pertama.
Habibie terpilih secara aklamasi menjadi Ketua ICMI 7 Desember 1990 hingga menjabat wakil presiden 1997.
Dilansir DW Indonesia, Direktur Pengelola EKONID, Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman, Jan Rönnfeld, mengungkap Habibie adalah WNI Indonesia yang paling terkenal seantero Jerman.
"Dia setengah Jerman, tinggal di Jerman bertahun-tahun, dan sangat fasih berbahasa Jerman. Tidak hanya saat kuliah dan bekerja, saat ia menjabat sebagai menteri Negara dan Riset, dia bekerjasama dengan banyak institusi dan perusahaan Jerman," ujar Rönnfeld yang mengaku banyak kenangan bersama Presiden ke-3 itu.
Ia mengenal Habibie saat di Jerman tahun 1995.
Kala itu, Rudi, sapaan akrab BJ Habibie, menemani Presiden Soeharto dalam lawatan dinas ke Berlin.
Kala itu, Habibie kasih menristek.
Tahun 1998, saat jabat Wapres dia menemani Habibie mengunjungi ekshibisi industri tahun dan tahun 1999.
Dia membawa semua kabinetnya ke ekshibisi menyaksikan pencapaian teknologi industri mutakhir Jerman.
Rönnfeld berpendapat, walau hanya kurang setahun menjabat presiden, Habibie mampu membawa banyak perubahan dan mengatasi gejolak ekonomi yang mendera Indonesia.
Dolar sempat kembali ke level Rp 6.600 per dolar AS.
Sebelumnya, sejak tahun 1997 hingga 1999, dollar di kisaran Rp12 ribu bahkan sempat menyentuh level Rp 16 ribu per dolar
Baginya, Habibie sebagai lambang kesuksesan demokrasi di Indonesia selama 20 tahun terakhir.
Di tahun-tahun akhir hayatnya, sepeninggal istrinya Ainun Habibie (2010), Habibie lebih menonjolkan sosok spiritualitasnya.
Narasi-narasi pencapaian teknologi dikaitkan dengan kemahakuasan Allah SWT.
B.J Habibie menghembuskan nafas terakhirnya di ruangan Cerebro Intensive Care Unit (CICU), RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, selepas adzan Maghrib pukul 18.05 WIB, di usia 83 tahun.
Ia dirawat intensif sejak 1 September 2019.
Mantan Menteri Negara dan Riset periode 1978-1998 ini meninggal dikarenakan gagal jantung.
Habibie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis siang.
Ia dimakamkan tepat di samping makam istri tercintanya, Ainun Habibie.
Bersama Ainun, Habibie dikarunia dua orang anak yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie. (*)
6. M Jusuf Kalla; Wapres dengan 2 Presiden Berbeda dan Juru Damai Internasional
Repro_M Jusuf Kalla (lahir 1942).
MUHAMMAD Jusuf Kalla adalah salah satu sosok langka yang dimiliki bangsa ini.
Dia merintis perjalanannya sebagai aktivis mahasiswa. Menjadi saudagar, politisi, dua kali jadi menteri dua kabinet berbeda, dua kali terpilih jadi wakil presiden dengan dua presiden berbeda, dan mengisi hari-harinya dengan aktivitas sosial, keagamaan, kemanusiaan.
“Pak JK itu sosok yang memang laik jadi teladan, saat ini, pengabdian kenegaraan dan kebangsaannya jarang yang menyamai,” ujar Syafruddin Kambo, mantan ajudan Wapres Kalla, di periode 2004-2009.
Di bidang pendidikan, kepakarannya bidang ekonomi pembangunan dan kemanusiaan bahkan diakui dunia.
Kalla menyelesaikan pendidikan sarjana dengan gelar doktorandus ekonomi di Unhas tahun 1967.
Namun sejak menjabat menteri perindustrian (era kabinet Abduurahman Wahid 1999-2000) dan menteri koordinator bidang kesejahteraan (2001-2004 era Megawati Soekarnoputri), hingga periode keduanya jadi wapres, menerima setidaknya 12 gelar doktor honoris causa.
Gelar DrH itu lima negara (Jepang, Malaysia, Thailand), termasuk 8 dari Indonesia.
Bahkan lima universitas di kampung halamannya, tetap menjadikannya dewan penyantun di almamaternya Uhas, lalu UIN Alauddin, Universitas Muslim Indonesia, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Islam Makassar (UIM).
Kini, setelah tak lagi menjabat wapres 2019 lalu, Kalla memainkan peran kebangsaannya.
Di masa pendemi, dalam kapasitas sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Kalla turun ke lapangan, memastikan operasi kemanusiaan mencegah wabah COVID-19.
Melalui Dewan Masjid Indonesia (DMI), Kalla mengkampanyekan literasi pencegahan wabah global ini dengan pendekatan spritualitas.
Kalla lahir di Watapone, Bone 15 Mei 1942. Orangtuanya adalah dua saudagar berlatar organisasi keagamaan berbeda.
