Sekolah Birokrasi
Membangun Pemerintahan yang Responsif Versi Guru Besar FISIP Unhas
"Nilai kemanfaatan tidak lagi mampu direalisasikan, sekadar melaksanakan tugas saja. Termasuk seringnya muncul bencana alam," katanya.
Penulis: Hardiansyah Abdi Gunawan | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pemerintahan yang responsif hari ini, adalah pemerintahan yang diidam-idamkan setiap warga negara.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin Makassar, Prof Dr Sangkala MA memaparkan, responsivitas adalah inti pemerintahan yang mampu menjamin adanya partisipasi warga negara dalam setiap kebijakan.
"Responsivitas ini juga berarti, lembaga dan kebijakan pemerintah itu bisa diakses, harus akuntabel, dan responsif terhadap kelompok kurang beruntung," kata Prof Dr Sangkala, dalam podcast Sekolah Birokrasi Seri #5, Jumat (17/9/2021).
Selain itu, sambung Prof Dr Sangkala, responsivitas pemerintah juga tentunya bisa melindungi kepentingan setiap warga negara dan memberikan kesempatan yang sama bagi masyarakat yang beragam untuk layanan publik yang lebih adil.
Lantas, mengapa pemerintahan yang responsif itu penting? Sangkala menyebutkan, beberapa negara telah membuat kemajuan ekonomi yang pesat.
"Tetapi keuntungan ini belum tentu diposisikan dengan baik dalam arti sama antara mereka maupun dengan kelompok-kelompok yang berbeda sehingga akibatnya banyak menimbulkan kerusuhan-kerusuhan sosial, demonstrasi-demonstrasi atas ungkapan ketidakpuasan," katanya.
Dampak itulah yang akan menghambat pembangunan ekonomi secara riil. Olehnya, kehadiran pemerintah yang responsif bisa mengentaskan permasalahan dasar dalam kelompok masyarakat manapun.
"Karena itu, pemerintahan yang responsif itu mengakui dan menangani tingkat pencapaian yang buruk dalam berbagai indeks pembangunan manusia," katanya.
Lalu, apa yang terjadi bila pemerintah hadir dengan tidak responsif terhadap suara rakyatnya?
Guru besar berusia 57 tahun itu menyebutkan, ketiadaan pemerintah yang responsif bisa berakibat memperlebar jurang antara kaya dan miskin dan kualitas pemberian layanan tentu sering kali terhambat.
"Nilai kemanfaatan tidak lagi mampu direalisasikan, sekadar melaksanakan tugas saja. Termasuk seringnya muncul bencana alam," katanya.
Implikasi lainnya adalah bisa mencegah negara melaksanakan hak asasi kepada masyarakat, akan menciptakan ketidaksetaraan sosial, dan ketidaksetaraan ekonomi yang terus menerus berlangsung.
Juga, akan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan mayarakat yang paling dirugikan terutama bagi kaum marginal.
Sangkala menyebutkan, untuk mewujudkan pemerintahan yang responsif, tentunya juga mengikuti perkembangan zaman kiwari ini.
"Pemerintah yang responsif ini akan kuat bila mampu memanfaatkan teknologi informasi, komunikasi yang berbasis pada internet atau website atau juga dengan melakukan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat kelompok-kelompok publik baik secara langsung maupun menggunakan media daring," katanya.