Podcast #KataNone
11 Tahun Berproduksi, Bukti Roti Taeng Tetap Eksis dan Dipercaya Konsumen, Begini Sejarahnya
Resepnya dibuat dan diproduksi oleh sang adik, sementara penjualan ditangani langsung oleh Diklawati Prasiska.
Penulis: Siti Aminah | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Roti tawar yang diproduksi oleh Roti Taeng merupakan usaha keluarga.
Owner Roti Taeng Bakery & pastry, Diklawati Prasiska membeberkan awal mula usaha ini berdiri.
Ia dan suaminya memilih merintis usaha bersama untuk memenuhi tuntutan kebutuhan rumah tangganya setelah memutuskan mundur dari pekerjaannya.
Usaha tersebut dirintis bersama adiknya yang punya background tata boga pada tahun 2010 lalu.
Resepnya dibuat dan diproduksi oleh sang adik, sementara penjualan ditangani langsung oleh Diklawati Prasiska.
"Mulanya buat 50 bungkus, kemudian saya keliling ke gadde-gadde untuk titip jual. Pertama kali menjual hanya dua yang laku," beber Diklawati Prasiska dalam live #KataNone.
Live #KataNone disiarkan langsung di Youtube Tribun Timur dan Facebook Tribun Timur Berita Online Makassar, pukul 20.00 Wita, Selasa (7/9/2021) malam.
Kata None adalah program inisiasi None dan Tribun Timur untuk saling menguatkan UMKM, saling bertemu meski melalui jaringan virtual dan berbagi di masa pandemi Covid-19.
Keyakinan Diklawati sekeluarga untuk melanjutkan usaha roti itu sangat tinggi.
Meski tak punya modal usaha (uang), setidaknya bermodal keyakinan bisa menjadi keyakinan untuk mengembangkan bisnis bakerynya.
Punya latar belakang yang kuat di sektor kebogaan juga menjadi salah satu modal besarnya.
"Ini resep keluarga karena kami punya basic ilmu secara teori dan itu yang dikembangkan sampai sekarang," jelasnya.
Asal muasal nama brand 'roti taeng' karena pada 2010 lalu, mereka adalah pembuat roti pertama di daerah Taeng Kabupaten Gowa.
"Sekarang kami sudah memasuki sebelas tahun menggeluti usaha roti ini," tuturnya.
Sejak awal, Roti Taeng Bakri & Pastry mempertahankan kualitas produknya dengan SOP yang telah dibuat.
Berapapun produksinya, cita rasanya akan tetap sama dengan tekstur yang lembut sebagai khasnya.
"Value kami ada di kualitas produk, 11 tahun masih bisa bertahan dan bertumbuh sampai sekarang tentu itu indikasi bahwa produk kami sudah punya market sendiri," ulasnya.
Meski begitu, ia mengaku belum bisa masuk ke retail nasional, modal dan jumlah produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Apalagi pola pembayaran retail nasional butuh waktu lama.
Sementara tiap pekan ia harus mendistribusi roti tersebut ke retail-retail skala nasional.
"Permasalahan kalua masuk retail nasional bukan hanya satu toko titik penjualannya, tapi menghitung beberapa ratus titik sementara pembayaran mereka bisa sebulan atau dua bulan," ungkapnya. (*)