Sejarah G30S PKI
Rekam Jejak Gatot Nurmantyo Eks Panglima TNI Dulu Disebut 'Kuda Hitam', Kini Dituding Agum Gumelar
Mantan Panglima TNI itu kini dituding bikin gaduh oleh Ketua Umum Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI Polri (PEPABRI), Jenderal TNI (Purn) Agum
5. Deklarasikan KAMI
Setelah sekian lama tak muncul, kini Gatot Nurmantyo ikut mendeklarasikan KAMI.
Saat deklarasi KAMI, Gatot Nurmantyo mengingatkan ancaman perang proksi atau proxy war di Indonesia.
"Pada tanggal 10 Maret 2014 saya berkesempatan dialog dengan civitas akademika Universitas Indonesia," kata Gatot dikutip dari akun Youtube Realita TV, Selasa (18/8/2020).
"Saya berbicara antara lain tentang proxy war, yang kini telah menjadi ancaman luar biasa terhadap kedaulatan suatu bangsa," lanjut dia.
Ia menegaskan, KAMI merupakan gerakan moral dan bukan ingin berkembang menjadi partai politik.
6. Dianggap jadi 'kuda hitam' di Pilpres 2024
Beberapa waktu lalu, lembaga riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis 15 nama tokoh yang dinilai berpotensi berlaga pada Pilpres 2024.
Dari 15 nama tersebut, ada nama Gatot Nurmantyo yang dianggap menjadi "kuda hitam" atau sosok yang dapat memberikan faktor kejutan.
Namun, pendapat berbeda justru disampaikan Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari yang menilai Gatot belum cukup kuat untuk maju dalam Pilpres 2024.
Menurut Qodari, elektabilitas Gatot Nurmantyo belum cukup kuat jika dihubung-hubungkan dengan Pilpres 2024 mendatang.
Hal itu, kata dia, bisa dilihat pada Pilpres 2019 lalu. Jika memang Gatot kuat, maka sudah pasti dia dipinang oleh partai politik untuk maju pilpres.
Sejarah G30S PKI
Tragedi kemanusiaan peristiwa Gerakan 30 September 1965 / G30S 1965 menyisakan luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban.
Gerakan 30 September 1965 adalah peristiwa penculikan 6 Jenderal dan 1 Perwira yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September" pada dini hari 1 Oktober 1965.
Kronologi peristiwa G30S tersebut melibatkan banyak tokoh, baik sebagai pelaku maupun korban, di antaranya: anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), internal anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan sebagainya.
Satu di antara jenderal militer yang menjadi target penculikan adalah Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani.

Berikut kronologis penculikan Letjen Ahmad Yani yang Tribunnewswiki.com himpun dari beberapa sumber.
Penulisan ini adalah bagian dari kajian data yang dimaksudkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Tidak ada niatan untuk membuka aib atau menyudutkan orang-orang atau organisasi yang terlibat.
Sampai tulisan ini diterbitkan, Tribunnewswiki.com masih terus melakukan validasi data.

Kronologi
Pada pagi hari, 1 Oktober 1965, Komandan Satuan Tugas (Satgas) Pasopati, Letnan (Inf) Doel Arif membentuk tujuh pasukan dari Satgas Pasopati di Lubang Buaya untuk menculik ketujuh jenderal.
Satu di antara tujuh jenderal yang akan diculik adalah Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani .
Dalam buku Julius Pour, G30S Fakta atau Rekayasa, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2013, hlm.2-6, pasukan yang bertugas menangkap Ahmad Yani dipimpin oleh Peltu Mukidjan dan Brigade Infantri I/Djaja Sakti.
Pasukan ini terdiri dari satu peleton Yin 530/Para Brawidjaja, satu Regu PPP AURI dan dua regu sukarelawan organisasi pemuda bernama Pemuda Rakyat, salah satu organisasi afiliasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah selesai briefing, pasukan yang akan menangkap Letjen Ahmad Yani dilaporkan telah berada di rumah target di Jalan Lembang.

Pemimpin regu Aisten Letnan Satu Mukidjan yang membawahi sekira satu setengah kompi pasukan yang dibawa dengan dua truk dan dua bus.
Mukidjan kemudian membagi regunya menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama menjaga bagian belakang, kelompok kedua menjaga bagian depan rumah, dan kelompok ketiga yang dipimpin langsung oleh Mukidjan dan Sersan II Raswad masuk ke halaman utama dan masuk rumah.
Mereka langsung berbincang-bincang dengan paa pengawal Yani dan mengatakan bahwa ada pesan penting dari presiden.
Saat para pengawal lengah, mereka kemudian disekap dan senjatanya dilucuti.
Saat Letjen Ahmad Yani muncul, Ruswad segera memberitahu bahwa Presiden Sukarno sangat membutuhkan Letjen Ahmad Yani sekarang juga.
Yani kemudian minta izin untuk mandi dan berganti pakaian, namun permintaannya ditolak.
Ketika Yani meminca izin untuk berganti pakaian, hal ini juga ditolak.
Letjan Yani geram dan memukul salah seorang di antara mereka. Yani kembali ke kamar dan langsung menutup pintu kaca.
Saat itulah, Raswad memerintahkan Sersan Dua Gijadi untuk menembak.
Tujuh peluru menembus kaca dan akhirnya membunuh Yani.
Jenasah Letjen Ahmad Yani kemudian diseret dengan pososo badan dan kepalanya berada di lantai.
Sumber:
Benedict Anderson dan Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, a.b. Galuh HE Akoso dan Yeri Ekomunajat, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal, Yogyakarta: LKPSM, 2001, hlm. 23-24
Amelia A. Yani, Achmad Yani Tumbal Revolusi, Yogyakarta: Galangpress, 2007, hlm. 18
(Sumber pustaka dan arsip diterbitkan dalam Kuncoro Hadi, dkk, Kronik'65 (Yogyakarta: Media Pressindo, 2017), hlm. 237-239)
Tribunnewswiki.com terbuka dengan data baru dan usulan perubahan untuk memperkaya informasi.
(Kompas.com/Tribunnews.com/Surya/Kompas.tv/TribunnewsWiki)
Sebagian artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul Biodata Agum Gumelar Mantan Danjen Kopassus yang Dukung Jenderal Andika Perkasa Jadi Panglima TNI