Klakson
Perang Kota
Hukum lex talionis(satu mata dibalas satu mata) seakan hidup di wilayah utara kota megah ini, kecamatan Bontoala dan sekitarnya.
Entah kapan sejarah perang kota dimulai di sana.
Tetapi rekan saya bilang, frekuensi perang di sana laksana resep obat dokter, tiga kali sehari.
Perang yang digencarkan bertubi-tubi bukan lagi problem hidup di sana.
Orang-orang terbiasa dengan itu.
Bila anak-anak sedang asyik menonton film kartun di layar TV lalu perang kelompok pecah di luar rumah—mereka bergegas keluar rumah menonton perang di layar nyata.
Tangis bayi di sana, bukan karena gemuruh perang, melainkan gigitan nyamuk atau pengap udara lantaran pemukiman yang padat.
Sebagian besar warga di sana seakan menganggap perang sebagai rutinitas.
Barangkali karena itulah, perang di sana bukan lagi sesuatu yang menakutkan.
Perang tak lagi mengerikan, tak lagi mencemaskan.
Di tengah wabah virus begini, masker tak laris di sana sebab yang dibutuhkan hanya batu dan busur sebagai ransum pokok peperangan.
“Prokes” tak berlaku di sana, yang absah hanya “proper” (prosedur perang).
PPKM sebagai metode siaga wabah juga tak terlalu ditaati, sebab siaga perang jauh lebih pokok.
Tetapi terjadi pergeseran jadwal perang kata rekan saya.
Dulu, perang kelompok berkecamuk di malam hari.
Kini, perang berdentum di pagi hari.