Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kisah Pahlawan

Kisah Arung Palakka, Dicap Pengkhianat Namun Dianggap Pahlawan di Bone

Pemuda berusia 11 tahun tersebut adalah putra mahkota Kerajaan Bone. Di usianya yang masih belia, ia menjadi tawanan Kesultanan Gowa di Makassar.

Editor: Muh. Irham
int
Patung Arung Palakka 

TRIBUNTIMUR.COM - Di tahun 1660, seorang pemuda asal Bone, merasa geram. Pasalnya, lebih dari 10 ribu orang dari Bone, dipaksa bekerja menggali kanal sepanjang pesisir Makassar. Mereka dibawa ke Gowa atas perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone, Tobala.

Kanal itu digali sebagai garis pertahanan peperangan melawan Belanda atau VOC.

Pemuda berusia 11 tahun tersebut adalah putra mahkota Kerajaan Bone. Di usianya yang masih belia, ia menjadi tawanan Kesultanan Gowa di Makassar.

Meski dia terlibat aktif di Istana Gowa dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya menderita.

Maka tidak heran, impian untuk bisa melepaskan diri dari kekuasaan Gowa selalu tertanam di hati dan pikirannya.

Apalagi ketika banyak para pekerja paksa itu yang sakit dan meninggal dunia. Sebagian juga melarikan diri.

Akibatnya, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng diperintahkan keluar dari istana dan bekerja bersama rakyatnya.

Hal inilah yang melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat Bone dan Soppeng, karena junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tidak seharusnya.

Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bone dan Soppeng dan menebalkan pacce di antara mereka.

Kelak, cita-cita itu akhirnya terwujud meskipun harus dilakukan dengan pertaruhan yang amat besar. Arung Palakka terpaksa bekerjasama dengan kaum penjajah untuk membebaskan rakyat Bone dari penjajahan Gowa.

Itulah sebabnya citra Arung Palakka hingga kini terbelah menjadi dua, antara pahlawan atau pengkhianat, antara surga dan neraka.

Arung Palakka lahir 15 September 1634. Ia adalah putra Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’e Ri Bukaka.

Meskipun berstatus sebagai pangeran, bukan berarti Arung Palakka bisa menikmati hidup enak. Sebaliknya, ia terlahir dalam suasana konflik antar-kerajaan di Sulawesi Selatan.

Polemik tersebut sebenarnya terjadi jauh sebelum Arung Palakka dilahirkan. Setidaknya ada 4 kerajaan yang terlibat, yaitu Bone, Soppeng, Wajo, dan Gowa-Tallo.

Dari keempatnya, Gowa-Tallo adalah kerajaan yang paling berpengaruh dan bernafsu untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Puncak pertikaian terjadi saat Gowa-Tallo resmi menjadi kerajaan Islam pada 1605. Seperti dicatat dalam Sejarah Nasional Indonesia, Volume 3 (2008), Kerajaan Gowa—yang sudah berganti corak menjadi kesultanan—mulai memaksa tiga kerajaan lainnya untuk menganut agama yang sama sekaligus meluaskan pengaruh politiknya (hlm. 83).

Bone yang berpuluh-puluh tahun sebelumnya cukup merepotkan Gowa akhirnya harus menyerah pada 1611.

Sejak saat itu, Bone ikut menganut ajaran Islam dan menjadi taklukan Gowa.

Meskipun begitu, kedudukan raja Bone masih diakui dan sempat dimerdekakan kendati rangkaian konflik masih saja terjadi di era-era setelahnya.

Tahun 1643, Bone benar-benar jatuh dan wilayahnya diperintah langsung oleh Sultan Gowa. Peristiwa tersebut terjadi ketika Bone dipimpin Sultan La Maddaremmeng yang tidak lain adalah ayahanda Arung Palakka.

Takluknya Bone kepada Gowa membuat Arung Palakka dan keluarganya dijadikan tawanan.

Sejak umur 11, ia sudah merasakan bagaimana pedihnya hidup tanpa kebebasan kendati perlakuan keluarga Kesultanan Gowa terhadapnya tidak terlalu buruk.

Di lingkungan Istana Gowa, Arung Palakka dan keluarganya dijadikan pelayan di kediaman Perdana Menteri Gowa, Karaeng Pattinggaloang.

Namun Pattinggaloang tetap menaruh respek kepada keluarga Arung Palakka, dan Arung Palakka pun tumbuh menjadi seorang pemuda cerdas dan gagah di bawah bimbingannya (hlm. 124).

Hingga suatu ketika, Arung Palakka akhirnya bisa terbebas dari cengkeraman Gowa setelah terjadi aksi pemberontakan orang-orang Bone yang dipimpin Tobala.

Tobala sebenarnya adalah orang Bone yang ditunjuk sebagai Regent atau Bupati Bone sebagai kepanjangan tangan dari Gowa.

Lari dari Gowa, Arung Palakka kemudian berlindung di Kesultanan Buton. Selama tiga tahun tinggal di Buton yang saat itu dipimpin La Sombata atau Sultan Aidul Rahiem, Arung Palakka bersiap untuk melakukan pembalasan.

Dibantu beberapa mantan petinggi Kesultanan Bone yang masih setia, Arung Palakka melancarkan serangan terhadap Gowa dan berhasil membebaskan orang-orang Bone yang dipekerjakan paksa.

Sayangnya, Tobala tewas dalam peperangan tersebut. Arung Palakka terpaksa mundur. Untuk meraih kemenangan, ia belum sanggup lantaran armada militer Gowa masih terlalu kuat, bahkan membuatnya kian terdesak. Arung Palakka pun terpaksa melarikan diri karena menjadi target utama pasukan Gowa yang mencarinya sampai ke Buton.

Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain, ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi.

Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar jauh ke Batavia, tepat di mana pusat kekuasaan VOC berada. Oleh VOC ia diberi daerah di pinggiran Kali Angke, hingga ia disebut To Angke atau orang Angke.

Selain untuk menyelamatkan diri dari kejaran Gowa, Arung Palakka ternyata harus membuktikan terlebih dulu bahwa ia memang benar-benar butuh bantuan VOC.

VOC mengizinkan Arung Palakka dan orang-orangnya menetap di Batavia—inilah asal-muasal Kampung Bugis yang kini berada di wilayah Jakarta Utara.

Namun mereka harus membantu VOC sekaligus sebagai pembuktian diri bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh dan dapat diandalkan.

Kehadiran Arung Palakka sangat menguntungkan VOC. Seperti dicatat Anthony Reid dalam Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (2000), ia menjadi salah satu kunci keberhasilan VOC dalam menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara, bersama Cornelis Speelman yang asli Belanda dan mantan pemimpin kelompok bersenjata dari Maluku, Joncker Jouwa de Manipa alias Kapiten Jonker.

Arung Palakka adalah orang yang memimpin penaklukan Sumatra dan menghancurkan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC.

Kisahnya berawal pada tahun 1662, ketika dibuat Perjanjian Painan antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang yang bertujuan memonopoli perdagangan di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido.

Namun rakyat Minangkabau marah dan mengamuk pada tahun 1666, menewaskan Jacob Gruys, perwakilan VOC di Padang.

Arung Palakka pun dikirim VOC ke Minangkabau, dan bersama pasukannya ia berhasil mematahkan perlawanan rakyat Minangkabau dan menaklukkan seluruh pantai barat Sumatera, serta memutus hubungan antara Minangkabau dengan Aceh

Setelah menunggu lima tahun, keinginannya untuk melawan Kerajaan Gowa pun terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke ("Orang Angke", diambil dari Kali Angke yang mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat membantu memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi Gowa yang dinilai mengganggu kepentingan ekonomi VOC.

Pada 24 November 1666 armada besar bertolak dari pesisir utara Batavia menuju Celebes, terdiri dari 21 kapal perang yang mengangkut 1.000 prajurit.

Pasukan Arung Palakka yang beranggotakan 400 orang semakin percaya diri berkat bantuan VOC yang menyumbangkan 600 orang tentaranya dari Eropa yang paling terlatih.

Mereka berangkat dengan satu tujuan: mengalahkan Gowa yang saat itu dipimpin seorang raja perkasa berjuluk Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.

Dan terjadilah pertempuran legendaris itu. Gowa pada akhirnya menyerah, dan tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai kemenangan VOC dan Arung Palakka.

Arung Palakka dan Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu milik Kerajaan Gowa dan lalu menguasai perdagangan di Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku.

Speelman akhirnya berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681. Sedangkan Kapiten Jonker adalah orang yang berhasil menangkap Trunojoyo dan mematahkan perlawanan para pengikutnya.

Namun kejayaan selamanya selalu dekat dengan kehancuran. Seorang perwira asal Perancis bernama Isaac declornay de Saint Martin, berhasil mengungkap korupsi yang dilakukan Speelman sehingga ia dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur Jenderal.

Isaac pun mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk segera menyingkirkan Kapiten Jonker. Daerah kekuasaan Kapiten Jonker di Pejonkeran Marunda pun dikepung dan diserbu.

Kapiten Jonker terbunuh, kepalanya dipancung dan dipamerkan kepada khalayak ramai. Para pengikutnya juga dibunuh, dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.

Dikukuhkan sebagai Sultan Bone

Pada 1672 Arung Palakka dinobatkan sebagai Sultan Bone. Impiannya menjadi kenyataan. Ia memang hanya menuntut haknya kembali sebagai pewaris takhta Bone, sekaligus membebaskan Bone dari penguasaan Gowa dan membalaskan dendamnya, meskipun dengan cara yang tidak bisa memuaskan semua pihak.

Buku-buku sejarah yang beredar selama ini lebih cenderung menempatkan Arung Palakka selaku sosok pengkhianat, dan sebaliknya, Sultan Hasanuddin sang Sultan Gowa selalu diidentikkan sebagai pahlawan besar.

Namun sebagian masyarakat Bone meyakini bahwa Arung Palakka adalah orang paling berjasa. Dan bukan tanpa alasan dibuatnya patung Arung Palakka yang berdiri gagah di Watampone, ibu kota Bone. Arung Palakka memimpin Kesultanan Bone selama 24 tahun atau sampai akhir hayatnya.

Ia meninggal dunia pada 6 April 1696, tepat hari ini 323 tahun lampau. Hingga kini, jalan hidupnya masih menyisakan pro-kontra, antara pahlawan atau pengkhianat.

Arung Palakka menjadi pengingat bahwa baik Arung Palakka maupun Sultan Hasanuddin telah melakukan apa yang mereka pikir terbaik bagi rakyat dan wilayahnya masing-masing.

Sayang sekali bahwa waktu telah membuat mereka berada di seberang jalan yang berbeda. Namun waktu juga bisa memberi ruang yang cukup bagi keturunan mereka untuk belajar dari konflik yang pernah terjadi, untuk mengubur luka lama, untuk lebih bijak, dan untuk bersatu membangun kehidupan masa depan yang lebih baik. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved