Mukjam Ramadan
HUDAN LINNAS; Kisah Kegigihan Jundub bin Junadah Mencari Lailatul Qadr hingga Akhir Hayat
Nama jahiliyahnya, Jundub bin Junadah bin Sakan (572-652 M). Setelah bersyahadat; sekitar 607 Masehi, nama Islamnya menjadi Abu Zarr al Ghifary.
Thamzil Thahir, Editor In Chief Tribun Timur
ANDA termasuk pribadi yang selalu mencari tahu atau menantikan turunnya malam yang ditetapkan (Lailatul Qadr/ Lailatul Qadar) di Bulan Ramadan?
Sebaiknya Anda menyimak kisah sahabat Rasullah satu ini.
Nama jahiliyahnya, Jundub bin Junadah bin Sakan (572-652 M).
Setelah bersyahadat; sekitar 607 Masehi, nama Islamnya menjadi Abu Dzar Al Ghifari (ابو ذار الغفارى).
Abu berarti Sang atau Bapaknya Si; Zaarr bisa bermakna gigih.
Sedang Alghifari merujuk nama kabilah pengembara gurun pasir ternama dari Hijaz, sebelah barat Mekkah.
Seberapa dekat Jundub dengan Rasulullah?
Bagi mereka yang belajar ilmu mustalahul hadits, kedekatan itu merujuk seberapa lama ia hidup dengan Muhammad bin Abdullah, dan atau seberapa banyak hadits yang ia riwayatkan.
Ibn Hazm, pakar hadits abad pertengahan dalam manuskripnya, Jawami’us Sira, risalah atas Musnad Imam Ahmad, menyebut Jundub sebagai "top 15 sahabat perawi hadits terbanyak" ; #281 hadits.
Urutan tertinggi adalah Abu Hurairah RA (Abd Rahman Addauzi Asshrani; 604-672 M). Ia satu-satunya, sahabat berjuluk sahibul uluf (sahabat perawi seribu hadits); #5374 hadits.
Urutan kedua adalah Abdullah ibn Mas’ud (#848), Abdullah ibn Amr ibn al-Asi (#700).
Istri Rasulullah Aisah RA (#2210) dan di bawah Anas ibn Malik (#2286).
Umar ibn'ul Khattab RA merawikan ( #537 hadits) dan Ali ibn Abu Talib RA meriwayatkan ( #536).
Sekadar perbandingan, total hadits yang dirawikan Abu Dzar "mengalahkan" dua dari emoat sahabat paling utama; Usman ibn Affan RA (#146) dan Abu Bakr as-Siddiq RA ( #142) hadits.
Jauh sebelum kelahiran Nabi, Kabilah atau Suku Ghifar termasuk komunitas tanpa tanding soal kegigihan menempuh jarak di gurun sahara Arab.
Mereka luar biasa; baik safar dengan onta atau dengan tanpa ternak pengangkut.
Kegigihan kabilah ini diabadikan dalam puisi tua Arab;
::;Ghifar adalah lampu Pekatnya malam.
Celakalah orang yang kesasar dari tangan kaum Ghifar di gulita malam.;;;
Abu Dzar termasuk pionir berTasyahhudnya sejumlah sahabat pejuang dari kabilah ini, antara lain: Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, dan sepupu wanitanya Ramlah al-Ghifariyah.
Kesetiannya ke Rasulullah sudah dimulai sejak masa Dakwah pertama di Mekkah.
Bahkan kepada Kafir Quraish Mekkah, pimpinan Abu Lahab eks besan Rasulullah, dia terang-terangan mengumumkan keIslamannya di tribun Kakbah.
Padahal Ghifari adalah kabilah aliansi utama Quraish, sebagai distributor dagangan ke penjuru Semenanjung Arab.
Kesetiaan Abu Dzar kepada Rasulullah dibuktikan di Perang Tabuk 9 Hijriyah, (630 masehi).
Abu Dzar menjadi petunjuk jalan di perang terakhir Rasulullah menaklukkan Byzantium, timur Roma.
Sekadar diketahui, jarak Tabuk dengan Madinah sekitar 680 km.
Inisiatif perjalanan Perang ini dimulai Bulan Rajab dan kemenangan diraih 5 Ramadan.
Butuh 20 hari perjalanan darat untuk kembali ke Madinah.
Pasukan tiba di gerbang kota tepat di malam sahur 26 Ramadan.
Di akhir perjalanan pulang di Bulan Ramadan itulah Abu Dzar terus bertanya kepada Rasulullah soal Lailatul Qadr.
Kegigihan ingin tahunya itu selalu dijawab Rasulullah, sebagimana mengutip Surah Al Qadr (1-5) dan ayat 185 Surah Albaqarah soal kemuliaan Ramadan, bulan diturunkannya Alquran.
Ibn Katsir saat menafsirkan Lailatul Qadr menukil riwayat kegigihan Abu Dzar dengan haditsnya saat ditanya kapan waktu persis turunya malam yang melebihi 1000 bulan itu;
;;Carilah Lailatul Qadar dalam sepuluh malam terakhirnya, jangan kamu bertanya lagi mengenai apapun sesudah ini."(HR Ahmad)
Dan sejak itu, Abu Dzar tak pernah bertanya lagi, hingga masuknya Ramadan terakhir Nabi di tahun ke-10 Hijriyah.
Perihal kegigihan dan kesetiaan Abu Dzar, inilah juga hingga Rasulullah, meramalkan akhir hidup Sang Sahabat.
Al kisah, di pertengah Ramadan dalam perjalanan dari Tabuk ke Madinah, keledai milik Abu Dzar melemah dan terluka.
Akhirnya ia rela berjalan kaki memikul bawaannya, pakaian, dan hasil rampasan perang.
Padahal cuaca bulan ke-9 Hijriyah (Ramadan) adalah puncak musim panas yang menyayat dan berkilau.
Nah, saat itulah Abu Dzar keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW.
Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh.
Setelah ditanya mengapa air di kantung kulit unta itu tak ia minum, sosok kritis dan selalu bertanya ini menjawab;
"Di perjalanan saya temukan mata air. Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya."
Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, "Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak mengurus pemakamanmu."
Dan takwil kematian Abu Dzar terbukti. ia mengakhiri hidupnya di lembah sunyi Rabadzah, pinggiran Madinah.
Saat menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya.
Ia menimpali istrinya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?"
Istrinya menjawab, "Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"
"Janganlah menangis istriku," kata Abu Dzar, "
Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.'
Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin.
Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir.
Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang.
"Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!"
Dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud.
Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.
Ketika pandangan Ibnu Mas'ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari.
Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud yang baru pulang dari perjalanan di Persia berkata, "Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!"
Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi di tahun 652 Masehi, sekitar 30 tahun setaelah wafatnya Nabi.
Dan usia Abu Dzar saat itu konon sudah uzur, lebih 80 tahun.
Dan tahukah, Anda berapa bulan 80 tahun itu?
Itu adalah Lebih Mulia dari 1000 bulan.
Wallahu A'lam bishawab. (*)
Mannuruki, 20 Ramadan 1442 H/ 1 Mei 2021