Ayahnya, Hadji Kalla (adalah bendahara Nahdlatul Ulama), sedangkan ibunya, Hajjah Athirah aktivis Aisiyah Muhammadiyah.
Jusuf adalah anak ke-2 dari 17 bersaudara dari pasangan Haji Kalla dan Athirah.
Dia disidik ayahnya di sekolah Islam, SMP Datumuseng. Lalu masuk ke
SMA Negeri 3 Makassar, lanjut di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (1967), dan sempat mengecap pendidikan bisnis di The European Institute of Business Administration, Prancis (1977)
Karier saudagarnya dimulai saat masih mahasiswa.
Dia dididik mengembangkan usaha, traktiorr alat pertanian, dengan prinsip jaringan, kejujuran dan kesederhanaan.
Tahun 1968, Jusuf Kalla sudah menjadi CEO dari NV Hadji Kalla.
Dia memodernisasi perusahaan ayahnya dari transportasi (Cahaya Bone), menjadi diler mobil impor (Toyota) di Indonesia.
“Saat disepakati berdirinya pabrik Toyota pertama di Indonesia, saya ikut menyaksikan pemberian Kijang bersama Jenderal M Jusuf di Jepang. Kijang itu, singkatan dari Kerjasama Indonesia - Jepang.”
NV Hadji Kalla adalah perusahaan pertama di Indinesia timur yang memegang kelisensian Toyota.
Kini, kelompok usaha itu bernaung dibawah Kalla Group.
Di bawah kepemimpinannya, NV Hadji Kalla berkembang dari sekadar bisnis ekspor-impor, meluas ke bidang-bidang perhotelan, konstruksi, pejualan kendaraan, perkapalan, real estate, transportasi, peternakan udang, kelapa sawit, telekomunikasi dan logistik.
Di Makassar, Jusuf Kalla dikenal akrab disapa oleh masyarakat dengan panggilan Daeng Ucu. Itu oleh sebantarannya, seperti Aksa Mahmud, dan Alwi Hamu.
Pengalaman organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan Jusuf Kalla antara lain adalah Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Sulawesi Selatan 1960–1964, Ketua HMI Cabang Makassar tahun 1965–1966, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) 1965–1966, serta Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1967–1969.
Sebelum terjun ke politik, Jusuf Kalla pernah menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sulawesi Selatan. Hingga kini, ia pun masih menjabat Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) di alamamaternya Universitas Hasanuddin, setelah terpilih kembali pada musyawarah September 2006 hingga saat ini.
Sambil jadi pengusaha, Kalla pernah menjadi anggota DPRD Sulsel fraksi Golkar dari utusan pemuda, (1965–1968)
Menarik, sebab disaat bersamaan, ayahnya juga menjadi anggota DPRD Sulsel dari Fraksi PPP.
Di masa jadi ketua Kadin Sulsel, Kalla juga menjadi anggota DPR dan MPR-RI (1982-1989).
Peran di pemerintahan dimulai di Kabinet Persatuan Nasional, era Gus Dur.
Jusuf Kalla menjabat sebagai menteri Perindustrian di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Presiden RI yang ke-4, ) dan sekaligus Kepala Bulog (1999–2000)
Tahun 2000, Jusuf Kalla kembali diangkat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI yang ke-5, 2001-2004)
Kalla kemudian mengundurkan diri sebagai menteri karena maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kalla memenangi pilpres pertama yang langsung dipilih oleh rakyat.
Partai Golkar, menjadi labuan tertinggi karier politiknya. Di tahun 2004, di musyawarah nasional Golkar di Bali, Kalla terpilih jadi Ketua Umum Partai Golongan Karya, 2004-2009.
Pada 10 Januari 2007, ia melantik 185 pengurus Badan Penelitian dan Pengembangan Kekaryaan Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golongan Karya di Slipi, Jakarta Barat, yang mayoritas anggotanya adalah cendekiawan, pejabat publik, pegawai negeri sipil, pensiunan jenderal, dan pengamat politik yang kebanyakan bergelar master, doktor, dan profesor.
Melalui Munas Palang Merah Indonesia XIX, Jusuf Kalla terpilih menjadi ketua umum Palang Merah Indonesia periode 2009–2014 dan terpilih untuk kedua kalinya pada Munas XX untuk periode 2014–2019 dan terpilih aklamasi lagi untuk periode ketiga 2019-2024 .
Selain itu ia juga terpilih sebagai ketua umum Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia periode 2012–2017 dalam Muktamar VI DMI di Jakarta, dan yang juga memasuki periode ketiga.
Di Pilpres 2009, JK memutuskan menggandeng Ketua Umum Partai Hanura Wiranto sebagai cawapresnya.
Namun JK dinyatakan kalah dalam quick count (hitung cepat). Saat itu pemenangnya adalah SBY-Budiono.
