Kisah Pahlawan
Kisah Arung Palakka, Dicap Pengkhianat Namun Dianggap Pahlawan di Bone
Pemuda berusia 11 tahun tersebut adalah putra mahkota Kerajaan Bone. Di usianya yang masih belia, ia menjadi tawanan Kesultanan Gowa di Makassar.
Speelman akhirnya berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681. Sedangkan Kapiten Jonker adalah orang yang berhasil menangkap Trunojoyo dan mematahkan perlawanan para pengikutnya.
Namun kejayaan selamanya selalu dekat dengan kehancuran. Seorang perwira asal Perancis bernama Isaac declornay de Saint Martin, berhasil mengungkap korupsi yang dilakukan Speelman sehingga ia dicopot dari jabatannya sebagai Gubernur Jenderal.
Isaac pun mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk segera menyingkirkan Kapiten Jonker. Daerah kekuasaan Kapiten Jonker di Pejonkeran Marunda pun dikepung dan diserbu.
Kapiten Jonker terbunuh, kepalanya dipancung dan dipamerkan kepada khalayak ramai. Para pengikutnya juga dibunuh, dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Dikukuhkan sebagai Sultan Bone
Pada 1672 Arung Palakka dinobatkan sebagai Sultan Bone. Impiannya menjadi kenyataan. Ia memang hanya menuntut haknya kembali sebagai pewaris takhta Bone, sekaligus membebaskan Bone dari penguasaan Gowa dan membalaskan dendamnya, meskipun dengan cara yang tidak bisa memuaskan semua pihak.
Buku-buku sejarah yang beredar selama ini lebih cenderung menempatkan Arung Palakka selaku sosok pengkhianat, dan sebaliknya, Sultan Hasanuddin sang Sultan Gowa selalu diidentikkan sebagai pahlawan besar.
Namun sebagian masyarakat Bone meyakini bahwa Arung Palakka adalah orang paling berjasa. Dan bukan tanpa alasan dibuatnya patung Arung Palakka yang berdiri gagah di Watampone, ibu kota Bone. Arung Palakka memimpin Kesultanan Bone selama 24 tahun atau sampai akhir hayatnya.
Ia meninggal dunia pada 6 April 1696, tepat hari ini 323 tahun lampau. Hingga kini, jalan hidupnya masih menyisakan pro-kontra, antara pahlawan atau pengkhianat.
Arung Palakka menjadi pengingat bahwa baik Arung Palakka maupun Sultan Hasanuddin telah melakukan apa yang mereka pikir terbaik bagi rakyat dan wilayahnya masing-masing.
Sayang sekali bahwa waktu telah membuat mereka berada di seberang jalan yang berbeda. Namun waktu juga bisa memberi ruang yang cukup bagi keturunan mereka untuk belajar dari konflik yang pernah terjadi, untuk mengubur luka lama, untuk lebih bijak, dan untuk bersatu membangun kehidupan masa depan yang lebih baik. (*)