Inspirasi Ramadan Hamdan Juhannis
Bumi Kebermaknaan (19): Hiduplah Selagi Masih Hidup
Saat itu, mereka yang terkena penyakit tersebut harus menjalani karantina. Pupuslah harapan keluarga ini untuk ikut ke kapal Titanic super besar itu
Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -Masih ingat cerita tengelamnya kapal Titanic?
Pastinya, karena menjadi salah satu produksi termahal dan terbanyak ditonton dalam sejarah perfilman.
Namun ada sisi lain yang ingin saya ceritakan dibalik tenggelamnya kapal tersebut.
Sekadar menyegarkan ingatan sejarah kita bahwa kapal tersebut ingin berlayar ke New York City dari Southampton, Inggeris.
Kapal Titanic tenggelam di Samudra Atlantik Utara, 400 mil dari Newfoundland, Kanada.
Konon, banyak penumpang dari kapal tersebut berimigrasi ke Amerika dengan tujuan untuk memperbaiki hidup mereka, istilahnya: menuju ke pulau impian.
Tersebutlah ada satu keluarga yang sudah mendambakan sejak lama untuk ikut di kapal Titanic tersebut, dengan tujuan untuk merajut hidup baru di di daratan Amerika, tentu dengan segala mimpi dan janji perubahan yang mereka sudah genggam erat.
Yang dilakukan keluarga ini adalah bekerja siang malam untuk bisa membeli tiket keluarga mereka,
suami isteri dan anak-anaknya.
Tibalah hari berangkatnya.
Namun salah satu anak mereka terkena rabies.
Saat itu, mereka yang terkena penyakit tersebut harus menjalani karantina.
Pupuslah harapan keluarga ini untuk ikut ke kapal Titanic super besar tersebut.
Pupuslah impian perubahan yang mereka dambakan siang malam.
Kerja siang-malam suami-isteri menjadi sia-sia, karena tiket kapal Titanic di tangan mereka berubah menjadi kertas sampah yang tak berguna.
Lalu apa yang terjadi dengan keluarga itu?
Mereka akhirnya berbahagia tak terkira dengan penyakit rabies yang diderita oleh salah satu anggota keluarganya setelah mendengar kabar karamnya kapal Titanic.
*****
Cerita di atas memiliki padanan dengan cerita-cerira lain yang mungkin pernah menimpa kita, hanya settingnya yang berbeda.
Saya sengaja mengambil contoh cerita Kapal Titanic supaya terkesan besar dan dramatis seperti besarnya dan dramatisnya perjalanan Kapal Titanic itu sendiri.
Saya hanya kembali kepada jargon kemarin, "Hiduplah selagi masih hidup."
Jargon ini bermakna kemampuan membermaknai kehidupan, kemampuan menarik keyakinan terhadap hikmah dari setiap masalah yang dihadapi, atau kemampuan memberi isi dari kehampaan yang dihadapi, kemampuan menghidupi kehidupan.
Kegagalan kita adalah sering sebatas menghafal untaian-untaian penguat jiwa, di saat jiwa lagi kuat; di balik kesusahan terdapat kemudahan, setelah mendung muncul matahari, setelah ombak pasti muncul laut yang teduh, dan seterusnya.
Tetapi ketika kita mengalami keresehan jiwa, ajaran dan ujaran penguat jiwa tersebut terbang gentayangan.
Padahal ketika masalah hadir sudah pasti disiapkan perangkat hikmah yang mengikuti masalah itu.
Yang dibutuhkan adalah kemampuan memainkan keyakinan terhadap hikmah dari setiap musibah yang dihadapi.
Keyakinan tentang semakin besarnya musibah, semakin besar pula hikmahnya.
Keyakinan menghasilkan pengalaman keberagamaan dan sifatnya subyektif.
Itulah, mari belajar kepada subyek-subyek yang merasakan hikmah dari keyakinan itu di sekitar kita, tidak mesti pada orang-orang dalam cerita musibah Kapal Titanic.
Pada musibah angin kencang beberapa hari lalu di Makassar, ada teman yang mobilnya ringsek terkena pohon persis saat memarkir.
Dia cukup tenang sementara teman-teman lainnya pada bersedih melihat mobilnya yang hancur.
Dia hanya mengatakan, apa yang terjadi pada saya sekiranya tidak dilindungi oleh mobil?
What a remarkable response.(*)