Komunitas
Mengenal Komunitas To Lotang di Sidrap, Masyarakat Bugis Penganut Agama Hindu
Di tengah kounitas masyarakat Bugis di Kabupaten Sidrap, terdapat sebuah komunitas lain yang disebut To Lotang
TRIBUN-TIMUR.COM - Di tengah kounitas masyarakat Bugis di Kabupaten Sidrap, terdapat sebuah komunitas lain yang disebut To Lotang.
Meski berada di tengah masyarakat Bugis yang mayoritas beragama Islam, komunitas To Lotang ini menganut agama Hindu. Namun yang unik, di daerah itu tak ada bangunan pura, tempat ibadah umat Hindu.
Komunitas ini hidup dengan damai di tengah masyarakat Sidrap yang beragama Islam di Sidrap. Mayoritas warga Tolotang, tinggal di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidrap.
Kabupaten Sidrap merupakah salah satu kabupaten di Sulsel yang berjarak kurang lebih 200 km dari Kota Makassar.
Diiutip dari situs lokadata.id, berikut cerita tokoh adat Tolotang di Sidrap:
Menurut cerita Sunarto Ngate (70), salah seoran tetua adat Tolotang, alkisah, jauh sebelum Islam menyebar luas di Sulawesi Selatan, orang-orang Tolotang beranak pinak. Mereka percaya kepada Dewata Seuwae (Tuhan) bergelar Patotoe sebagai Yang Menentukan Takdir.
Kitab sucinya, Lontara. Sayang, kebakaran besar pada 1950-an di Amparita menghanguskan kitab-kitab tersebut.
Peristiwa lain yang membawa pengaruh adalah Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Tidak mudah bagi orang Tolotang melupakan sejarah kelam dimaksud. Para pemberontak memaksa banyak pendahulu Tolotang memeluk Islam. Tidak sedikit di antara mereka mati dibunuh.
Jauh sebelum itu, pemeluk Tolotang terusir dari tanah kelahirannya di daerah Wani, Wajo, karena Islam telah menjadi agama resmi kerajaan.
Mereka pun hijrah. Upaya mencari daerah baru yang mau menerimanya tersendat karena saat terusir itu justru terjadi perpecahan di antara mereka.
Segolongan orang dipimpin oleh I Goliga, yang akhirnya tiba di wilayah Bacukiki Parepare. Dan kelompok lain berada di bawah kuasa I Pabbere di Amparita, Sidrap.
Berkat Perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi, penguasa Sidenreng Rappang kala itu, penganut Tolotang bisa menetap di Amparita hingga sekarang.
Sebutan Towani kemudian disematkan karena mereka berasal dari daerah bernama Wani di Kabupaten Wajo, yang berarti orang-orang dari Wani. Tolotang nan sejak tadi disebut berarti orang-orang dari selatan, karena wilayah Wani berada di bagian selatan Amparita.
Meski telah menemukan tempat bermukim, penganut Tolotang belum sepenuhnya aman. Pada 1965 mereka lagi-lagi tertantang. Tidak sedikit darinya dituduh sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI).
Surat keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Hindu No. 2/1966 menjadi penyelamat. Towani Tolotang dianggap sebagai bagian dari Hindu. Para penganut Tolotang sontak menerima lantaran kebijakan pemerintah yang memaksa. Pilihan tersebut sekaligus menghapus anggapan ateis dari khalayak terhadap mereka.
Meski telah memilih Hindu, tradisi dan ritual keagamannya masih mengikuti ajaran leluhur. Mereka pun menahbiskan diri sebagai sekte Hindu dan tetap menolak memiliki pura sebagai tempat ibadah.
Mereka menyepakati keputusan tersebut alih-alih permintaan PHDI tentang pembangunan pura di Sidrap. Orang-orang itu berkeras menolak. Padahal, banyak di antaranya telah belajar ke Bali untuk menjadi guru agama Hindu. Orang Tolotang teguh bersikap: mereka Hindu yang berbeda.
"Tidak ada gunanya membangun pura. Orang Tolotang sudah punya tempat ibadah sendiri. Jangan sampai dibangun malah tidak ada yang datang," kata Uwa Narto menjelaskan alasan penolakan. Meski begitu, ia menyampaikan terima kasih atas kepercayaan umat Hindu menampung mereka.
Walau kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk mereka bertulis Hindu, tapi mereka tetap menjalankan agama Tolotang. Bahkan, sebetulnya, nyaris tak ada ritual yang serupa dengan Hindu.
Sebagai contoh, orang Tolotang melakukan ritual Sipulung sebagai perayaan terbesar keagamaan. Sipulung bak Natal bagi umat Kristiani atau Lebaran bagi Muslim. Penganut Tolotang dari seluruh penjuru dunia akan pulang dan berkumpul di Perrinyameng, makam I Pabbere. Nama disebut terakhir adalah tokoh yang sangat disegani dan dicintai orang Tolotang.
Ritual tersebut tertutup bagi komunitas luar. Di dalamnya berlaku banyak agenda. Salah satunya, tradisi Massempe (adu tendangan dengan kekuatan kaki). Kini, kebiasaan itu hanya dilakukan anak kecil.
Bagi orang Tolotang, musyawarah sudah menjadi tradisi. Bahkan, keputusan mengenai ritual Sipulung--yang dilakukan sekali setahun--harus diambil lewat musyawarah para tetua adat. Sipulung terjadi pada tiap Januari. Musyawarah tinggal menentukan tanggalnya saja.
"Kalian terlambat, baru saja kami menggelar Sipulung," katanya menanggapi ketika kami hendak melihat ritual mereka.
Meski ritual itu tertutup, bukan berarti tidak boleh dikunjungi. Orang luar hanya boleh melihat ke beberapa lokasi. Begitu pun, ada ritual yang tak boleh diabadikan. Tindakan ini mereka lakukan karena menghargai pengorbanan leluhur, selain memang tempat dimaksud sakral.(*)