Megawati sempat berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan calon lainnya adalah Amien Rais.
Jusuf Kalla digandeng calon presiden Joko Widodo dalam ajang Pemilihan Presiden 2014. Jokowi-JK memenangkan pilpres namun ditolak oleh kubu Prabowo-Hatta yang kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Serangkaian sidang di MK ternyata menolak permohonan kubu Prabowo-Hatta dan secara hukum menguatkan legitimasi Jokowi-JK selaku presiden dan wapres terpilih periode 2014-2019. JK dilantik sebagai wapres pada 20 Oktober 2014. Seiring dengan pelantikannya tersebut, ia adalah wakil presiden pertama yang terpilih untuk dua kali masa jabatan melalui pemilihan umum. Masa jabatan pertama dilaluinya bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009.
Peran yang membuat Kalla dikenal sebagai juru damai, saat pertikaian horizontal berbau SARA di Poso dan Ambon.
Dalam jabatan sebagai menkokesra di era Megawati, Kalla mengangas forum perdamaian Malino.
Lalu di masa awal pemerintahan SBY, Kalla-lah yang secara teknis mengatur perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan GAM di Aceh.
Di masa jabatan terakhir di era Jokowi, Kalla juga ikut bergabung dalam rangkaian resolusi perdamaian di Thailand dan Philipina.
Terakhir, Kalla juga terlibat dalam perdamaian dan kesekatan damaian antara pemerintah Afghanistan dengan kelompok Thaliban.
Tahun 2011, Kalla mendapat Penghargaan Tokoh Perdamaian dalam Forum Pemuda Dunia untuk Perdamaian di Maluku, Ambon, 2011.
Tahun 2018, Dia menerima gelar doktor honoris causa (HC) dari Universitas Hiroshima, Jepang. Gelar doktor kehormatan ke-11 ini diterima JK atas dedikasi di bidang perdamaian,
Gelar doktor kehormatan tersebut diberikan langsung Rektor Universitas Hiroshima Mitsuo Ochi kepada JK di Universitas Hiroshima, Jepang, Rabu (21/2/2018).
Mitsuo mengatakan JK berhak menerima penghargaan tersebut karena dedikasinya dalam mendamaikan beberapa konflik seperti di Poso dan Ambon.
Sebagai Wakil Presiden, Jusuf Kalla secara otomatis menerima tujuh tanda kehormatan bintang sipil, yaitu: Bintang Republik Indonesia Adipradana.
Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Jasa Utama, Bintang Kemanusiaan
Bintang Penegak Demokrasi Utama, dan Bintang Budaya Parama Dharma, serta Bintang Bhayangkara Utama.
Gelar doktor HC Kalla dari, Universitas Malaya Malaysia tahun 2007.
Bidang Ekonomi, karena jasa dan sumbangsihnya untuk memajukan ekonomi global, Universitas Soka, Jepang tahun 2009 Bidang Perdamaian, karena mengupayakan penyelesaian konflik di beberapa daerah yang rawan, seperti Poso, Ambon, dan Aceh.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun 2011, Bidang Pendidikan, karena kiprah dan sumbangannya bagi kemajuan kehidupan masyarakat Indonesia sangat jelas dan nyata.
Universitas Hasanuddin tahun 2016 Bidang pemberdayaan ekonomi rakyat.
Unversitas Brawijaya tahun 2011, Karena dianggap telah meningkatkan kewirausahaan untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bangsa.
Universitas Indonesia tahun 2013, Bidang Kepemimpinan. Penganugerahan didasarkan atas kontribusinya dalam dunia kepemimpinan di Indonesia yang telah menginspirasi dan menerapkan kriteria pemimpin transformasional, yaitu memiliki visi ke depan, berintegritas, dan berdedikasi tinggi.
Universitas Unsyiah Kuala tahun 2015 Dalam Bidang Perdamaian dan Kemanusiaan, karena telah berjasa bagi perdamaian di Aceh.
Universitas Andalas tahun 2016, Bidang hukum Pemerintahan Daerah. Gelar itu lantaran sejumlah jasa-jasanya selama berada di dalam pemerintahan.
Rajamanga University of Technology, Isan (RMUTI) tahun 2017
Universitas Alauddin tahun 2018, Atas dedikasi dalam melakukan penyelesaian konflik dengan pendekatan studi perdamaian tanpa peperangan.
Dia menerima gelar doktor honoris causa (HC) dari Universitas Hiroshima, Jepang. Gelar doktor kehormatan ke-11 ini diterima JK atas dedikasi di bidang perdamaian,
Gelar doktor kehormatan tersebut diberikan langsung Rektor Universitas Hiroshima Mitsuo Ochi kepada JK di Universitas Hiroshima, Jepang, Rabu (21/2/2018). Dalam sambutannya, Mitsuo mengatakan JK berhak menerima penghargaan tersebut karena dedikasinya dalam mendamaikan beberapa konflik seperti di Poso dan Ambon. (*)