La Maddukelleng
Begini Perjuangan La Maddukelleng Pada Masa Muda hingga Melawan Penjajah Belanda di Wajo dan Sulsel
La Maddukelleng dianugerahi Pahlawan Nasional karena berhasil membebaskan Wajo dan Sulawesi Selatan dari kekuasaan Belanda.
TRIBUN-TIMUR.COM - Salah seorang pahlawan di Provinsi Sulawesi Selatan adalah La Maddukelleng.
La Maddukelleng dikenal sebagai bangsawan yang tinggal di lingkungan istana dan sering dipanggil Arung Singkang dan Arung Peneki.
Julukan Maddukelleng dari Suku Wajo adalah Petta Pammadekaenggi, berarti Tuan yang memerdekakan Wajo.
Ia juga dikenal sebagai seorang ksatria, mantan perampok atau bajak laut.
La Maddukelleng dianugerahi Pahlawan Nasional karena berhasil membebaskan Wajo dan Sulawesi Selatan dari kekuasaan Belanda.
Taktik yang ia gunakan adalah dengan mengadakan hubungan dagang bersama daerah-daerah yang sering mengadakan transaksi dengan Belanda, sehingga perdagangan Belanda dapat diputuskan.
La Maddukkelleng meninggal di Sulawesi Selatan pada tahun 1765, dimakamkan di Sengkang.
Pada tanggal 6 November 1998 Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/1998 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
Kisah Perjuangan La Maddukelleng
La Maddukelleng merupakan bangsawan Kesultanan Paser yang dianugerahi Pahlawan Nasional karena perjuangannya mengusir Belanda dari Kerajaan Wajo.
La Maddukelleng lahir di Wajo, Sulawesi Selatan dari pasangan Arung Peneki La Mataesdso To Ma'dettia dan W Tenriangka Arung Singkang.
Sejak kecil La Maddukelleng tinggal di lingkungan istana dan sering dipanggil Arung Singkang dan Arung Peneki.
Nama La Maddukelleng dikenang sebagai mantan perompak atau bajak laut di Wajo, Sulawesi Selatan.
Di bawah pemerintahaannya, La Maddukelleng berhasil membebaskan Wajo dan Sulewasi Selatam dari kekuasaan Belanda.
Julukan Maddukelleng dari Suku Wajo adalah Petta Pammadekaenggi, berarti Tuan yang Memerdekakan Wajo.
Masa Muda
Sejak berusia 9 tahun, La Maddukelleng meninggalkan tanah kelahirannya dan tinggal di Kerajaan Wajo.
Pada usia 11 tahun, La Maddukelleng berhasil membunuh 11 orang saat baru saja disunat.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai pesta sabung ayam yang saat itu berlangsung.
Akibat perkelahian yang terjadi, hubungan kerajaan Wajo dan kerajaan Bone menjadi kurang harmonis.
Pada 1714, La Maddukelleng pergi ke Johor (sekarang Malaysia) dari Peneki menggunakan perahu.
Saat itu ia bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko yang merupakan pedagang kaya Johor.
Sultan Pasir
La Maddukelleng memulai perjuangannya pada tahun 1715 saat membantu Daeng Parani melawan Johor yang kemudian berhasil mereka menangkan.
Pada tahun 1726, La Maddukelleng diangkat menjadi Sultan Pasir Kalimantan Timur.
Sebelumnya La Maddukelleng menikah dengan Puteri Sultan Sepuh Alamsyah Raja Pasir yang bernama Anding Anjang.
Keduanya dikaruniai seorang anak bernama Aji Doya yang kemudian akan menikah dengan Muhammad Idris, Raja Kutai dan berganti nama menjadi Putri Agung.
Anak-anak La Maddukelleng lainnya, Petta To Sibengngareng, Petta Rawe, serta Petta To Siangka.
Selama di Pasir, Kalimantan, La Maddukelleng selalu berusaha mempertahankan adat istiadat kerajaan Wajo.
Padahal saat itu kerajaan Wajo sedang diduduki oleh Kerajaan Bone.
Banyak orang-orang Wajo yang pergi ke Pasir untuk meminta pertolongan La Maddukelleng.
Karena menjadi padat, La Maddukelleng mencari tempat pemukiman baru di Kutai.
Raja Kutai kemudian menyetujui permintaan La Maddukelleng dengan syarat bahwa orang-orang Wajo tersebut harus mengikuti aturan dan ketentuan Raja Kutai.
Sebagai Sultan Pasir, La Maddukelleng mengangkat La Banna To Assa sebagai panglima dan membangun armada laut untuk mengacaukan pelayaran di Selat Makassar.
10 tahun La Maddukelleng menjabat, ia menerima surat dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang mengajaknya pulang ke Wajo untuk menghadapi Kerajaan Bone.
Perjuangan di Wajo
La Maddukelleng mulai membentuk pasukan dan menyiapkan persenjataan armadanya.
Pasukan La Maddukelleng dibagi menjadi dua, pasukan laut yang dikomando oleh La Banna To Assa dan pasukan darat yang dikomando oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo.
Seluruh pasukan merupakan orang-orang terpilih yang mahir bertempur di laut dan darat Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dan Sulawesi.
Dalam perjalanan menuju Makassar, armada La Maddukelleng diserang dua kali pada 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734.
Namun armada Belanda berhasil didesak mundur setelah perang selama dua hari.
Begitu sampai di dekat pulau Lae-lae dan benteng Rotterdam, armada La Maddukelleng ditembak dengan meriam namun pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh La Maddukelleng.
Ratu Bone yang gagal membendung pasukan La Maddukelleng kemudian menuntut Arung Matowa Wajo untuk tidak memberi kesempatan La Maddukelleng untuk mendarat di Wajo.
Tuntutan itu ditolak karena menurut Arung Matowa Wajo, hak-hak asasi rakyat Wajo terjamin dalam perjanjian pemerintahan di Lapadeppa.
La Maddukelleng berhasil tiba di Singkang melalui Doping pada 24 Mei 1736.
Berdasarkan Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), La Maddukelleng pergi ke persidangan dan menjelaskan alasannya meninggalkan Bugis dan pertempurannya melawan Belanda.
La Maddukelleng diangkat menjadi Arung Matowa Wajo XXXIV ketika La Salewangeng Arung Matowa Wajo bertambah tua.
Penobatan La Maddukelleng digelar pada Selasa, 8 November 1736 di Paria.
Melawan Penjajah
Pertempuran melawan Belanda berasal dari ajakan La Maddukelleng ke Bone dan Soppeng pada tahun 1737.
Menurut La Maddukelleng, jika dibiarkan Belanda berkuasa di Sulawesi maka kerajaan-kerajaan di Makassar akan mengalami kehancuran.
Bone dan Soppeng awalnya menerima ajakan La Maddukelleng namun keduanya mundur.
La Maddukelleng akhirnya berangkat sendiri ke Makassar dalam dua kali ekspedisi yang gagal kedua-duanya.
La Maddukelleng kembali ke Wajo dan mulai memperkuat pertahanannya karena yakin Belanda akan menyerang balik.
Pada tahun 1741, VOC menyerang bersama Bone, Soppeng, Luwu, Buton dan Tanete di bawah komando Admiral Adriaan Smout.
Namun dengan gigih, La Maddukelleng berhasil mempertahankan diri bahkan berhasil memukul mundur VOC dari Lagosi dengan bantuan Pilla Pallawa Gau, dan La Banna To Assa serta menantunya Sultan Aji Muhammad Idris.
Pahlawan Nasional
La Maddukelleng memiliki visi untuk membebaskan Sulawesi dari penjajahan, tidak hanya di Wajo.
Dengan wawasannya, La Maddukelleng bahkan memperluas wilayah Wajo.
Pemerintahannya berakhir setelah menjadi Arung Matowa Wajo karena banyak anggota pasukannya yang sudah jenuh berperang.
Karena kekuatan militernya yang melemah, La Maddukelleng mengundurkan diri dan meninggal pada 1965.
Jasad La Maddukelleng dikebumikan di Sengkang, tepatnya di Jalan A. P. Pettarani Sengkang.(*)