Ayah Cabuli Putrinya
Ini Alasan Polisi Hentikan Kasus Dugaan Pemerkosaan 3 Orang Anak di Luwu Timur
Kapolres Luwu Timur, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Silsvester MM Simamora menjelaskan, kasus ini dihentikan karena beberapa alasan
TRIBUN-TIMUR.COM - Media sosial, khususnya Twitter, sedang ramai dengan tagar '3 anak saya diperkosa'. Kasus ini terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Kapolres Luwu Timur, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Silsvester MM Simamora menjelaskan, kasus ini dihentikan penyelidikannya karena beberapa alasan.
Sebelum menjelaskan alasannya, Silsvester mengatakan bahwa kasus ini terjadi pada awal Oktober 2019 lalu. Saat itu, ia belum menjabat sebagai Kapolres Luwu Timur.
"Tidak ditemukan bukti yang cukup adanya tindak pidana cabul sebagaimana yang dilaporkan," kata AKBP Silvester MM Simamora, Kamis (7/10/2021).
Silvester menjelaskan ibu ketiga anak ini membuat laporan pengaduan ke Polres Luwu Timur pada 9 Oktober 2019. Atas laporan itu, penyidik telah melakukan proses penyelidikan dengan melakukan serangkaian penyelidikan.
Alasan polisi menghentikan kasus ini adalah:
Pertama, polisi telah mengantar ketiga anak pelapor ke Puskesmas Malili untuk dilakukan pemeriksaan visum et repertum didampingi ibu kandung dan petugas P2TP2A Kabupaten Luwu Timur.
Hasil pemeriksaan atau visum et repertum di puskesmas tersebut, tidak tampak ada kelainan, luka lecet, atau tanda-tanda kekerasan pada dubur/anus ketiga anak tersebut.
Silvester juga menyampaikan adanya laporan hasil pemeriksaan Psikologi Puspaga P2TP2A Kabupaten Luwu Timur.
Dalam laporan itu disebut, ketiga anak itu dalam berinteraksi dengan lingkungan luar cukup baik dan norma serta hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis, dalam pemahaman keagamaan sangat baik, termasuk untuk fisik dan mental dalam keadaan sehat.
Selanjutnya, Silvester juga menyampaikan adanya hasil visum et repertum Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulsel terhadap ketiga anak pelapor.
Pada anak perempuan, bibir kemaluan hingga selaput dara tidak tampak ada kelainan. Begitu pula dengan dubur atau anus, tidak ditemukan adanya kelainan. Hasil visum terhadap anak laki-laki pelapor juga demikian, tidak ada kelainan pada penis hingga anus atau dubur. Sfingter anus dalam keadaan normal.
Atas dasar hasil asesmen P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, hasil pemeriksaan Psikologi P2TP2A, hingga hasil visum Puskesmas Malili dan RS Bhayangkara Polda Sulsel, maka pada 5 Desember 2019 dilakukan gelar perkara.
Kesimpulannya, menghentikan penyelidikan terhadap laporan pengaduan tersebut karena tidak ditemukan bukti yang cukup atas tindak pidana pencabulan sebagaimana yang dilaporkan.
Tidak sampai di situ, Silvester menambahkan, pada 6 Oktober 2020 telah dilaksanakan juga gelar perkara khusus di Polda Sulsel.
Kesimpulan hasil gelar perkara khusus tersebut direkomendasikan kepada penyidik untuk menghentikan proses penyelidikan, juga melengkapi administrasi terkait penghentian penyelidikan.
Sementara itu, pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar melalui ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas, Resky Pratiwi mengatakan, sejak awal sudah ada cacat dalam penanganan kasus ini.
Menurut Resky, sejak awal yang jadi masalah adalah anak-anak dalam kasus ini tidak didampingi orang tua atau pendamping lainnya saat di-BAP. Sebelum penghentian penyidikan, pelapor juga tidak didampingi pengacara.
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), anak wajib didampingi orang tua dan pendamping bantuan hukum.
Kedua, lanjut Resky, pihaknya sudah pernah memberikan foto dan video terkait dugaan pencabulan terhadap anak-anak tersebut. Anak-anak ini, menurutnya, sebelumnya mengeluh sakit di area dubur dan vagina.
Ada juga hasil laporan psikolog anak yang menerangkan bahwa anak-anak bercerita soal kejadian kekerasan seksual yang dialami, yang melibatkan lebih dari satu orang. Bukti laporan psikolog itu juga sudah disetorkan ke polisi.
"Kemudian, kalaupun dikatakan ibunya mengalami waham, itu pemeriksaannya sangat tidak layak, karena hanya 15 menit, kemudian juga hanya melibatkan dua orang psikiater, sementara ketentuan acuan kami untuk pemeriksaan berkaitan dengan proses hukum itu ada acuannya di peraturan menteri dan harus ada terdiri dari tim yang khusus, jadi ada psikiater, psikolog, dan tahapan-tahapan," ujar Resky kepada detikcom.
"Jadi tidak serta merta orang mengalami waham hanya dalam waktu 15 menit. Itu juga disampaikan, prosedur yang cacat itu juga disampaikan ke Polda, tapi semua argumentasi kami itu tidak ditindaklanjuti," sambungnya.
Terkait hasil asesmen yang dilakukan P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, Resky menyatakan pihaknya menganggap itu tidak bisa dijadikan dasar penghentian penyelidikan. Menurutnya, sejak awal ada maladministrasi dan kecenderungan keberpihakan petugas P2TP2A Luwu Timur terhadap terlapor, yang merupakan ASN, sehingga asesmen yang diberikan tidak objektif.
Menurut Resky, seharusnya P2TP2A Luwu Timur tidak mempertemukan pelapor dengan terlapor. Pelapor seharusnya dilindungi dulu.
Resky menjelaskan pihaknya terus berupaya mengadvokasi kasus ini. Terakhir pihaknya sudah bersurat ke Mabes Polri agar bisa mengevaluasi dan membuka kembali kasus ini, meski menurutnya sampai saat ini belum ada kemajuan.
"Kami akan tetap desak Polri untuk membuka kasus ini kembali," tegasnya.(*)